Sjahrir dan Sosialisme Indonesia

Sjahrir dan Sosialisme Indonesia
Oleh IVAN A HADAR

Tanggal 5 Maret 2009 genap 100 tahun Sutan Sjahrir. ”Bung Kecil”, begitu Sjahrir dijuluki, tercatat sebagai tokoh sentral perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya bidang politik dan diplomasi.
Dikenal cerdas, Sjahrir saat berusia 19 tahun mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Pada usia 36 tahun Sjahrir terpilih sebagai Perdana Menteri I RI.
Piawai di meja perundingan, Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis, lalu berganti nama menjadi Partai Sosialis Indonesia (PSI). Dalam Pemilu 1955, PSI gagal meraup suara yang signifikan. Lima tahun kemudian PSI dibubarkan Presiden Soekarno.
Pada tahun 1963, Sutan Sjahrir resmi ditetapkan sebagai tahanan politik hingga meninggal di Swiss dalam masa pengobatan. Pembubaran PSI dan Masyumi menandai berlakunya masa otoritarian. Hingga akhir rezim Orde Baru, wacana terkait dengan ideologi bangsa yang termanifestasi dalam tatanan ekonomi politik, sistem budaya, dan nilai-nilai idealnya praktis terhenti.
Sosialisme Indonesia
Dalam membicarakan tatanan sosial politik yang ideal, sering hadir kerinduan untuk menemukan jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Sjahrir adalah salah satu perintis pencarian jalan itu, yang tertuang dalam konsep Sosialisme Indonesia. Pertanyaannya, mungkinkah ada ”jalan tengah versi Indonesia”? Mungkinkah menyatukan dua isme yang ibarat minyak dan air?
Pertanyaan lebih konkret ialah, perlukah Sosialisme Indonesia? Perlu. Alasannya, agar sisi positif sosialisme sebagai perangkat analisis sosial yang tajam dalam menggambarkan tatanan berkeadilan bisa digabungkan dengan tatanan politis demokratis yang menjadi persyaratan berfungsinya sebuah ekonomi pasar dalam konteks Indonesia.
Di negara-negara kapitalis modern yang maju berlaku demokrasi politik. Namun, tidak demikian halnya dengan demokrasi ekonomi. Pencapaian demokrasi politik secara historis amat penting, tetapi itu kurang lengkap. Ia sekadar demokrasi perwakilan yang pasif, di mana sebagian besar rakyat memilih orang lain untuk bertindak bagi mereka. Juga kekuatan ekonomi tetap terkonsentrasi dan demokrasi ekonomi masih menanti masa depan yang lebih baik.
Sementara itu, eksperimen sosialisme (tepatnya komunisme) Blok Timur telah gagal. Tidak adanya demokrasi politik mengakibatkan krisis politik berujung pada tumbangnya Uni Soviet dan Blok Timur. Tak adanya demokrasi politik ekonomi di negara- negara komunis saat itu, dikemas dalam konteks full employment yang dipaksakan dan perencanaan sentralistis, mengakibatkan stagnasi dan inefisiensi ekonomi dan lemahnya disiplin kerja.
Ketidakpuasan atas dua isme itu memicu pencarian alternatif. Secara teoretis, memunculkan berbagai aliran sosialisme. Sosialisme-demokratis adalah salah satu bentuk sosialisme yang menemukan lahan berkembang di beberapa negara industri maju, seperti Jerman dan Swedia. Selain itu, kita pernah mendengar berbagai genre sosialisme, seperti sosialisme-non-marxis, sosialisme-science-movement, dan sosialisme-utopis.
Sosialisme Sjahrir
Dalam catatan sejarah Indonesia, ada empat partai politik yang pernah menyandang nama ”sosialis” sebagai nama dan ideologi resmi partai, yaitu Partai Sosialis yang diketuai Amir Sjarifuddin, Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang didirikan dan diketuai Sutan Sjahrir. Lalu, ada Partai Sosialis yang merupakan fusi dari kedua partai itu. Partai inilah yang sejak November 1945 menguasai kabinet RI hingga pertengahan 1947, saat terjadi keretakan antara kelompok Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Sjahrir lalu membentuk partai baru, Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada awal 1948, bertahan hingga 1960, saat dibubarkan Soekarno.
Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan, kita mengenal para tokoh, termasuk Soekarno dan Hatta, yang berkeyakinan membangun masyarakat dan negeri ini atas prinsip sosialis. Namun, di antara tokoh-tokoh itu, mungkin hanya Sjahrir yang paling tegas dan nyata dalam keyakinan dan perjuangan. Ia bukan saja mendirikan partai politik (PSI) untuk mewujudkan keyakinannya, tetapi sebelumnya juga telah memikirkan secara mendalam paham sosialisme apa yang paling cocok untuk Indonesia.
Sjahrir tegas membedakan paham sosialisme yang hendak diperjuangkannya di Indonesia dengan sosialisme yang ada di Eropa Barat maupun sosialisme yang ditawarkan komunis. Pergumulannya atas paham-paham sosialisme di Eropa Barat dan kekhawatirannya akan komunisme totaliter membawanya pada pemikirannya tentang sosialisme yang sesuai bagi Indonesia, yaitu sosialisme-kerakyatan.
Bagi Sjahrir, perkataan kerakyatan adalah suatu penghayatan dan penegasan bahwa sosialisme seperti yang dipahaminya selamanya menjunjung tinggi dasar persamaan derajat manusia.
Dalam catatan sejarah diketahui, cita-cita sosialisme-kerakyatan Sjahrir tidak berhasil diwujudkan. Namun, ketidakberhasilan ini mungkin bukan semata- mata karena Sjahrir tergeser dari panggung politik atau karena PSI dibubarkan. Sosialisme, apa pun namanya, hanya paham, suatu cita-cita yang masih di tingkat konsepsi. Untuk mewujudkan cita-cita itu, ia harus dibuat operasional dan harus didukung seperangkat institusi dan mekanisme-mekanisme tertentu. Ini bukan hal mudah. Tanpa itu, ia akan berhenti pada imbauan moral atau etis, tetapi tidak membawa perubahan apa-apa.
IVAN A HADAR Wakil Pemimpin Redaksi Jurnal SosDem
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/03/04470498/sjahrir.dan.sosialisme.indonesia

SOSIALISME SEBAGAI IDEOLOGI POLITIK


SOSIALISME SEBAGAI IDEOLOGI POLITIK


Oleh Drs. Sri Agus, M.Pd.
PENDAHULUAN
Sosialisme (sosialism) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis sosial yang berarti kemasyarakatan. Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar 1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran yang masing-masing hendak mewujutkan masyarakat yang berdasarkan hak milik bersama terhadap alat-alat produksi, dengan maksud agar produksi tidak lagi diselenggarakan oleh orang-orang atau lembaga perorangan atau swasta yang hanya memperoleh laba tetapi semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dalam arti tersebut ada empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: (1) sosial demokrat, (2) komunisme,(3) anarkhisme, dan (4) sinkalisme (Ali Mudhofir, 1988). Sosialisme ini muncul kira-kira pada awal abad 19, tetapi gerakan ini belum berarti dalam lapangan politik. Baru sejak pertengahan abad 19 yaitu sejak terbit bukunya Marx, Manifes Komunis (1848), sosialisme itu (seakan-akan) sebagai faktor yang sangat menentukan jalannya sejarah umat manusia.
Bentuk lain adalah sosialisme Fabian yaitu suatu bentuk dari teori sosialisme yang menghendaki suatu transisi konstitusional dan pengalihan bertahap pemilikan dan sarana produksi kepada Negara. Tidak akan dilakukan teknik-teknik revolusioner dan lebih ditekankan pada metode pendidikan. Aliran ini mencoba cara yang praktis untuk memanfaatkan semua sarana legislatif untuk pengaturan jam kerja, kesehatan, upah dan kondisi kerja yang lain. Bentuk sosialisme ini didukung oleh Fabian society yang didirikan 1884. Tokoh gerakan sosial di Inggris berasal dari kelompok intelektual di antaranya George Bernard Shaw, Lord Passfield, Beatrice Webb, Graham Wallas dan GDH Cole (Ali Mudhofir, 1988:90).
Istilah “ sosialis” atau negara sosial demokrat digunakan untuk menunjuk negara yang menganut paham sosialisme “ moderat” yang dilawankan dengan sosialisme ”radikal” untuk sebutan lain bagi “komunisme”. Hal ini ditegaskan mengingat dalam proses perkembangannya di Negara Barat yang pada mulanya menganut paham liberal-kapitalis berkembang menjadi Negara sosialis (sosialis demokrat) ( Frans Magnis Suseno,1975: 19-21). Perbedaan yang paling menonjol antara sosialis-demokrat dan komunisme (Marxisme-Leninisme) adalah sosial demokrat melaksanakan cita-citanya melalui jalan evolusi, persuasi, konstitusional-parlementer dan tanpa kekerasan, sebaliknya Marxisme-Leninisme melalui revolusi.
Sosialisme adalah ajaran kemasyarakatan (pandangan hidup) tertentu yang berhasrat menguasai sarana-sarana produksi serta pembagian hasil produksi secara merata (W.Surya Indra, 1979: 309). Dalam membahas sosialisme tidak dapat terlepas dengan istilah Marxisme-Leninisme karena sebagai gerakan yang mempunyai arti politik, baru berkembang setelah lahirnya karya Karl Marx, Manifesto Politik Komunis (1848). Dalam edisi bahasa Inggris 1888 Marx memakai istilah “sosialisme” dan ”komunisme” secara bergantian dalam pengertian yang sama. Hal ini dilakuakn sebab Marx ingin membedakan teorinya yang disebut “sosialisme ilmiah” dari “ sosialisme utopia” untuk menghindari kekaburan istilah dua sosialisme dan juga karena latarbelakang sejarahnya. Marx memakai istilah “komunisme” sebagai ganti “sosialisme” agar nampak lebih bersifat revolusioner (Sutarjo Adisusilo, 1991: 127).
Dalam perkembangannya, Lenin dan Stalin berhasil mendirikan negara “komunis”. Istilah “sosialis” lebih disukai daripada “komunis” karena dirasa lebih terhormat dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka menyebut masa transisi dari Negara kapitalis ke arah Negara komunis atau “masyarakat tidak berkelas” sebagai masyarakat sosialis dan masa transisi itu terjadi dengan dibentuknya “ Negara sosialis”, kendati istilah resmi yang mereka pakai adalah “negara demokrasi rakyat”. Di pihak lain Negara di luar “Negara sosialis”, yaitu Negara yang diperintah oleh partai komunis, tetap memakai sebutan komunisme untuk organisasinya, sedangkan partai sosialis di Negara Barat memakai sebutan “sosialis demokrat” (Meriam Budiardjo, 1984: 5).
Dengan demikian dapat dikemukakan, sosialisme sebagai idiologi politik adalah suatu keyakinan dan kepercayaan yang dianggap benar mengenai tatanan politik yang mencita-citakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara merata melalui jalan evolusi, persuasi, konstitusional-parlementer dan tanpa kekerasan.
SOSIALISME DAN DEMOKRASI
Pertalian antara demokrasi dan sosialisme merupakan satu-satunya unsur yang paling penting dalam pemikiran dan politik sosialis. Ditinjau dari segi sejarah sosialisme, segera dapat diketahui gerakan sosialis yang berhasil telah tumbuh hanya di negara-negara yang mempunyai tradisi-tradisi demokrasi yang kuat, seperti Inggris, Selandia Baru, Skandinavia, Belanda, Swiss, Australia, Belgia (William Ebenstein, 1994: 213). Mengapa demikian sebab pemerintahan yang demokratis dan konstitusional pada umumnya diterima, kaum sosialis dapat memusatkan perhatian pada programnya yang khusus, meskipun program itu tampak terlalu luas yakni: menciptakan kesempatan yang lebih banyak bagi kelas-kelas yang berkedudukan rendah mengakhiri ketidaksamaan yang didasarkan atas kelahiran dan tidak atas jasa, membuka lapangan pendidikan bagi semua rakyat, memberikan jaminan sosial yang cukup bagi mereka yang sakit, menganggur dan sudah tua dan sebagainya.
Semua tujuan sosialisme demokratis ini mempunyai persamaan dalam satu hal yaitu membuat demokrasi lebih nyata dengan jalan memperluas pemakaian prinsip-prinsip demokrasi dari lapangan politik ke lapangan bukan politik dari masyarakat. Sejarah menunjukkan, masalah kemerdekaan merupakan dasar bagi kehidupan manusia. Kemerdekaan memeluk agama-kepercayaan, mendirikan organisasi politik dan sebagainya merupakan sendi-sendi demokrasi. Jika prinsip demokrasi telah tertanam kuat dalam hati dan pikiran rakyat, maka kaum sosialis dapat memusatkan perhatian pada aspek lain. Sebaliknya, di Negara yang masih harus menegakkan demokrasi, partai sosialis harus berjuang untuk dapat merealisasikan ide tersebut. Misalnya di Jerman masa kerajaan kedua (1870-1918) yang bersifat otokratis, partai sosialis demokratis senantiasa bekerja dengan rintangan yang berat. Lembaga parlementer hanya sebagai selubung untuk menutupi pemerintahan yang sebenarnya bersifat diktaktor. Pada masa Bismarck berkuasa, kaum sosialis demokrasi dianggap sebagai” musuh-musuh Negara”, dan pemimpin partai yang lolos dari penangkapan melarikan diri ke Inggris dan Negara Eropa lainnya. Demikian pula pada masa republik Weiner (1919-1933), partai sosial demokratis Jerman juga tidak berdaya karena tidak ada pemerintahan yang demokratis.
Di Rusia sebelum 1917, keadaan lebih parah lagi, Rezim Tsar yang despotis malahan sama sekali tidak berpura-pura dengan masalah pemerintahan demokratis. Jadi tidak mungkin ada perubahan sosial dan ekonomi dengan jalan damai, sehingga apa yang terjadi ialah revolusi oleh kaum komunis.
Perang Dunia (PD) II memberikan gambaran lebih jelas tentang masalah di atas. Menjelang tahun 1936 partai sosialis di Perancis merupaksn partai yang terkuat. Selama PD II di bawah kedudukan Jerman, kaum komunis lebih banyak bergerak di bawah tanah, mengadakan teror dan bertindak di luar hukum sebagaimana sifatnya dalam keadaan normal pun juga demikian, memperoleh pengikut yang lebih banyak, sehingga menjadi partai yang terkuat di Perancis.
Berbeda dengan yang berada di Inggris, kaum sosialis dalam pemilihan umum tahun 1951, memperoleh suara 6 kali pengikut yang lebih banyak jumlahnya apabila dibandingkan dengan suara yang didapat kaum komunis. Bukti tersebut tidak hanya diberikan oleh Inggris Raya, tetapi juga oleh Negara-negara demokratis lainnya yang mempunyai gerakan–gerakan sosialis yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sipil yang penuh dapat menangkal fasisme dan komunisme .
Apabila orang ingin memberikan tingkat kepada Negara-negara demokratis dewasa ini, terutama dalam masalah kemerdekaan sipil, maka Inggris, Norwegia, Denmark, Swedia, Belanda, Belgia, Australia, Selandia Baru dan Israel akan berada di Puncak daftar. Di Negara itu dalam masa terakhir berada di bawah pemerintahan sosialis atau kabinet-kabinet koalisi yang di dalamnya kaum sosialis memperoleh perwakilan yang kuat (William Ebenstein,1994: 215).
Kesejajaran di atas tidaklah rumit untuk ditelusuri, kaum sosialis demokratis menyadari akan kenyataan bahwa, tanpa kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh pemerintahan konstitusional yang liberal mereka tidak akan sampai pada tangga pertama. Sekali mereka berkuasa dalam pemerintahan, kaum sosialis masih tetap mempertahankan psikologi oposisi. Sebab mereka tahu bahwa dengan memegang kekuasaan politik belum berarti soal-soal organisasi sosial dan ekonomi dengan sendirinya akan terpecahkan . Dengan kata lain, sebelum kaum sosialis mengambil alih pemerintahan, mereka beroposisi terhadap pemerintah dan kelas-kelas yang berpunya; setelah mereka mendapat kekuasaan dalam pemerintahan, psikologi oposisi yang ditunjukkan terhadap status quo ekonomi perlu tetap ada.
Demokrasi dan sosialilsme merupakan dua ideologi yang sekarang nampak diannut di berbagai Negara yang bukan Fasis dan bukan Komunis. Dalam keadaan sekarang tidak mudah merumuskan pengertian demokrasi . Berbagai macam demokrasi telah berkembang menjadi berbagaai bentuk masyarakat. Demokrasi Inggris modern atau demokrasi Swedia lebih dekat dalam beberapa hal pada sosialisme Negara di Soviet Rusia dibandingkan dengan sistim ekonomi Amerika Serikat . Akan tetapi dalam soal-soal perorangan dan kemerdekaan politik hal sebaliknya yang berlaku . Berbeda lagi yang ada di Amerika Serikat mungkin dapat disebut “demokrasi kapitalis”. Disebut demikian karena yang tampak hanya demokrasi politik, tetapi tidak cukup ada apa yang dinamakan demokrasi ekonomi dengan tetap adanya freefight ekonomi yang memungkinkan beberapa gelintir orang menjadi kapitalis yang amat kaya .
Demokrasi ekonomi dan disamping itu demokrasi sosial dapat diketemukan dalam idiologi sosialisme, yang pada prinsipnya menjurus kepada suatu keadilan sosial dengan semboyan : kepada seorang harus diberikan sejumlah yang sesuai dengan nilai pekerjaanya. Akan tetapi untuk mencapai itu, pemerintah sering harus campur tangan dengan membatasi keluasaan gerak-gerik para warganegara. Sampai di mana ini berlaku, tergantung dari keadaan setempat di tiap-tiap Negara ( Wiryono P., 1981: 137) .
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sosialisme hanya dapat berkembang dalam lingkungan masyarakat dan pemerintahan yang memiliki tradisi kuat dalam demokrasi . Pada saat kaum sosialis berhasil memegang kekuasaan, pemerintahan masih tetap diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk ikut ambil bagian ( sebagian oposisi) ) dan mereka juga menyadari bahwa kekuasaan yang diperoleh tidak bersifat permanen .
UNSUR-UNSUR PEMIKIRAN DAN POLITIK SOSIALISME
Sosialisme, seperti gerakan-gerakan dan gagasan liberal lainnya, hal ini mungkin karena kaum liberal tidak dapat menyepakati seperangkat keyakinan dan doktrin tertentu. Apalagi sosialisme telah berkembang di berbagai Negara dengan tradisi nasionalnya sendiri dan tidak pernah ada otoritas pusat yang menentukan garis kebijakan partai sosialis yang bersifat mengikat, namun garis-garis besar pemikiran dan kebijakan sosialis dapat disimak dari tulisan-tulisan ahli sosialis dan kebijakan partai sosialis. Apa yang muncul dari pemikiran dan kebijakan itu bukanlah merupakan sesuatu konsisten. Kekuatan dan kelemahan utama sosialisme terletak dalam kenyataan bahwa system itu tidak memiliki doktrin yang pasti dan berkembang karena sumber-sumber yang saling bertentangan dalam masyarakat yang merupakan wadah perkembangan sosialisme.
Unsur-unsur pemikiran dan politik sosialis yang rumit dan saling bertentangan dengan jelas tergambar dalam gerakan sosialis Inggris. Unsur-unsur yang ada dalam gerakan sosialis Inggris adalah: (1). Agama, (2) Idealisme Etis dan Estetis, (3) Empirisme Fabian, (4) Liberalisme (Willian Ebenstein,1985:188).
1. Agama
Dalam buku The Labour Party in Perspective Attles dikemukakan bahwa… dalam pembentukan gerakan sosialis pengaruh agama merupakan yang paling kuat. Inggris pada abad 19 masih merupakan bangsa yang terdiri para pembaca kitab suci. Didalamnya ia akan menemukan bacaan yang mendorongnya untuk tampil sebagai pengkotbah doktrin keagamaan di negera ini dan adanya berbagai ajaran yang dianutnya membuktikan hal ini.
Gerakan sosialis Kristen yang dipimpin oleh dua orang biarawan yaitu frederich Maurice dan Charles Kingsley mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad 19 dan menjadi sumber penting untuk perkembangan organisasi kelas buruh dan sosialis kemudian. Prinsip yang menjadi pedoman bagi kaum sosialis Kristen adalah konsep yang mendasarkan bahwa sosialisme harus dikrestenkan dan kristianitas harus disosialisasikan.
Pada tahun 1942, Uskup Agung Centerbury, William Temple dalam bukunya Christianity and Sosial Order mengemukakan pemikiran yang sangat dekat dengan sosialisme. Temple beranggapan bahwa setiap setiap system ekonomi untuk sementara atau selamanya memerlukan memberikan pengaruh edukatif yang sangat besar dan karena itu gereja ikut mempersoalkannya. Apakah pengaruh itu mengarah pada perkembangan sifat kekristenan dan jika jawabannya sebagian atau seluruhnya negatif, gereja harus berusaha sedapat mungkin menjamin perubahan dalam system ekonomi tersebut sehingga gereja tidak menemukan musuh akan tetapi sekutu dalam Kristen itu.
Adanya perhatian agama Kristen yang bersifat praktis ini sangat kuat terasa selama pengaruh terakhir abad 19. Kesungguhan moral dan kejujuran merupakan ciri masa ini. Agama mengakui kesopanan dan kepercayaan merupakan syarat penting untuk memperoleh keselamatan. Akan tetapi tetap menekankan pentingnya perbuatan dan penyelamatan dengan kerja. Banyak pemimpin sosialis dari generasi yang lebih tua seperti Attlee dan Sir Staffors Cripps dididik dalam suasana dimana agama mempunyai pengaruh yang kuat.
2. Idealisme Etis dan Estetis
Idealisme etis dan estetis juga menjadi sumber bagi sosialisme Inggris, meskipun pengaruhnya tidak dapat diukur dalam wujud jumlah suara dan kartu keanggotaan. Idialisme yang diungkapkan oleh beberapa penulis seperti John Ruskin dan William Morris bukanlah suatu program politik atau ekonomi, tetapi merupakan pemberontakan kehidupan yang kotor, membosankan dan miskin di bawah kapitalisme industri. Berkembangnya kapitalisme di Inggris mungkin menciptakan lebih banyak keburukan disbanding dengan tempat lain, karena para industriawan Inggris tidak dapat membayangkan nantinya kapitalisme akan merubah udara dan air yang jernih dan keindahan wilayah pedalaman Inggris. Mereka juga tidak memperhitungkan sebelumnya pengrusakan pemandangan kota dan desa tua oleh adanya pemukiman dan pusat pabrik.
Marx melakukan pendekatan terhadap kapitalisme industri dalam kerangka hukum kosmis seperti perkembangan sejarah dunia menurut hukum-hukum sosial yang tidak dapat dielakkan, filsafat materialisme, maka Morris lebih bertumpu pada kenyataan. Di sekitarnya ia melihat barang dan perlengkapan rumah tangga yang jelek serta kehidupan manusia yang menampakkan keceriaan dan keindahan dalam kehidupannya. Pusat perhatian Morris adalah manusia bukan system. Ia merasakan bahwa seni harus dikembalikan dalam kehidupan sehari-hari dan dorongan yang kreatif pada setiap orang harus diberi jalan penyalurannya dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
Pengaruh Ruskin dan Morris lebih banyak mengandung segi negatif dibanding positifnya. Mereka menunjukkan apa yang secara fisik dan moral salah menyangkut peradaban yang dibangun di atas perselisihan dan kemelaratan, tetapi tidak merumuskan program tertentu untuk memperbaiki kondisi yang dikritiknya. Meskipun demikian pemberontakan estetika dan etika ini membawa pengaruh yang penting dalam mempersiapkan suatu lingkungan intelektual dimana nantinya sosialisme mendapatkan tanggapan yang simpatik.
3. Empirisme Febian.
Empirisme Febian mungkin merupakan ciri khas gerakan Inggris. Masyarakat Febian didirikan pada tahun 1884, mengambil nama seorang jenderal Romawi yaitu Quintus Febians Maximus Constator, Si “pengulur waktu”atau “Penunda”. Motto awal dari masyarakat tersebut ialah “engkau harus menunggu saat yang tepat, kalau saat yang tepat itu tiba engkau harus melakukan serangan yang dasyat, sebab jika tidak, penundaan yang engkau lakukan itu sia-sia dan tidak akan membawa hasil“.
Para pendiri dan anggota pertama masyarakat Febian adalah George Bernard Shaw, Sidney dan Beatrice Webb,H.G.Wells dan Grahan Wallas. Dalam penelitian sejarah tentang landasan yang dilakukan oleh Sidney Webb, seperti dalam buku Febian Esseye (1889), dapat ditemukan apa yang menjadi filsafat dasar sosialisme. Webb menganggap sosialisme sebagai hasil yang tidak dapat dielakkan dari terlaksananya demokrasi secara penuh, tetapi ia menandaskan “ kepastian yang datang secara bertahap” sangat berbeda dengan kepastian revolusi seperti yang dicanangkan oleh Marx.
Webb menekankan bahwa organisasi sosial hanya dapat terbentuk secara perlahan dan perubahan-perubahan organisasi . Perubahan tersebut akan terjadi dengan adanya empat kondisi: pertama perubahan itu harus bersifat demokratis , kedua perubahan itu harus secara bertahap, ketiga perubahan itu harus sesuai dengan moral masyarakat, keempat perubahan tersebut harus melalui prosedur dan menggunakan cara damai.
Kelompok Fabian memusatkan perhatiannya untuk meyakinkan sekelompok kecil orang yang memenuhi dua kualifikasi : pertama orang-orang tersebut secara permanent mempunyai pengaruh dalam kehidupan masyarakat, sehingga kalau proses perembesan yang dibutuhkan waktu lama itu berhasil, maka dapat dipetik manfaatnya, kedua mereka harus bersikap dan bertindak wajar sehinga kelompok Fabian tidak dianggap sebagai kaum ekstrimis. Orang-orang dengan kualifikasi seperti itu dapat dijumpai dalam semua partai politik. Untuk itu kelompok Fabian tidak hanya menggarap kaum konservatif saja, tetapi juga kaum liberal.
Fabianisme sering digambarkan sebagai pembaharuan tanpa kebencian, pembangunan kembali masyarakat perang kelas, emperialisme politik tanpa dogma atau fanatisme. Meskipun organisasinya kecil, namun masyarakat Febian membawa pengaruh yang besar. Dalam pemilihan tahun 1945 menampilkan untuk pertama kalinya pemerintahan Partai Buruh didasarkan pada mayoritas dalam parlemen 229 dari 394 anggota parlemen dari Partai Buruh berasal dari kelompok Febian dan lebih dari separuh pejabat pemerintah, termasuk Attlee (Perdana Menteri 1945-1951) juga orang-orang Febian.
4. Liberalisme
liberalisme telah menjadi sumber yang semakin penting bagi sosialisme, terutama sejak Partai Liberal merosot peranannya di banyak Negara. Di Inggris sebenarnya Partai Liberal sudah lenyap dan Partai Buruh yang menjadi pewarisnya. Dalam 40 tahun terakhir semakin banyak orang liberal yang menggabungkan diri dengan Partai Buruh. Apa alasannya ?. Pertama, lenyapnya Partai Liberal Inggris bukanlah disebabkan kegagalannya ,tetapi hasil yang telah dicapai membuat kehadiran partai ini tidak diperlukan lagi. Saat ini baik Partai Konservatif maupun Partai Buruh mempunyai komitmen yang kuat terhadap prinsip liberal yang menghormati kebebasan individu untuk beribadah, berpikir, berbicara dan berkumpul. Kedua perdagangan bebas yang merupakan cita-cita yang penting dari liberalisme Inggris abad 19 tidak muncul lagi sebagai kepentingan politik yang menggebu-gebu. Baik golongan konservatif maupun golongan Buruh mempunyai komitmen pada bentuk proteksi tarif tertentu. Orang-orang liberal sendiri juga sudah menyadari perdagangan bebas tidak penting lagi seperti dulu.
Karena masalah-masalah yang khusus sudah tidak ada lagi, banyak orang liberal yang bergabung dengan Partai Buruh atau memberikan suaranya untuk Partai Buruh atau menganggap dirinya sebagai orang sosialis murni.Liberalisme biasanya menjadi aliran kiri kaum konservatif. Di Negara yang mempunyai system dua partai seperti Inggris, kalau orang akan bergeser dari konservatif. Maka Partai Buruh merupakan tumpuan untuk memperjuangkan kepentingan politiknya.
Liberalisme telah memberikan sumbangan yang cukup besar hal-hal yang berguna bagi sosialisme Inggris. Karena pengaruh Liberalisme para pemimpin sosialis lebih moderat dan kurang terpaku pada doktrin serta lebih menghargai kebebasan individu. Liberalisme telah merubah Partai Buruh menjadi sebuah partai nasional, bukan lagi partai yang didasarkan pada kelas. Liberalisme juga telah mewariskan kepada Partai Buruh peran kaum liberal bahwa pembaharuan dapat dilakukan dengan tidak usah menimbulkan kepahitan dan kebencian.
SOSIALISME DI BERBAGAI NEGARA
Kemenangan bangsa-bangsa demokrasi dalam perang dunia I memberikan dorongan yang kuat bagi partumbuhan partai sosialis di seluruh dunia. Perang telah dilancarkan untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan dan keadaan sosial terhadap imperialisme totaliter Jerman dan Sekutu-sekutunya. Selama peperangan telah dijanjikan kepada rakyat-rakyat negara demokratis yang ikut berperang, bahwa kemenangan militer akan disusul dengan suatu penyusunan kehidupan sosial baru berdasarkan kesempatan dan persamaan yang lebih banyak.
Di Inggris dukungan terbesar terhadap gerakan sosialisme muncul dari Partai Buruh mencerminkan pertumbuhanuruh dan perkembangannya suatu proses terhadap susunan sosial yang lama. Pada awal pertumbuhan hanya memperoleh suara (dukungan) yang kecil dalam perwakilannya di parlemen. Selanjutnya menjadi partai yang lebih bersifat nasional setelah masuknya bekas anggota partai liberal. Banyak programnya yang berasal dari kaum sosialis,terutama dari kelompok Febiaan berhasil memperkuat posisi partai karena dapat memenuhi keinginan masyarakat. Kemajuan yang dapat dicapaimisalnya dalam bidang (1) pemerataan pendapatan (2)distribusi pendapatan (3) pendidikan (4) perumahan (Anthony Crosland, 1976: 265-268).
Di Negara-negara Eropa lainnya seperti Perancis, Swedia, Norwegia, Denmark dan juga Australia dan Selandia Baru partai-partai sosial berhasil memegang kekuasaan pemerintahan melalui pemilu-pemilu bebas. Hal tersebut berarti kalau kita berbicara sosialisme, maka kita menghubungkan dengan sosialisme demokrasi tipe reformasi liberal. Hal ini perlu dibedakan dengan sosialisme otoriter atau komunisme seperti yang terlihat di Soviet dan RRC.
Selama tahun 1920-an dan 1930-an, kaum sosialis di Eropa dan Amerika melakukan serangan baru terhadap kelemahan kapitalisme, ungkapan-ungkapan misalnya : ketimpangan ekonomi, pengangguran kronis, kekayaan privat dan kemiskinan umum, menjadi slogan-slogan umum. Di Eropa partai sosialis demokratis dipengaruhi Marxisme revisionis,solidaritas kelas pekerja, dan pembentukan sosialis yang papa akhirnya melalui cara demokratis sebagai alat untuk memperbaiki kekurangan system kapitalis. Periode tersebut merupakan era menggejolaknya aktivitas sosialis.
Setelah PD II terjadi perubahan besar dalam pemikiran kaum sosialis. Pada permulaan tahun 1960 banyak diantara partai sosialis demokrat Eropa yang melepaskan dengan hubungan ikatan-ikatan idiology Marx. Mereka mengubah sikapnya terhadap hak milik privat dan tujuan mereka yang semula tentang hak milik kolektif secara total. Perhatian mereka curahkan terhadap upaya “ menyempurnakan ramuan”pada perekonomian yang sudah menjadi ekonomi campuran. Akibatnya disfungsi antara sosialis dan negara kesejahteraan modern (The modern welfare state) kini dianggap orang sebagai perbedaan yang bersifat gradual.
Menurut Milton H Spencer sosialisme demokrasi modern merupakan suatu gerakan yang berupaya untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui tindakan (1) memperkenalkan adanya hak milik privat atas alat-alat produksi (2) melaksanakan pemilikan oleh Negara (public ounership) hanya apabila hal tersebut diperlukan demi kepentingan masyarakat (3) mengandalkan diri secara maksimal atas perekonomian pasar dan membantunya dengan perencanaan guna mencapai sasaran sosial dan ekonomis yang diinginkan ( Winardi, 1986: 204).
Bagaimanakah sosialisme di Negara-negara berkembang ?. Negara-negara miskin berhasrat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dari segi kepentingan dalam negeri pertumbuhan ekonoimi yang tinggi merupakan satu-satunya cara untuk mencapai srtandart hidup, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Ada dua cara untuk mencapai pembangunan ekonomi yang pesat: Pertama cara yang telah digunakan oleh Negara Barat (maju), pasar bebas merupakan alat utama untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi.Kedua komunisme, dalam metode ini Negara memiliki alat-alat produksi dan menetapkan tujuan yang menyeluruh.
Dalam menghadapi masalah modernisasi ekonomi Negara-negara berkembang pada umumnya tidak mau meniru proses pembangunan kapitalis Barat atau jalur pembangunan komunisme. Mereka menetapkan sendiri cara-cara yang sesuai dengan kondisi masing-masing Negara. Ketiga jalan ketiga disebut Sosialisme. Dalam konteks negara terbelakang/berkembang sosialisme mengandung banyak arti pertama di dunia yang sedang berkembang sosialisme berarti cita-cita keadilan sosial . Kedua istilah sosialisme di Negara-negara berkembang sering berarti persaudaraan, kemanusiaan dan perdamaian dunia yang berlandaskan hukum. Arti Ketiga sosialisme di Negara berkembang ialah komitmen pada perancangan ( Willan Ebenstein,1994: 248-249).
Melihat tersebut di atas arti sosialisme pada negara berkembang dengan Negara yang lebih makmur karena perbedaan situasi histories. Di dunia Barat sosialisme tidak diartikan sebagai cara mengindustrialisasikan Negara yang belum maju, tetapi cara mendistribusikan kekayaan masyarakat secara lebih merata. Sebaliknya, sosialisme di Negara berkembang dimaksudkan untuk membangun suatu perekonomian industri dengan tujuan menaikkan tingkat ekonomi dan pendidikan masa rakyat , maka sosialisme di negara Barat pada umumnya berkembang dengan sangat baik dalam kerangka pemerintahan yang mantap (seperti di Inggris dan Skandinavia) , sedangkan di Negara berkembang sosialisme sering berjalan dengan beban tardisi pemerintahan yang otoriter oleh kekuatan imperialism easing atau oleh penguasa setempat.Karena itu ada dugaan sosialisme di Negara berkembang menunjukkan toleransi yang lebih besar terhadap praktek otoriter dibandingkan dengan dengan yang terjadi sosialisme di Negara Barat. Kalau Negara-negara berkembang gagal dalam usahanya mensintesakan pemerintahan yang konstitusional dan perencanaan ekonomi , maka mereka menganggap bahwa pemerintahan konstitusional dapat dikorbankan demi memperjuangkan pembangunan ekonomi yang pesat melalui perencanaan dan pemilikan industri oleh Negara.
Jika kita perhatikan dalam sejarah bangsa Indonesia , pada awal kemerdekaan sampai tahun 1965 pernah pula diintrodusir konsep sosialisme ala Indonesia .Apakah itu sebagai akibat pengaruh PKI atau ada aspek-aspek tertentu yang memang sesuai dengan kondisi di negara kita. Yang jelas sejak memasuki Orde BAru “sosialisme” itu tidak terdengar lagi .
Adanya perbedaan pengertian mengenai konsep sosialisme , memberikan wawasan kepada kita bahwa suatu ideology politik yang dianut oleh suatu Negara belum tentu cocok untuk negar lain . Melalui pemahaman ini dapat dipetik manfaatnya untuk pengembangan pembangunan nasional demi tercapainya tujuan nasional seperti yang terumuskan dalam UUD 1945.
KESIMPULAN
Sosialisme adalah pandangan hidup dan ajaran kamasyarakatan tertentu , yang berhasrat menguasai sarana-sarana produksi serta pembagian hasil-hasil produksi secara merata . Sosialisme sebagai ideology politik adalah suatu keyakinan dan kepercayaan yang dianggap benar oleh para pengikutnya mengenai tatanan politik yang mencita-citakan terwujutnya kesejahteraan masyarakat secara merata melalui jalan evolusi, persuasi , konstitusional –parlementer , dan tanpa kekerasan.
Sosialisme sebagai ideology politik timbul dari keadaan yang kritis di bidang sosial, ekonomi dan politik akibat revousi industri . Adanya kemiskinan , kemelaratan ,kebodohan kaum buruh , maka sosialisme berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan secara merata.
Dalam perkembangan sosialisme terdiri dari pelbagai macam bentuk seperti sosialisme utopia , sosialisme ilmiah yang kemudian akan melahirkan pelbagai aliran sesuai dengan nama pendirinya atau kelompok masyarakat pengikutnya seperti Marxisme-Leninisme ,Febianisme , dan Sosial Demokratis.
Sosialisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada masyarakat –bangsa yang memiliki tradisi demokrasi yang kuat. Unsur-unsur pemikiran yang ada dalam gerakan sosialis sebagimana tergambar di Inggris mencakup : (a) agama ; (b) idealisme e tis dan estetis ; (c) empiris Fabian ; dan (d) liberalisme .
Sosialisme yang ada disetiap negara memiliki ciri khas sesuai dengan kondisi sejarahnya . Dalam sosialisme tidak ada garis sentralitas dan tidak bersifat internasional
Sosialisme di negara-negara berkembang mengandung banyak arti . Sosialisme berarti cita-cita keadilan sosial ; persaudaraan ; kemanusiaan dan perdamaian dunia yang berlandaskan hukum ; dan komitmen pada perencanaan.
Di negara-negara Barat ( lebih makmur) sosialisme diartikan sebagai cara mendistribusikan kekayaan masyarakat secara lebih merata sedangkan di Negara berkembang sosialisme diartikan sebagai cara mengindustrialisasikan Negara yang belum maju atau membangun suatu perekonomian industri dengan maksud manaikkan tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat .
Sosialisme sebagai idiologi politik yang merupakan keyakinan dan kepercayaan yang dianggap benar mengenai tatanan politik yang mencita-citakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara merata melalui jalan evolusi, persuasi, konstitusional-parlementer dan tanpa kekerasan. Sosialisme sebagai ideologi politik timbul dari keadaan yang kritis di bidang sosial, ekonomi dan politik akibat revousi industri . Adanya kemiskinan , kemelaratan ,kebodohan kaum buruh , maka sosialisme berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan secara merata.
Dalam perkembangan sosialisme terdiri dari pelbagai macam bentuk seperti sosialisme utopia, sosialisme ilmiah yang kemudian akan melahirkan pelbagai aliran sesuai dengan nama pendirinya atau kelompok masyarakat pengikutnya seperti Marxisme-Leninisme, Febianisme , dan Sosial Demokratis. Sosialisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada masyarakat –bangsa yang memiliki tradisi demokrasi yang kuat .
DAFTAR PUSTAKA
  1. Alfian . (1976) Ideologi , Idealisme dan Integrasi Nasional , dalam Yahya Muhaimin , Masalah- masalah Pembangunan Politik . Yogyakarta : Gajah Mada University Press .
  2. Anthony Crosland . ( 1978) . “ Sosialisme Sekarang “ , dalam Andrew Blowers dan Grahane Thomson , Ketidakmerataan , Konflik dan Perubahan .Jakarta , Universitas Indonesia Press.
  3. Fans Magnis . (1975) . Etika Sosial . Jakarta :
  4. Lyman Tower Sargent . ( 1984) . Ideologi –Ideologi Politik Kontemporer . Alih Bahasa AR Henry Sitanggang. Jakarta : Erlangga.
  5. Miriam Budiardjo . ( 1981) . Dasar-Dasar Ilmu Politik . Bandung Alumni .
  6. Soemardjo . ( t.t) Sejarah Sosialisme di Eropa Dari Abad ke-19 Sampai 1914 . Jakarta :Harapan Masa .
  7. Sutarjo Adisusilo . (1991) . Kapita Selekta Sejarah Eropa Abad XVIII-XIX . Yogyakarta : IKIP Sanata Dharma .
  8. Walter Ode J . ( 1990) . “ Sosialism” dalam The Encyclopedia Americana . Volume 25 . Connecticut : Glolier Incorporated .
  9. William Ebenstein . (1994) . Isme-Isme Dewasa Ini . Jakarta : Erlangga .
  10. Winardi . (1986) . Kapitalisme Versus Sosialisme . Bandung : Remaja Karya .
  11. Wiryono Prodjodikoro . ( 1981) . Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik . Bandung : Eresco .
Sumber : perpustakaan.uns.ac.id/jurnal

Ignas Kleden : “SUTAN SJAHRIR: ETOS POLITIK DAN JIWA KLASIK”

DOWNLOAD TULISAN INI

SUTAN SJAHRIR: ETOS POLITIK DAN JIWA KLASIK

Oleh : Ignas Kleden

Dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan dari tempat pembuangan di Boven Digoel, Sjahrir mengutip sepenggal sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller. Dalam teks aslinya kutipan itu berbunyi: und setzt ihr nicht das Lebenein, nie wird euch das Leben gewonnen sein— yang maknanya: hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan. Menurut pengakuannya, kalimat-kalimat yang indah itu dikutipnya dari luar kepala, jadi kita dapat menduga petikan tersebut sangat disukainya dan besar artinya buat hidupnya. Membaca tulisan-tulisan Sutan Sjahrir muncul kesan yang sangat kuat dalam diri saya bahwa bagi dia politik bukanlah perkara yang sangat digandrunginya, tetapi lebih merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Demikian pula politik untuk dia tidak terutama berarti merebut kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan itu, bukan machtsvorming & machtsaanwending menurut formula Bung Karno.2 Politik juga bukan persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh pelaksana money politics dewasa ini di tanah air kita. Bahkan politik juga tidak sekedar mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut kemungkinan yang lebih besar, sebagaimana yang kita pelajari dari Otto von Bismarck dari Prusia.

Bagi Sjahrir politik rupanya bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas instrumental atau Zweckrationalitaet yang diajarkan Max Weber. Bagi Sjahrir politik lebih dari pragmatisme simplistis, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga rasionalitas nilainilai atau Wertrationalitaet dalam pengertian Max Weber. Karena itulah politik lebih dari sekedar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral. Kalau politik dalam pengertian Sjahrir bukan semua yang disebut di atas, apa gerangan politik menurut pandangan dia? Menurut tafsiran saya, kutipan dari Friedrich Schiller tersebut adalah sebagian jawabannya. Kalau penggal sajak Schiller itu boleh kita parafrasekan, maka politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen — politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri.

Konsepsi politik seperti itu kedengarannya terlalu halus kalau diperhadapkan dengan Realpolitik baik pada tingkat nasional mau pun pada tingkat internasional. Akan tetapi di balik kehalusan tersebut tegak sebuah keberanian yang kokoh karena tanpa komplikasi, suatu kesahajaan yang menakutkan karena tanpa pretensi. Khusus untuk para politisi muda konsepsi seperti itu membantu mengingatkan bahwa dalam politik ada suatu keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu mudah dipahami oleh banyak orang, karena mengandaikan pengertian tentang beberapa asumsi yang filosofis sifatnya.

Mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang serba nekad. Tetapi Sjahrir memperingatkan bahwa dalam politik hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. Pada titik inilah dapat kita pahami kecemasannya tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan, yang penuh tenaga dan determinasi tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan. Setelah Jepang menyerah kalah Sjahrir mencatat dengan prihatin bahwa para pemuda terjebak di antara sikap nekad di satu pihak dan keragu-raguan di pihak lainnya. Semboyan “Merdeka atau Mati” ternyata dapat menjadi perangkap kejiwaan. Karena, selagi menyaksikan kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para pemuda itu terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Ini semua terjadi karena, menurut Sjahrir, selama Jepang berkuasa di Indonesia, para pemuda kita hanya dilatih untuk berbaris dan berkelahi, tetapi tak pernah dilatih untuk memimpin.

Mengatakan bahwa Sjahrir melihat politik sebagai sikap mempertaruhkan hidup untuk memenangkan hidup, dapat memberi kesan bahwa dia mirip seorang politikus romantis yang tidak memahami bekerjanya mesin kekuasaan atau mechanics of power dalam politik praktis. Anggapan ini tidak sesuai dengan kenyataan hidup Sjahrir, baik kalau kita melihat sepak terjangnya dalam dunia politik, mau pun kalau kita membaca tulisan-tulisannya, atau tulisan para pengamat atau kesaksian para sahabatnya. Di dasar hatinya Sjahrir mendambakan kebebasan untuk setiap orang, yaitu individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk bertanggungjawab terhadap cita-cita dan tindak-perbuatannya masing-masing. Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata. Pertama, dalam negeri Sjahrir sangat cemas akan hidupnya kembali feodalisme lama dalam politik Indonesia, yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik untuk menjadi raja-raja versi baru yang tetap membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan.

Karena itu selain revolusi nasional dibutuhkan juga suatu revolusi sosial yang dinamakannya revolusi kerakyatan. Revolusi nasional harus didahulukan, karena hanya dalam alam kemerdekaan perjuangan menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri cengkeraman kapitalisme dapat dilaksanakan. Kolonialisme Belanda, menurut Sjahrir, telah mengawinkan rasio modern dari Barat dengan feodalisme local dengan sangat cerdik, dan hasilnya adalah semacam fasisme terselubung, yang menyiapkan lahan subur untuk fasisme Jepang. Seterusnya, partai politik sebaiknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggungjawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik, dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasimenurut kehendak sang pemimpin. Demikian pun dalampolitik nasional, dia bersama Bung Hatta mendorong berkembangnya sistem multi-partai agar supaya kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan.

Kedua, secara internasional dia juga cemas melihat menguatnya fasisme yang ketika itu melebarkan sayapnya dari Spanyol, Italia, Jerman hingga ke Jepang. Dalam pandangannya feodalisme lokal mudah sekali digabungkan dengan setiap kecenderungan totaliter, karena massa rakyat yang tidak mempunyai pengertian dan keyakinan politik akan mudah saja dimobilisasi oleh seorang pemimpin politik melalui slogan, demagogi dan sedikit pengetahuan tentang psikologi massa. Baik totalitarianisme mau pun feodalisme mempunyai kesamaan watak dalam membunuh kebebasan perorangan yang pada akhirnya membuat manusia tidak lebih dari budak kekuasaan.

Kecemasannya terhadap totalitarianisme kanan yaitu fasisme tidak lebih besar atau lebih kecil dari sikap awasnya terhadap totalitarianisme kiri yaitu komunisme. Entah dari kanan atau dari kiri totalitarianisme selalu menindas kebebasan perorangan yang dianggap sepele dan tak berarti dalam berhadapan dengan suatu totalitas besar entah itu bernama negara atau diktatur protelariat. Dalam politik internasional keyakinan ini direalisasikannya dengan menolak berpihak pada dua totalitas besar pada waktu itu yaitu blok politik dan blok keamanan yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris berhadapan dengan blok kiri yang dipimpin oleh Uni Soviet.

Pembentukan Inter-Asian Relations Conference di New Dehli pada bulan April 1947, mendapat dukungan penuh dari Sjahrir dalam kedudukannya sebagai Perdana Menteri Indonesia ketika itu. Seperti kita tahu konferensi itu menjadi embryo suatu politik luar-negeri yang bebas dan aktif, yaitu politik yang turut bertanggungjawab terhadap perkembangan kejadian-kejadian di dunia tanpa membangun afiliasi dengan salah satu dari blok-blok yang sedang bersaing. Dengan semangat seperti itu tidaklah mengherankan kalau Sjahrir berpendapat bahwa revolusi nasional harus segera disusul oleh suatu revolusi sosial yang dapat membebaskan rakyat dari kungkungan feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan ke arah fasisme yang muncul bersama kapitalisme yang tak terkendali.

Seterusnya, kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk merealisasikan diri dan bakat-bakatnya dalam kebebasan tanpa halangan dan hambatan. Karena itulah, nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi, dan bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme lama yang hanya memerlukan beberapa langkah berikut untuk tiba pada fasisme. Dalam penilaian Sjahrir, inilah yang terjadi pada politik dan kepemimpinan Franco di Spanyol, Mussolini di Italia, Hitler di Jerman dan Chiang Kai Sek di Tiongkok.

Kalau dalam negeri nasionalisme harus tunduk pada tuntutan demokrasi, maka dalam hubungan internasional nasionalisme harus tunduk pada tuntutan humanisme, karena kalau tidak maka nasionalisme itu dapat menjadi sumber ketegangan dan perseteruan di antara bangsa yang satu dan bangsa lainnya. Fasisme dalam negeri hanyalah wajah lain dari chauvinisme dalam pergaulan antar-bangsa. Pada titik ini kelihatan bahwa bagi Sjahrir politik adalah usaha dan upaya untuk mewujudkan nilainilai martabat dan kesejahteraan manusia. Akan tetapi nilai-nilai tersebut tak mungkin terwujud hanya dengan cara menghilangkan feodalisme dan menolak setiap politik yang totaliter. Tarohlah, tindakantindakan tersebut merupakan persiapan dan langkah-langkah secara negatif, maka kita dapat bertanya apa gerangan yang diusulkan Sjahrir sebagai langkah yang positif.

Jawaban Sjahrir adalah edukasi, yaitu pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya yang mungkin dikandung dalam pengertian itu. Penekanannya pada edukasi inilah yang membuat Sjahrir demikian terlibat dan bahkan terpesona oleh beberapa urusan yang tidak begitu langsung berkaitan dengan urusan politik. Di tempat pembuangannya di Banda Neira teman-temannya yang paling akrab adalah anak-anak kecil yang hampir setiap hari bermain ke rumahnya, yang bajubaju mereka dia jahit sendiri dengan mesin jahit, yang diajaknya berenang dan bermain di pantai sambil menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.

Mereka menjadi murid-murid pelajaran privat yang diberikannya, di mana mereka diajar membaca, menulis, berbahasa dengan benar, dan berani bertanya, dan dengan cara itu membuka pintu bagi mereka ke dunia ilmu pengetahuan. Kembali dari pembuangan Sjahrir aktif lagi dalam pergerakan dan memberi perhatian khusus kepada para pemuda yang demikian penuh semangat, yang siap berjuang sampai mati, tetapi tidak diajarkan kepandaian memimpin, dengan akibat bahwa mereka sangat pandai berbaris dan berkelahi tanpamengetahui dengan jelas untuk apa mereka harus berkelahi dan mengapa mereka harus mati dan bukannya harus hidup dan menikmati hidup mereka.

Aneh tapi nyata bahwa di tengah kesibukan sebagai orang pergerakan Sjahrir tetap memberi perhatian besar kepada perkembangan dunia ilmu pengetahuan, menulis pandangan tentang manfaat nuklir, mengikuti apa yang terjadi dalam seni dan sastra, melakukan studi-studi ilmu sosial, dan memberikan komentar tentang pemikiran-pemikiran filsafat pada masanya. Gabungan minat dan kegiatan seperti ini hanya mungkin ada pada seorang pendidik, yaitu seseorang yang merasa bertugas melakukan transfer sejumlah pengetahuan kepada orang-orang yang dididiknya dan kemudian membantu transformasi pengetahuan tersebut menjadi seperangkat nilai agar nilai-nilai itu dapat diejawantahkan dalam sikap dan perbuatan. Dalam kaitan ini politik bagi Sjahrir pertama-tama berarti mendidik suatu bangsa dan rakyatnya untuk mandiri dan bebas.

Kemandirian adalah lawan dari ketidak-matangan dan kebebasan adalah lawan dari ketergantungan. Karena itulah dia selalu menekankan pentingnya dimensi-dalam atau aspek interioritas dari kebudayaan, politik dan ilmu pengetahuan. Dalam pandangannya banyak kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu baru menjadi pemegang titel dan belum menjadi kaum intelektual. Mereka masih memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai perkara yang bersifat lahiriah belaka dan sebagai barang mati dan “bukan suatu hakekat yang hidup ….. yang senantiasa harus dipupuk dan dipelihara”. Demikian pun tentang kebudayaan dan politik Sjahrir menulis: Inilah inti persoalan: kita pada akhirnya adalah anak-anak zaman kita, dan kita mempunyai hati nurani. Sebutlah itu rasa respek terhadap diri sendiri, sebutlah itu kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan, sebutlah itu dengan nama apa saja — hati nurani itu berarti menguji diri sendiri pada pegangan batin kita, pada nilai-nilai, prinsip-prinsip, prasangka-prasangka, perasaanperasaan dan naluri-naluri.

Pada titik itu kita tahu Sjahrir lebih dari seorang Realpolitiker. Karena dalam politik tidak berlaku apa yang oleh Kant dinamakan imperatif kategoris, tetapi yang lebih dominan adalah imperatif hipotetis, yakni suatu perintah bersyarat, dan di sini syaratnya adalah akibat atau hasil yang bakal diberikan oleh pelaksanaan perintah tersebut. Pokok pertimbangan adalah apakah dengan melakukan suatu perintah seseorang akan memperoleh akibat yang dibayangkannya. Kalau seorang politikus Indonesia memperjuangkan nasib para petani dan nelayan dengan perhitungan bahwa dia akan memperoleh dukungan suara yang cukup dalam Pemilu, maka politikus ini bertindak berdasarkan imperatif hipotetis. Tindakannya ini mungkin baik dan perlu tetapi tak bisa dijadikan prinsip umum bagi tindakan orang-orang lain yang kebetulan tidak mempunyai minat untuk posisi politik.

Namun kadangkala kita bertemu juga dengan orang-orang yang berjuang matimatian untuk kelompok petani dan nelayan, meski pun tidak ada target politik padanya, semata-mata karena merasa bahwa kelompok ini layak dibela karena mereka juga mempunyai martabat dan hak-hak seperti orang-orang dari kelompok lain yang lebih beruntung. Di sini kita berjumpa dengan orang-orang yang bertindak berdasarkan imperatif kategoris, karena prinsip tindakan mereka dapat digeneralisasikan menjadi prinsip tindakan semua orang lain, dan bahkan dapat dijadikan prinsip dalam pembuatan undang-undang.10 Tidaklah mengherankan bahwa dalam suratnya dari penjara Cipinang tertanggal 22 Juli 1934 Sjahrir menulis:”Hal meletakkan suatu dasar moral bagi politik dan kebudayaan lalu bisa dianggap sebagai politik dalam pengertian yang lebih luas”. Tak perlu diuraikan panjang-lebar bahwa dalam usaha melakukan pendidikan yang menghasilkan manusia yang bebas dan mandiri, Sjahrir melihat peranan besar yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan. Dengan cukup intensif dia memanfaatkan waktunya dalam tahanan, dalam pelayaran ke tempat pembuangan, dan dalam keterasingan di Digul dan Banda Neira untuk mengikuti perkembangan politik Indonesia dan politik dunia melalui koran-koran yang sampai ke tangannya, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui buku-buku yang kebetulan ada padanya.

Catatan-catatan dalam pelayaran ke Digul menunjukkan perhatian dan pengamatannya yang cermat tentang keadaan dan cara hidup orang-orang di pulau-pulau sebelah Timur, dan sangat mirip catatan etnografis seorang antropolog profesional, meski pun masih penuh dengan prasangka-prasangka Eurosentris. Demikian pula catatannya tentang sesama orang buangan di Digul menunjukkan simpati besar kepada manusia yang menderita tekanan lahir batin dan kehilangan harapan, yang kesulitan-kesulitan kejiwaan mereka dicoba dipahaminya berdasarkan pengetahuannya tentang psikologi atau psikoanalisa. Sedangkan tentang penduduk asli di Digul dia dengan hati-hati menulis: Barangkali aku akan menulis sketsa-sketsa atau studi-studi mengenai etnologi, meski pun di lain pihak aku tidak pula suka menulis secara diletantis, secara awam. Dan tulisan-tulisanku itu sudah pasti tak bisa lain daripada bersifat diletantis saja, karena buku-buku penuntun yang perlu untuk itu tidak tersedia, dan aku tidak bisa mempergunakan buku-bukuku sendiri yang masih ketinggalan di Jawa, dan yang belum juga bisa dikirimkan kemari, meski pun aku sudah berusaha untuk itu. Kawankawan yang harus menguruskannya tidak mempunyai uang untuk mengirimkannya.

Di Banda Neira dia selalu ingin bekerja sepuluh jam sehari, meski pun niat ini tidak selalu kesampaian.13 Seperti juga Soekarno di Ende-Flores membuat studi yang intensif tentang Islam dan modernisasi14, dan Hatta di Digul mengajar dan menulis tentang filsafat Yunani Antik15, maka Sjahrir pun merencanakan bacaannya secara teratur berdasarkan buku-buku yang ada. Untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu ekonomi dia membaca John Stuart Mill, menulis tinjauan budaya yang panjang dan mendalam tentang buku Huizinga, membaca Ortega Y Gasset dan Benetto Croce untuk memperdalam pengetahuannya tentang filsafat kebudayaan, menulis kritik tentang positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, membaca dengan simpati besar biografi Friedrich Engels dan Gustav Meyer, membandingkan psikologi Kant dan Goethe, menganalisa penulisan cerpen Amerika, Belanda dan Indonesia sambil memberi komentar kritis tentang majalah Poedjangga Baru 16 dan bahkan menyempatkan diri berpolemik dengan penyair J.E. Tatengteng.

Dengan minat yang sedemikian luasnya Sjahrir tidak terombang-ambing dalam berbagai aliran pemikiran, karena dia tetap berpegang pada satu fokus utama untuk menguji berbagai pandangan dan pendapat yang dihadapinya. Ada pun titik fokal yang menjadi pegangan Sjahrir adalah pertanyaan: Apakah suatu pandangan dunia, pendapat politik, paham filsafat, ajaran agama dan bahkan teori ilmu pengetahuan membantu manusia untuk mandiri dan bebas atau malah membuatnya terperangkap kembali dalam jebakan-jebakan yang dibuatnya sendiri?

Cita-cita tentang kebebasan dan kemandirian manusia inilah yang rupanya telah mendorong Sjahrir memilih sosialisme sebagai paham politiknya, yang kemudian pada tahun 1948 dijadikan dasar bagi partai politik yang didirikannya yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ahli ilmu politik dan Indonesianis terkemuka, Herbert Feith, menulis bahwa PSI merupakan jelmaan politik sosial-demokrasi di Indonesia. Akan tetapi menurut pendapatnya, partai ini lebih tepat dinamakan liberal-sosialis daripada sosialdemokratis, seandainya saja istilah “liberal” dalam pemakaian bahasa politik di Indonesia tidak telanjur diasosiasikan dengan kapitalisme yang tak terkendali. Usulnya ini didasarkannya pada dua alasan. Pada satu pihak, istilah “demokrasi” tak begitu cocok karena partai ini hanya mempunyai sedikit pengikut di kalangan massa rakyat biasa.

Keanggotaannya lebih terbatas pada kalangan kelas menengah perkotaan yang berpendidikan tinggi, sementara pengaruh politiknya tidak diperoleh melalui cara-cara populer seperti rally politik atau mobilisasi. Pada pihak lainnya, partai ini memperlihatkan suatu kekhasan yang membedakannya dari parta politik lainnya, dalam perhatian besar yang diberikan kepada kebebasan individual, keterbukaan yang leluasa terhadap paham-paham intelektual di dunia, serta penolakan tegas terhadap berbagai bentuk obskurantisme, chauvinisme dan kultus pribadi. Sebetulnya benih-benih organisasi PSI sudah ada semenjak 1932, saat Sjahrir dan Hatta kembali dari studi mereka di negeri Belanda. Keduanya sepakat mendirikan PNI Baru yang bertujuan mendidik kader-kader politik, sehingga para kader ini sanggup meneruskan perjuangan kaum nasionalis, seandainya para pemimpinnya ditangkap atau dibuang. PNI Baru, seperti kita tahu, tidak mempunyai banyak waktu untuk berkiprah mewujudkan cita-cita tersebut, karena hanya dua tahun kemudian pada 1934 kedua pemimpin itu ditangkap oleh pemerintah Belanda, dibuang ke Digul dan selanjutnya ke Banda Neira dan baru dibebaskan pada 31 Januari 1942.

Pertanyaan yang menarik dan penting adalah: mengapa Sjahrir memilih sosialisme? Dilihat menurut konteks sejarahnya maka sosialisme merupakan gagasan politik kiri pada masa itu yang menjadi representasi pemikiran progresif di kalangan kaum terpelajar Indonesia dalam menghadapi kolonialisme yang dianggap sebagai perkembangan lanjut dari kapitalisme. Dengan sendirinya, orang-orang yang menolak kolonialisme akan cenderung juga menolak kapitalisme sebagai induknya. Teori imperalisme Lenin telah menarik perhatian hampir semua kalangan intelligentsia Indonesia pada tahun 1920-an dan 1930-an mulai dari Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Sjahrir. Dalam semangat zaman ketika itu kapitalisme dan kolonialisme dianggap kekuatan sejarah yang cenderung kepada eksploitasi manusia atas manusia dan akan menghasilkan kemakmuran dan kejayaan untuk para pemilik modal dan penderitaan untuk bagian terbesar orang-orang yang hanya mempunyai tenaga kerja.

Sebagai seorang inteligentsia terkemuka pada masanya Sjahrir terlibat dalam pemikiran yang sama. Pada Sjahrir khususnya sosialisme dibutuhkan untuk melaksanakan revolusi sosial di Indonesia untuk mengakhiri feodalisme dan mengikis benih-benih fasisme, setelah tercapai kemerdekaan nasional. Revolusi sosial ini perlu dilakukan agar feodalisme lama tidak hidup lagi setelah berakhirnya kekuasaan kolonial, tatkala para pemimpin politik bisa tergoda untuk mempergunakan ketaatan hierarkis feodal untuk tetap membelenggu rakyatnya dalam kebodohan dan ketergantungan.Maka sosial-demokrasi pada Sjahrir pada tempat pertama berarti sosialisme kerakyatan yang tujuannya adalah “membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia”.

Tujuan seperti itu boleh dikata merupakan tujuan umum semua kelompok politik kiri. Maka Sjahrir berusaha membedakan dirinya dan partainya dari beberapa golongan lain yang juga mengklaim melaksanakan politik kiri. Terhadap golongan komunis Sjahrir menolak penggunaan kekerasan dan menolak pula pengertian diktatur proletariat sebagaimana dikonsepsikan oleh Lenin dan dipraktekkan oleh Stalin. Yaitu bahwa diktatur proletariat berarti diktatur yang dijalankan oleh partai tunggal yaitu partai komunis yang berhak memaksakan seluruh ketaatan rakyat. Paham dan praktek ini ditolak secara kategoris oleh Sjahrir, yang yakin sepenuhnya bahwa tujuan politik adalah membebaskan rakyat dari cengkeraman segala jenis totalitarianisme, agar memberi jalan kepada rakyat mencapai kemandirian dan kebebasan.21 Atas cara yang sama Sjahrir juga menolak Bolsyewisme, yang menurut pendapatnya membenarkan penggunaan kekerasan oleh beberapa orang dalam Politbiro partai komunis Uni Soviet, yang menindas semua lawan politiknya, sekali pun tidak semua lawan politik itu dapat dikelompokkan ke dalam golongan kapitalis. Karena itulah penggabungan konsep sosialisme dan konsep demokrasi merupakan suatu keharusan, sebab sosialisme menekankan perjuangan politik yang bersifat kerakyatan, sementara demokrasi menolak semua bentuk politik yang totaliter, serta menjamin terjamin kemandirian dan kebebasan setiap orang.

Di lain pihak, Sjahrir juga melihat perbedaan antara sosial-demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropah dan sosialisme kerakyatan yang berkembang di negara-negara Asia, khususnya di Indonesia. Perbedaan itu terlihat dalam dua soal utama, yaitu dalam sikap terhadap kolonialisme dan dalam pandangan tentang industrialisasi. Dalam berhadapan dengan kekuatan kolonial kaum sosialis kerakyatan di Asia lebih bersedia bekerja sama dengan kaum komunis dalam melakukan akselerasi suasana revolusioner, tetapi menolak tegas penggunaan cara-cara kediktaturan. Seterusnya, dalam peralihan dari masyarakat feodal-agraris ke masyarakat industri modern, kaum sosialis kerakyatan di Asia lebih berani mendorong percepatan peralihan tersebut, sementara kaum sosial-demokrat di Eropah selalu was-was dengan peralihan yang terlalu cepat, karena khawatir bahwa kegagalan dalam peralihan tersebut akan mengundang metode paksaan dan kekerasan yang dijalankan oleh suatu diktatur yang dibenarkan oleh system komunis.

Sikap kerakyatan Sjahrir dengan komitmen kuat kepada martabat pribadi setiap orang menyebabkan kedudukan Sjahrir agak terpencil di tengah gerakan-gerakan nasionalis lainnya. Dalam berhadapan dengan rakyat bangsanya sendiri, dia enggan melakukan aksi massa seperti yang dilakukan oleh Soekarno, dan tidak tertarik juga untuk menggerakkan rakyat lewat agitasi politik sebagaimana diusulkan oleh Tan Malaka. Lain dari itu, Tan Malaka memberi penekanan utama pada kebutuhan materil. Menurut Ben Anderson hanya Tan Malaka sendiri dari antara para politisi masa itu yang terang-terangan berani menolak gagasan politik Sjahrir dan membela mobilisasi massa. Lihat Benedict Anderson “Introduction” dalam Sutan Sjahrir, Our Struggle (translated with an introduction by Benedict Anderson), Ithaca, Cornell University, 1968, sedangkan Sjahrir menekankan kesejahteraan dan sekaligus martabat manusia orang perorang. Seterusnya, sekali pun perjuangan kaum buruh dalam pandangan Sjahrir tetap mempunyai watak internasional dari perjuangan kelas kaum buruh di seluruh dunia, namun dia dengan tegas melihat perjuangan sosialis kerakyatan sebagai perjuangan nasional untuk meningkatan kesejahteraan dan martabat manusia Indonesia, dan membedakan diri dari politik partai komunis yang memperlakukan perjuangan politik mereka di Indonesia sebagai bagian dari aksi massa yang harus merebut kekuasaan nasional sebagaimana diharuskan oleh strategi internasional di bawah kendali Moskow.

Sebaliknya, terhadap kaum nasionalis yang mendewa-dewakan semangat kebangsaan Sjahrir melihat dengan cemas munculnya potensi chauvinisme yang berkerabat dekat dengan fasisme. Demikian pula rasionalisme dan modernisme yang ditawarkan oleh politiknya tampaknya terlalu sekular untuk kaum agama. Sikap kritisnya yang tegar dan komitmennya yang penuh kepada nilai-nilai martabat manusia, membuat jalan pikiran dan politiknya tidak selalu mudah dipahami. Penilaiannya tentang strategi koperasi dan non-koperasi yang dijalankan kaum nasionalis dalam berhadapan dengan pemerintah kolonial Belanda, mengikuti suatu logika tentang moralitas yang bahkan tidak selalu mudah untuk dipahami bahkan oleh orang-orang terpelajar pada masa itu. Dalam penilaian Sjahrir para tokoh nasionalis seperti Bung Hatta yang memilih jalan non-koperasi secara politik, sebetulnya melakukan suatu koperasi secara moral dengan pihak penjajah. Mereka yang menolak kerja sama politik dan bahkan melakukan oposisi politik pada dasarnya percaya bahwa pemerintah penjajah Belanda masih berpegang pada etika politik yang terwujud dalam hukum dan karena itu tidak akan memberangus hak-hak politik dari para pengeritik dan lawan politiknya.

Ada asumsi dan kepercayaan bahwa baik pemerintah kolonial mau pun lawan politiknya sama-sama berpegang pada suatu moralitas politik yang sama. Sebaliknya, mereka yang memilih jalan koperasi yaitu bekerja sama dengan pemerintah kolonial pada hakeketnya melakukan suatu non-koperasi secara moral, karena mereka tidak percaya lagi bahwa pemerintah penjajah dalam menjalankan politiknya masih berpegang pada suatu moralitas. Mereka tidak yakin lagi bahwa hak-hak politik para pengeritik politik colonial masih dihormati menurut nilai-nilai suatu etika politik, dan karena itu menganggap bahwa setiap perlawanan dan oposisi langsung tidak akan ditolerir dan tidak juga dilindungi oleh hukum.

Cara bernalar seperti itu jelas menunjukkan bahwa Sjahrir seorang yang terlatih berpikir dialektis. Kontradiksi yang dijumpai dalam hidupnya tidak diterima sebagai jalan buntu tetapi sebagai antitesa yang lahir dari sejarah hidupnya yang akan menggerakkan proses menuju suatu sintesa yang dapat memberi harapan baru. Ketika menerima surat keputusan dari pemerintah kolonial Belanda tentang pembuangannya ke Boven Digoel, maka jelas ada kesedihan mendalam yang dirasakannya bahwa dia akan terpisah selama bertahun-tahun dari keluarga dan kaum kerabat yang dicintainya. Akan tetapi surat keputusan dengan alasan yang tak pernah jelas itu telah diterimanya sebagai berkah yang mengatasi kebimbangan hati antara mengabdikan diri kepada keluarga atau membaktikan hidup untuk rakyat dan bangsanya. Tanpa nada pathetis yang berlebihan dia menulis dalam suratnya dari penjara Cipinang tertanggal 9 Desember 1934: Berakhirlah sekarang keragu-raguan dan rasa susah yang kualami selama dua tahun terakhir ini, dan sekarang aku tidak mau dan tidak boleh memikirkannya lagi. Seolah-olah aku diingatkan kepada bangsaku, tatkala kuterima beslit tentang pembuangan itu; diingatkan pada segala sesuatu yang mengikat aku pada nasib dan penderitaan bangsa yang berjuta-juta ini. Bukankah kesedihan pribadi kita akhirnya hanya sebagian kecil saja dari penderitaan yang besar, yang umum itu? Bukankah justru penderitaan itu merupakan ikatan kita yang semesra-mesranya dan sekuat-kuatnya? Justru sekarang— pada saat aku barangkali harus berpisah untuk selama-lamanya dengan yang paling kucintai dan yang paling indah bagiku di dunia ini — justru sekarang inilah aku merasa lebih terikat pada bangsaku, aku semakin mencintainya lebih daripada yang sudah-sudah.

Dalam perasaan cinta yang demikian mendalam kepada bangsanya, ternyata bahwa ada jarak kebudayaan dan jarak intelektual yang lebar antara Sjahrir dan rakyatnya. Dia kadang mengeluh bahwa cara pikirnya, alasan-alasan rasa gembira dan rasa sedihnya demikian berbeda dari yang ada pada orang-orang di sekelilingnya. Hambatan-hambatan tersebut tidak selalu dapat diatasi dan sampai tingkat tertentu menghalangi saling-pengertian di antara kedua pihak, sekali pun kedua-duanya ingin saling mendekati. Untuk yang satu Sjahrir terlalu Eropah, terlalu Belanda, terlalu banyak berpikir. Untuk Sjahrir rakyat yang dicintainya terlalu lamban, terlalu bertele-tele, dengan tingkahlaku yang tidak selalu dapat dipahami secara logis. Inilah salah satu alas an mengapa dia demikian ingin agar ada cukup waktu padanya untuk memperdalam studistudi yang bersifat antropologis dan sosiologis tentang berbagai suku bangsa di Indonesia.

Seperti kita tahu keinginan itu tak pernah kesampaian. Selagi berada dalam penjara dan di tempat pembuangan dia tidak mempunyai cukup kepustakaan yang dapat membimbingnya secara ilmiah untuk melakukan studi-studi tersebut. Setelah lepas dari pembuangan dan bebas dari tahanan dia tidak lagi mempunyai cukup waktu karena terpanggil oleh tugas-tugas politik. Seorang penulis Amerika, Charles Wolf Jr, yang menulis pengantar untuk terjemahan Inggris buku Sjahrir Out of Exile, berpendapat bahwa seandainya Sjahrir boleh memilih di antara politik dan ilmu pengetahuan dia pastilah akan memilih melakukan studi-studi yang bersifat ilmu pengetahuan.29 Namun demikian prestasi yang dicapai oleh Sjahrir dalam bidang politik sudah tercatat dalam sejarah. Dengan semua keberhasilan politiknya sebagai PerdanaMenteri pertama, sebagai ketua delegasi Indonesia ke Dewan Keamanan PBB, sebagai penasihat presiden dan kemudian sebagai pendiri partai politik, boleh dikata Sjahrir bukanlah seorang politikus yang dengan penuh gairah memilih politik sebagai bidang pengabdiannya.

Dia lebih melihat politik sebagai tanggungjawab yang tak terelakkan yang harus dipikulnya. Karena itu dia tak pernah memandang politik sebagai tujuan, dan bahkan kemerdekaan nasional tidak menjadi tujuan akhir politiknya. Kemerdekaan nasional hanyalah jalan mewujudkan martabat manusia dan kesejahteraan bagi bangsanya, sedangkan politik hanyalah jalan mencapai kemerdekaan nasional. Mengenang semua ini sekarang dan membicarakan kembali pengertian, apresiasi dan keyakinan politik seperti itu, mungkin timbul kesan betapa jauh ideal politik yang diajukan Sjahrir dari praktek politik Indonesia saat ini. Apakah Sjahrir terlalu jauh dari kita, atau kita yang terlalu jauh dari gagasan politiknya? Apakah terlalu mengawang-awang mendambakan kesejahteraan untuk semua orang tanpa terlalu banyak kemiskinan, dan kebahagiaan semua orang dalam kebebasan tanpa terlalu banyak kekangan dan hambatan?

Kebebasan dalam pengertian Sjahrir bukan sekedar kebebasan politik, tetapi keluasan dan keleluasaan jiwa, yang memandang dunia dengan gembira tanpa prasangka, yang tidak terhambat oleh kekangan dan kecurigaan-kecurigaan yang sempit. Dalam pandangan Sjahrir inilah rahasia jiwa klasik yang ada pada Yunani Antik, yang ditemukan kembali dalam renaisans Eropah, dan yang masih terlihat pada karya-karya Goethe dan Schiller. Untuk jiwa klasik dunia akan serba luas dan bukan sempit dan picik, hidup itu mulia dan tak pernah hina, seni selalu indah dan tidak jahat, dan manusia adalah makhluk penuh bakat yang harus diolah dan dikembangkan. Kebudayaan akan dibuat abadi oleh jiwa-jiwa klasik ini, politik menjadi perkara yang luhur, dan ilmu pengetahuan akan terbuka cakrawalanya seluas kaki langit karena pikiran dan jiwa sanggup menerobos batas-batasnya sendiri. Sangat mungkin Sjahrir sendiri menyadari sedari awal bahwa politik dengan muatan moral yang demikian berat, tak akan menang dalam waktu singkat, semata-mata karena tak terpikulkan dan tak selalu dapat dipahami. Akan tetapi politik dalam artian Sjahrir bukanlah suatu proyek, bukan sekedar program tetapi kehidupan itu sendiri. Partai politik Sjahrir telah kalah dan dikalahkan oleh kekuasaan politik. Namun yang tinggal pada kita adalah suatu etos politik yang memberi keyakinan bahwa martabat manusia dan jiwa klasik tak selalu dapat dimenangkan, tetapi pasti tak akan pernah dapat dikalahkan sampai tuntas buat selamanya. Dalam arti itu Sjahrir memenuhi janjinya: dia telah mempertaruhkan hidupnya, dan dia telah memenangkannya.

Sutan Sjahrir : PERJUANGAN KITA

DOWNLOAD TULISAN INI

PERJUANGAN KITA

Oleh : Sutan Sjahrir

Pendahuluan

Keadaan setelah dua bulan berdirinya Republik Indonesia dapat kita gambarkan sebagai berikut. Harapan dan keinginan untuk turut serta akan dapat mempertahankan kemerdekaan kita, umum ada pada segala lapisan bangsa kita. Belum pernah ditahun-tahun yang lalu gerakan kemerdekaan memuncak seperti sekarang. Terutama pada pemuda tampak, bahwa segenap jiwanya dipasangkan pada perjuangan kemerdekaan kita. Akan tetapi lambat laun rakyat banyak didesa dan dikota yang memperhebat perjuangan kita. Rakyat jelata turut tergolak kedalam gerakan kemerdekaan, didorong oleh kegelisahannya yang disebabkan oleh suasana masyarakatnya. Bagi rakyat jelata nyata, bahwa semboyan “merdeka” itu tidak saja berarti Negara Indonesia yang berdaulat pun tidak pula saja bendera merah putih baginya berarti simbol persatuan dan cita-citanya bangsa dan negara, akan tetapi terutama kemerdekaan dirinya sendiri dari sewenang-wenang, dari kelaparan dan kesengsaraan, dan merah-putih baginya terutama simbol perjuangan itu, yaitu perjuangan kerakyatan.

Ucapan-ucapan kegelisahan rakyat yang kerapkali merupakan perbuatan-perbuatan yang kejam serta pelanggaran hak milik dengan kekerasan, dapa dimengerti, jika dicari sebab-sebanya yang lebih dalam. Selama tiga setengah tahunpenjajahan Jepang sendi-sendi masyarakat didesa diobrak-abrik serta diruntuhkan dengan kerja paksa, dengan penculikan orang desa dijadikan romusha jauh dari tempat tinggalnya, dijadikan serdadu, dengan penyerahan hasil bumi dengan paksa, dengan penanaman hasil bumi dengan paksa, dengan sewenang-wenang yang tiada batasnya. Demikian pula diantara rakyat jelata dikota, ketidak pastian dalam kedudukannya, menyebabkan kegelisahan. Beribu-ribu orang yang sebelum Jepang datang, mempunyai pencaharian sebagai buruh, kehilangan mata pencahariannya. Berpuluh ribu orang-orang desa melarikan dirinya kekota untuk meluputkan diri dari sewenang-wenang serta kelaparan yang ada didesa. Berpuluh ribu pula orang pelarian romusha, heiho dan kerja paksa lainnya menambah banyaknya jiwa dikota yang tidak mempunyai pencaharian tertentu. Segala ini menyebabkan bahwa kegelisahan didalam masyarakat dikota terus memuncak. Bahaya segala ini akan meletus didalam pemberontakan dan kerusuhan terus bertambah besar untuk Jepang.

Setelah Jepang rubuh dan ia bersedia untuk ditawan, sehingga kekuasaan pemerintahannya lemah, bahaya akan meledaknya tenaga yang terhimpun didalam masyarakat itu, terus bertambah besar. Untuk menghindarkan bahaya itu, macam-macam muslihat Jepang yang digunakannya; antara lain diikhtiarkan untuk mengalirkan kegelisahan orang itu terhadap golongan-golongan lain.

Kebencian yang tambah lama tambah besar terhadap Jepang diputarkan oleh dengan agitasi dan propagandanya terhadap bangsa kulit putih, orang Tionghoa, pangrehpraja dan selanjutnya tak dapat kita mungkiri, bahwa propaganda dan agitasi Jepang itu banyak pengaruhnya dan berhasil juga baginya. Selama tiga setengah tahun negeri kita dikuncinya dari luar negeri, sehingga kita tidak mengetahui keadaan diluar dan ia leluasa mejual dustanya yang menjadi dasar propagandanya. Tatkala kebencian rakyat kita terhadap Jepang telah umum dan disana-sini timbul kerusuhan, digunakannya perasaan kebangsaan kita untuk mendinginkan kepanasan terhadap dia.

Dibentuknya Angkatan Muda untuk memperhebat agitasi kebangsaan, supaya dapat menghindarkan bahaya sosial yang mengancamnya. Agitasi kebangsaan itu memang memuaskan untuk pemuda-pemuda serta kaum terpelajar kita yang berada dalam kegelisahan dan kebimbangan. Pada umumnya adalah gerakan rahasia Jepang seperti Naga Hitam, Kipas Hitam dan lain-lain buatan kolone kelima Jepang, buatan Kempetai, Kaigun dan lain-lain sangat menunjukkan kegiatannya terhadap pemuda-pemuda kita dan memang ada juga yang dapat mempengaruhi jiwanya, meskipun pada lahirnya umum pemuda kita membenci Jepang. Degan tidak sadar, biasanya jiwanya terpengaruh juga oleh propaganda Jepang itu dan tingkah lakunya, hingga cara ia berfikir, adalh kerapkali mencontoh-contoh Jepang. Kegiatan jiwanya, terutama terlihat sebagai kebencian kepada bangsa-bangsa asing, yaitu sebenarnya yang ditujukan oleh Jepang untuk dimusuhi, bangsa Sekutu, bangsa Belanda, bangsa Indo (bangsa kita sendiri), Ambon Menado, kedua-duanya bangsa kita sendiri, Tionghoa, pangrehpraja; maksudnya tak lain, seluruh dunia boleh dibenci asalkan jangan membenci Jepang.

Demikian keadaan sebelum pernyataan Indonesia Merdeka, demikian pula bahan-bahan untuk mendirikan perumahan Indonesia Merdeka. Merdeka didirikan, rata-rata orang yang mengemudikannya adalah bekas pegawai dan pembantu Jepang. Hal ini menjadi halangan untuk membersihkan masyarakat kita dari penyakit Jepang yang berbahaya untuk jiwa pemuda kita itu. Pendidikan politik yang diwaktu jaman jajahan Belanda telah begitu tipis, didalam jaman Jepang sama sekali tidak ada, jiwa pemuda dibentuk untuk dapat menerima perintah saja, untuk tunduk dan mendewa-dewakan, seperti orang Jepang tunduk kepada Tenno dan mendewa-dewakannya. Demikian pula hanya diajar tunduk pada pemimpin dan mendewa-dewakannya, tidak diajar dan tidak cakap bertindak dengan bertanggung jawab sendiri. Kesadaran revolusioner yang harus berdasar pada pengetahuan kemasyarakatan, tipis benar. Oleh karena itu, kecakapannya untuk menyusun dan mempergunakan kemungkinan yang ada dalam masyarakat, sangat kecil. Oleh karena itu pula, maka senjata dan alat perjuangan yang seharusnya dapat dibentuk dari tenaga yang terhimpun dalam masyarakat sebagai kebencian terhadap penindasan dan pemerasan Jepang tidak terbentuk.

Segala kegelisahan yang ada didalam masyarakat dijuruskan oleh pemuda-pemuda kita, pada kebencian terhadap bangsa-bangsa asing yang hidup didalam negeri kita, pada berbaris-baris dengan tombak yang sekarang menjalar menjadi pembunuhan dan perampokan serta rupa-rupa kegiatan lain lagi, yang ditilik dengan kacamata peruangan kemasyarakatan tidak berarti atau reaksioner, seperti tiap-tiap tindakan fasis itu selamanya reaksioner.

Terlambat datangnya balatentara Sekutu untuk menggantikan balatentara Jepang yang tidak berkemauan lagi untuk memerintah, sebenarnya memberikan kesempatan yang baik bagi pemerintahan Negara Republik Indonesia. Akan tetapi hal ini tiada tercapai seperti seharusnya.

Sebab yang pertama ialah bahwa yang mengendalikan pemerintahan Negara Republik Indonesia bukan orang yang berjiwa kuat. Kebanyakan dari mereka telah terlalu biasa membungkuk serta berlari untuk Jepang atau Belanda; jiwanya bimbang dan nyata tidak sanggup bertindak dan bertanggung jawab.

Sebab yang kedua adalah bahwa banyak diantara mereka merasa berhutang budi kepada Jepang, yang mengkurniakan persediaan Indonesia Merdeka pada mereka. Akhirnya dianggapnya, bahwa ia menjadi pemerintah, ialah oleh karena bekerja bersama dengan Jepang.

Oleh karena itu maka sesudah kekuasaan Jepag menjadi lemah dan kemudian runtuh, serta pula belum digantikan oleh kekuasaan militer Sekutu, idak pula Negara Republik Indonesia dapat medirikan kekuasaan bangsa kita sendiri sehingga berupa negeri dan bangsa yang tak berpemerintah, sedangkan rakyat gelisah belum mendapat didikan dan belum mempunyai pengetahuan tenatng menyelesaikan soal kemasyarakatannya berhubung dengan pemerintahan. Maka timbullah kekacauan yang menjalar terus, didalam keadaan begini agitasi kebangsaan berakibat rupa-rupa yang tiada dikehendaki atau dikuasai oleh orang yang membuat agitasi. Pembunuhan bangsa asing serta perampokan yang jika kita tilik keadaan rakyat dapat dimengerti, tidak urung pula menyatakan kelemahan pemerintah Republik Indonesia yang belum dapat merasakan dirinya sebagai pemerintah yang dipandang dan dihormati oleh rakyatnya.

Pemuda-pemuda kita yang berikhtiar mempergunakan kegelisahan rakyat itu, tiada pula mempunyai syarat-syarat yang perlu untuk dapat memimpin rakyat dalam perjuangan yang seharusnya dilakukan. Pemuda kita umumnya hanya mempunyai keckapan untuk menjadi serdadu, yaitu berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku dan tidak pernah diajar memimpin.

Oleh karena ia tidak berpengetahuan lain, cara ia megadakan propaganda dan agitasi pada rakyat banyak itu seperti dilihatnya dan diajarkannya dari Jepang, aitu fasistis. Sangat menyedihkan keadaan jiwa pemuda kita. Mereka terus didalam kebimbangan, meskipun semangatnya meluap-luap, mereka belum mempunyai pengertian tentang kemungkinan serta kedudukan perjuangan yang diperjuangkannya sehingga pandangannya tak dapat jauh. Pegangannya banyak kali tidak lain dari semboyan merdeka atau mati. Tiap kali kalau terasa, bahwa kemerdekaan belum pasti serta ia belum pula menghadapi mati, mereka berada terus didalam kebimbangan.

Obat untuk kebimbangan itu umumnya dicari dengan perbuatan yang terus-menerus, sehingga perbuatan dijadikan madat untuk jiwa. Bagi bangsa kita, mabuk perbuatan pemuda-pemuda ini, sebenarnya suatu keuntungan yang besar benar dan memang pula peruatan-perbuatan merekalah yang menjadi pendorong keras bagi perjuangan kita pada permulaannya, akan tetapi tentu pula perbuatan yang sebenarnya tiada berpengertian ini, banyak pula salah tubruk, sehingga merusakkan dan merugikan perjuangan kita. Dengan demikian umpamanya hasutan-hasutan dan perbuatan-perbuatan terhadap bangsa-bangsa asing, ang melemahkan kedudukan perjuangan kita didalam pandangan dunia internasional.

Terhadap cita-cita kita hendak mendirikan negara kita sendiri, dunia luar mulanya menyatakan simpatinya. Boleh dikatakan, bahwa pandangan umum dunia mula-mula memihak kita, terutama seluruh kaum buruh didunia, akan tetapi dengan bertambah banyaknya kejadian yang menunjukkan kekacauan diantara rakyat kita, yang sulit dapat dipahamkan sebagai ucapan perjuangan kemerdekaan, seperti pembunuhan serta perampokan, perasaan umum didunia terhadap perjuangan kita dapat berubah, seperti terbukti juga diwaktu yang akhir ini.

Pada umumnya sekalian tanda kekacauan dinegeri kita, hanya akan mengecewakan tidak saja kaum kapitalis akan tetapi juga kaum buruh seluruh dunia. Kaum kapital kecewa akan kemungkinan untuk modalnya yang diharapkan akan memberikan hasil jika keamanan sudah ada dinegeri kita. Kaum buruh kecewa akan tanda-tanda kekejaman fasistis, yang telah sangat terkenal didunia pada waktu ini, serta akan payah juga akan dapat menelan pembunuhan-pembunuhan orang asing, apalagi pembunuhan dan kekejaman terhadap orang Indo, Ambon dan Menado yang bangsa kita sendiri.

Sekalian ini hanya akan dimengerti sebagai kementahan didalam perasaan kebangsaan yang sebenarnya musti mengandung kesadaran politik kebangsaan pada pokoknya. Kebencian terhadap orang Indo, Ambon dan Menado hanya dapat diartikan oleh luar negeri, bahwa kesadaran diantara rakyat banyak terbukti masih sangat tipis atau belum ada sama sekali. Selama penduduk daerah yang satu masih dapat diadu-dombakan dengan penduduk daerah yang lain, memang sulit bagi dunia akan menerimanya sebagai bangsa baru yang pantas dihormati.

Untuk itulah akan dikemukakan dalam risalah ini beberapa kenyataan politik yang seharusnya dijadikan dasar di dalam perhitungan kita, demi berhasilnya perjuangan kita terhadap luar dan juga dalam negeri.

1. Kedudukan Indonesia Didunia Sekarang
Letak Indonesia dalam lingkungan daerah pengaruh kapitalisme-imperialisme Inggris-Amerika. Nasib Indonesia tergantung pada nasib kapitalisme-imperialisme Inggris-Amerika. Dalam waktu lebih dari satu abad terakhir ini, kekuasaan Belanda atasnegeri dan bangsa ini adalah buah dari pada perhitungan dan penetapan politikluar negeri Inggris. Kita ketahui bahwasetelah dipermulaaan abad kesembilan belas Inggris merampas dan mengembalikan Indonesia dari dan pada Belanda, sebenarnya Belanda berada dinegeri kita ini tidak lagi atas kekuatan sendiri akan tetapiatas kurnia Inggris serta bergantung semata-mata daripada politik Inggris. Politik Inggris terhadap Asia Timur ini dapatdijalankannya lebih dari seabad lamanya, meskipun tenaga dan keadaan baru timbul, seperti Rusia, Jepang, Amerika Serikat, Revolusi Tiongkok, akan tetapitak urung pula kedudukannya berobah, terutama di Tiongkok.

Perubahan yang besar terhadap daerah kita terjadi dengan pengusiran kekuasaan Belanda dari Indonesia oleh militer Jepang. Oleh karena Jepang kalah ia untuk sementara akan hilang dari alam politik Asia Tenggara ini, akan tetapi sebaliknya boleh dikatakan segala kedudukan Jepang itu akan jatuh ketangan Amerika Serikat yang sekarang telah menjadi kekuaan Pasifik yang jauh dan terbesar. Terhadap politik Inggris yang telah lebih dari seabad umurnya ia sekarang merasakan dirinya diseluruh Asia dan juga dinegeri kita sebagai perubah dan pembaru keadaan. Jika Inggris tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan politik Amerika Serikat yang dikuasai oleh hukum kehidupan kapitalismenya sendiri, nyata ia akhirnya akan kalah dengan tenaga Amerik Serikat. Nyata bahwa kekuasaan Belanda hingga waktu ini hanya suatu alat didalam percaturan politik Inggris. Nyata pula bahwa untuk politik AmerikaSerikat kekuasaan Belanda atas negeri kita tidak sama dengan untuk politik Inggris. Didalam kebenaran ini berada kemungkinan untuk kita mendapat kedudukan baru yang cocok dengan kehendak politik kekuatan raksasa Pasifik Amerika Serikat ini, akan tetapi juga batas kemungkinan bagi kita selama susunan dunia berupa kapitalistis dan imperialistis sepertis ekarang. Selama itu kita tetap akan berada didalam dan diliputi leh alam imperialisme-kapitalisme Amerika-Inggris,dan bagaimana juga usaha kita, kita sendiri tidak akan cukup tenaga untuk meruntuhkan alam itu, yang akan dapat memberi kita kemerdekaan yang sepenuh-penuhnya. Oleh karena itu maka nasib Indonesia, lebih dari daripada nasib bangsa-bangsa lain didunia tergantung pada keadaan dan sejarah internasional dan lebih pula dari bangsa lain, bangsa kita memerlukan berobahnya dasar-dasar pergaulan hidup kemanusiaan, yang akan menghilangkan imperialisme dan kapitalisme didunia ini.

Selama ini belum terjadi, maka perjuangan kebangsaan kita tidak akan dapat memuaskan sepenuh-penuhnya, serta kemerdekaan yang kita dapat, jika kita peroleh sepenuhnya terhadap Belanda, pun hanya berupa kemerdekaan seperti yang terlihat pada lain-lain negeri kecil, yang dibawah pengaruh negeri kapitalis besar, yaitu berupa kemerdekaan nama saja.

2. Revolusi Kerakyatan
Revolusi kita ini yang keluar berupa revolusi nasional, jika dipandang dari dalam berupa revolusi kerakyatan. Meskipun kita telah berpuluh tahun berada didalam lalu-lintas dunia modern, meskipun masyarakat negeri kita telah sangat dirobah dan dipengaruhi olehnya, akan tetapi diseluruh kehidupan rakyat kita terutama didesa, alam kehidupan serta pikiran orang masih feodal. Penjajahan Belanda berpegang pada sisa-sisa feodalisme itu untuk menahankemajuan sejarah bangsa kita. Begituumpamanya pangrehpraja tak lain daripada alat yang dibuat oleh penjajah Belanda dari warisan feodal masyarakat kita. Berupa-rupa aturan yang dilakukan atas rakyat kita tak lain daripada lanjutan yang lebih teratur dari kebiasaan feodal, demikian penghargaan yang begitu rendah terhadap diri orang desa, yang masih dipandang setengah budak-belian, bukan saja dalam mata kaum ningrat kita, akan tetapi juga didalam pandangan kaum penjajah Belanda.

Penjajahan Belanda itu mencari kekuatannya dengan perkawinan ratio-modern dengan feodalisme Indonesia, menjadi akhirnya contoh fasisme yang terutama yang terutama didunia ini. Fasisme ditanah jajahan jauh mendahului fasisme Hitler ataaupun Mussolini. Sebelum Hitler mengadakan consentratie kampBuchenwald atau Belzen, Boven-Digul sudah lebih dahulu diadakan. Oleh karena itu maka pergerakan rakyat kitadari sejak mula didalam menentang penjajahan asing sebenarnya menentangfeodal-bureaukratie dan akhirnya autokratie dan fasisme jajahan Belanda, danoleh karena itu pergerakan kerakyatan yang sejati. Tuntutan kedaulatan rakyat didalam pergerakankita itu memang sebagai gambaran yang sebenarnya tentang persoalan bangsa kita terhadap penjajahan asing yang autokratis dan fasistis itu. Rakyat didalam perjuangan sebagai bangsa menuntut hak-hak kemanusiaannya, yang akan memberi jaminan, bahwa ia tak akan diperlakukan lagi sebagai budak belian.

Oleh karena itu maka didalam pandangan kita revolusi kita sekarang adalah revolusi nasional dan revolusi kerakyatan yang bersangkutan dengan alam feodal dinegeri dan dimasyarakat kita, terutama didesa. Akan tetapi tentu saja kita tak dapat menyamakan revolusi kita ini dengan umpamanya revolusi Perancis. Kita berada didalam dunia yang telah dapat mempergunakan atom, dengan tehnik dan susunan serta kepintaran yang sama sekali tak dapat disamakan dengan dunia dan keadaan waktu jaman revolusi Perancis. Masyarakat kita sendiri mengenal susunan trust dan kartel, telegrap, radio, pabrik-pabrik dan perusahaan kapital besar seperti minyak dll, yang menyatakan pada kita, bahwameskipun kita menetapkan bawa revolusi kita ini revolusi kerakyatan,sekali-kali jangan keliru hingga hendak menyamakannya dengan revolusi Perancis,didalam kedudukan dan kemungkinannya. Tatkala revolusi Perancis belm ada kapitalisme dan imperialisme dunia, sepertiyang digambarkan diatas, serta dunia belum pula menjadi satu didalam perhubungan ekonomi seperti sekarang, dan pula susunan dan kedudukan masyarakat serta negeri Perancis berbeda sama sekali dengan susunan dan kedudukanmasyarakat dan negeri kia Indonesia sekarang.

Perancis serta revolusi Perancis adalah perintis serta pembuka jalan untukdunia yang kapitalistis-imperialistis, sedangkan revolusi kita ini sebenarnya harus dipandang revolusi yang akan turut menutup sejarah kapitalis-imperialistis, sehingga perjuangan sosial yang telah berlaku didunia sebagai akibat dari sistem kapitalis-imperialistis, yang merupakan perjuangan kaum buruh, perjuangan kaum sosialistis dan segala kemenangan-kemajuannya,seperti terdapat didunia pada waktu ini, tentu membedakan benar kedudukanrevolusi kita dari revolsi Perancis yang hanya demokratis-burgerlijk itu.

Jadi memang revolusi kita ini tak dapat lain dari juga bercorak sosial. Bahwa didalam revolusi kita ini kaum buruh berkedudukan yang pada pokoknya lain daripada kaum buruh dinegeriPerancis dijaman revolusi Perancis, meskipun dalam mentaliteitnya terdapat beberapa persamaan, yaitu tanda mudanya dan kekurangan kesadaran kelas.
Corak sosial revolusi kita ini menunjukkan pula kemungkinan sosial yang adadidalam revolusi kita. Sebab segala faktor ini dinamis. Tetapi seperti telah dikemukakan diatas segala-gala ini terutama bergantung pada keadaan serta kemungkinan internasional, untuk negeri kita. Subjektif memang corak sosial revolusi kita akan lebih jelas dan mendalam, akan tetapi objektif kemungkinan berlanjutnya akan sama sekali tergantung daripada perubahan-perubahan yang akan berlaku didunia. Batas-batasnya telah saya kemukan diatas.

3. Revolusi nasional
Keluar bentuk revolusiberupa nasional, kedalam menurut hukum masyarakat demokratis dengan corak sosial. Jika kurang memahamkan kebenaransehingga kedalam pun yang kita anjurkan hanya revolusi nasional saja dengantidak ada atau kurang pengertian tentang kedudukan demokrasi didalam pengobahanmasyarakat.

Bahaya sangat besar bahwa kita, oleh karena tidak dapat mengukur musuh kita feodalisme, kita berkawan dengan semangat feodalisme yang masih hidup menjadi nasionalisme yang mempunyai semacam solidarisme, yaitu solidarisme-fodal (yang hierarchis) menjadi fasisme alias musuh kemajuan dunia dan rakyat yang sebesar-besarnya. Ideologi yang kelihatan seperti kacau sekarang kerapkali taampak sebagai semacam nasionalisme atau nasional-komunisme ala Hitler atau Mussolini. Oleh karenaitu maka didalam menyusun kekuatan masyarakat dalam revolusi nasional, kita tidak boleh lupa mengadakanrevolusi-demokrasi, revolusi nasional hanya merupakan hasil dari revolusi-demorasi kita. Bukannasionalisme harus nomor satu akan tetapi demokrasi, meskipun kelihatannyalebih gampang kalau orang banyak dihasut membenci orang asing saja. Memang benar bahwa cara demikian buatsementara berhasil (lihat saja sukses Mussolini, Hitler, Franco, Chiang Kai Sek dll.), akan tetapi untuk kemajuan masyarakat perbuatan demikian tetapreaksioner dan bertentangan dengan kemajuan dunia dan perjuangan sosial seluruhdunia. Orang yang menganjurkannya tetap musuh rakyat, meskipun sedikit waktu didewakan rakyat seperti Hitler danMussolini.

4. Revolusi dan Pembersihan
Dengan penentuan alam perjuangan kita seperti diatas, maka nyata bahwarevolusi kita ini harus dipimpin oleh golongan demokratis yang revolusioner danbukan oleh golongan nasionalistis yang pernah membudak kepada fasis-fasis lain,fasis kolonial Belanda atau fasis militer Jepang.

Perjuangan demokrasi revolusioner itu memulai dengan membersihkan diri darinoda-noda fasis Jepang, mengngkung penglihatan orang-orang yang masih jiwanyaterpengaruh oleh propaganda Jepang dan didikan Jepang. Orang-orang yang sudah menjual jiwa dankehormatannya kepada fasis Jepang disingkirkan dari pimpinan revolusi kita(orang-orang yang pernah bekerja didalam propaganda, polisi rahasia Jepang,umumnya didalam usaha kolone kelima Jepang). Orang-orang ini harus dianggap sebagai pengkhianat perjuangan danharus dibedakan dari kaum buruh biasa yang bekerja hanya untuk sekedar memenuhikebutuhan hidupnya. Jadi sekalian kolaborasi politik dengan fasis Jepangseperti yang disebutkan diatas harus dipandang sebagai fasis sendiri atauperkakas dan kaki tangan fasis Jepang dan tentu sudah berkianat pada perjuangandan revolusi rakyat.

Negara Republik Indonesia yang kita jadikan alat dalam revolusi rakyat kitaharus kita jadikan alat perjuangan demokratis, dibersihkan dari sisa-sisaJepang dan fasismenya.

5. Memperjuangkan Isi Kemerdekaan

Negara Republik Indonesia yang kita perjuangkan sebagai alat di dalam revolusi kerakyatan kita mendapat harga yang penuh, jika kita isi dengankerakyatan yang tulen. Bagi kita kemenangan yang berarti itu ialah kemenangan yang berisi, bukan kemenangan namadan kehormatan saja. Pedoman yangsebenarnya untuk perjuangan politik kita harus ditujukan kepada isi itu. Perjuangan kebangsaan pada umumnya, tak luputdaripada bahaya terlalu terpengaruh oleh nama dan rupa. Oleh karena itu kerap kali apa yang dinamakankemenangan kebangsaan itu, terbukti kosong untuk rakyat banyak. Jika kita hargakan Indonesia Merdeka kitadengan harga demokrasi tulen, maka didalam perjuangan politik kita terhadapdunia, isinya itu yang dipertarungkan. Negara Republik Indonesia hanya nama yang kita berikan pada isi yangkita maksudkan dan kehendakkan itu.

6. Pembencian Bangsa Asing

Salah satu hal yang terpenting didalam perjuangan kita adalah sikap dan politik kita terhadap golongan-golongan yang agak mengasing diantara penduduk negeri kita, yaitu orang-orang asing, orang peranakan, Eropa atau Asia, orang yang beragama Kristen, orang Ambon, Menado dan sebagainya. Hingga sekarang kita belum mempunyai sikap dan politik yang memuaskan terhadap semua golongan ini. Malah dihari kemudian ini terjadi hal-hal yang terang salah dan merusakkan pada perjuangan kerakyatan kita. Sifat membenci pada golongan dan bangsa asing itu, memang suatu sifat yang tersembunyi dalam tiap-tiap gerakan kebangsaan, terlebih pada golongan atau bangsa yang rupanya berkedudukan dengan privilese, akan tetapi tiap gerakan kebangsaan yang memabukkan dirinya dengan nafsu membenci bangsa-bangsa asing untuk mendapat kekuatan, niscaya pada akhirnya pada akhirnya akan berhadapan dengan seluruh dunia dan kemanusiaan. Nafsu kebangsaan yang pada mulanya dapat merupakan suatu kekuatan itu mesti tiba pada satu jalan buntu dan akhirnya mencekik dirinya sendiri dalam suasana jibaku. Kekuatan yang kita cari, adalah pada pengobaran perasaaan keadilan dan kemanusiaan. Hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia.

Sebab pada akhirnya semua kebangsaan harus menemui ajalnya didalam suatu kemanusiaan yang meliputi seluruh dunia menjadi satu bangsa yaitu bangsa manusia yang hidup didalam pergaulan yang berdasarkan keadilan dan kebenaran, tidak lagi terbatas oleh perasaan-perasaan sempit yang memecah manusia sesama manusia oleh karena kulitnya berlainan warna, aau oleh karena turunan darahnya berlainan.

Pada habisnya perasaan-perasaan sempit ini sebagai pendorong tindakan dan kelakuan kita, baru habis ikatan buta kita pada sejarah kebiadaban kita. Bau kita dapat melihat terang perbedaan antara cinta pada tanah air dan perasaan membenci orang asing atau membenci golongan-golongan dalam negeri kita yang sebagai perbuatan sejarah terasing atau mengasingkan diri oleh karena turunan darahnya, darah yang bodoh dan darah yang biadab itu. Sikap kita terhadap sekalian ini harus berdasar penglihatan kemasyarakatan, berdasar atas penyelidikan yang jujur dan perhitungan didalam berbakti kepada cita-cita kemanusiaan dan keadilan sosial.

7. Kaum Buruh

Pada tingkatan kapitalisme ini dimana kapital dunia mengalami konsentrasi yang lebih besar, terutama di New York dan London, maka segenap produksi dunia yang kapitalistis lebih dahulu dikuasai oleh satu atau dua pusat kapital, terutama Wallstreet. Sebagai akibat peperagan ini maka boleh dikatakan seluruh dunia terikat hutang pada Wallstreet itu. Hal ini membuat bahwa kedudukan dan kekuatan dunia itu menjadi sungguh-sungguh internasional. Oleh karena itu maka pertahanan dan perjuangan kaum buruh terhadapnya hanya akan dapat berhasil baik, jika disusun dengan mengakui kenyataan ini. Susunan dan perjuangan kaum buruh pun harus berdasarkan internasional.

Kaum buruh kita sekarang menujukan perjuangan pada pertahanan Negara Indonesia Merdeka. Hal ini sudah selayaknya, akan tetapi didalam itu perlu kita kemukakan kebenaran yang diatas, oleh karena didalam perjuangan selanjutnya solidaritas kebangsaan kaum buruh itu mesti dapat solidaritas kebangsaan kaum buruh itu mesti dapat meningkatkan diri seukur dengan perjuangan kaum buruh didunia seluruhnya. Bagi kaum buruh semangat kebangsaan yang melupa-luap itu dapat menjadi halangan untuk melihat perjuangan internasionalnya dan penghargaan serta kesadaran tentang kedudukan didalam masyarakat kapitalis, sehingga membawanya kejurusan yang salah dan memundurkan dan melemahkan kedudukannya. Untuk menghindarkan bahaya, bahwa didalam perjuangan kebangsaan ia melupakan dan melepaskan dasar-dasar perjuangan sendiri, sehingga mudah tertipu dan diperkuda golongan masyarakat yang lain, maka juga didalam peruangan kebangsaan kaum buruh harus tahu memperjuangkan kedudukannya sebagai orang Indonesia dengan caranya sendiri, yaitu didalam susunan buruh dengan alat-alat perjuangan kaum buruh. Semangat yang perlu untuk dapat mengadakan perjuangan secara itu, ialah semangat kelasnya dan solidaritas kelasnya yang tidak boleh dilemahkan oleh semangat kebangsaan. Syarat-syarat untuk dapat menjernihkan kedudukannya itu, adalah didalam peruangan politiknya kaum buruh menuntut segala hak kerakyatan yang sepenuhnya, pun juga dari Negara Indonesia Merdeka sendiri, hak berbicara, menulis, berkumpul, berapat, bermogok, kepastian pencaharian, keadaan kesehatan, pelajaran untuk anak-anaknya, ketentuan gaji dan sebagainya. Kesadaran dan pengertian kelas itu harus terus diperdalam dan diperkuat hingga pada satu saat yang secepat-cepatnya dapat menjadi perasaan dan kesadaran kelas internasional, sehingga mudah dapat rapat pada saat penggabungan perjuangan kaum buruh kita dengan gabungan kaum buruh internasional.
Susunan serikat sekerja harus disusun menurut ukuran modern, yaitu didalam jalur industri, pendidikan kaum buruh harus sesuai dengan keperluan perjuangannya, yaitu setingkat pada kesadaran dan pengertian perjuangan internasional untuk menyusun dunia yang sosialistis.

Didalam berjuang untuk kemerdekaan Indonesia kaum buruh sejalan harus berjuan untuk mendapatkan kedudukannya sendiri yang terkuat, supaya sanggup menjadi pelopor didalam peruangan menentang imperialisme di Indonesia ini dan memperkuat perjuangan kaum buruh internasional terhadap kapitalisme dunia.

8. Kaum Tani

Bagi kaum tani kita perjuangan kemerdekaan ini hanya akan berarti jika kerakyatan dirasakan olehnya. Jika revolusi bangsa Indonesia yang sedang berlangsung sepenuhnya dapat dirasakan sebagai revolusi kerakyatan bagi Pak Tani sehingga ia tak dapat diperlakukan sewenang-wenang lagi oleh pemerintahan, sehingga ia dapat mengecap hasil keringatnya sepenuhnya dan tidak diganggu dengan rupa-rupa aturan yang dimaksudkan untuk menyenangkan orang yang memerintah. Revolusi kita harus membeantas feodalisme dilar kota-kota yang berupa tuan tanah, aturan pemerintahan feodal, pengerahan tenaga dan dan hasil orang tani secara feodal seperti digunakan oleh penjajahan Belanda. Penduduk desa sudah sesak padat, sehingga meskipun penghasilan tanah di Jawa dikerjakan dengan kekuatan yang sepenuhnya, untuk memberi makan penduduknya masih tak mencukupi untuk mempertinggi kehidupan rakyat kita umumnya.

Hal ini lebih hari lebih mendesak. Selain dri ikhtiar untuk membagi penduduk Indonesia lebih rata pada kepulauan Indonesia dengan interimigrasi, maka menilik bangun dan kedudukan pulau Jawa tak dapat dihindarkan, bahwa jawab yang langsung pada soal penduduk dan penghasilan di Jawa adalah industrialisasi. Jika kelebihan jiwa didesa dikurangkan sehingga desa lapang untuk meninggikan kehidupan dengan jalan usaha bersama (kooperasi), maka dengan industrialisasi yang diadakan menurut rencana dibawah pimpinan pemerintah sebagian besar kelebihan jiwa didesa dapat menghadapi kehidupan sebagai pekerja pabrik yang tetap bertambah baik dengan bertambahnya kemakmuran Indonesia umumnya, terutama dengan dasar kehidupan pak tani yang makmur. Pemerintahan didesa disehatkan dengan melaksanakan kerakyatan yang sempurna dengan menggunakan kebiasaan lama juga, pemilihan, rapat desa, yang diberi kekuasaan sepenuhnya dan ditambah kecerdasannya dengan mempertinggi pelajaran dan pendidikan didesa. Mengadakan pimpinan didalam segala usaha desa, memperbaharui dasar masyarakat kita, membawa rasionalisasi dan efisiensi, yang akan merombak tradisi didesa, supaya dengan tidak menjalani kehidupan kota dan pabrik, juga didesa timul modernisasi, elektrifikasi dan mesin pun dapat masuk menolong manusia didesa mempertinggikan derajat kehidupan manusia. Sarekat Tani yang harus didirikan harus menjadi perintis didalam mencocokkan semangat kaum tani pada tempo yang kita kehendaki itu. Persatuan tani memudahkan tidak saja urusan ini secara teratur dan besar-besaran, akan tetapi juga memudahkan persatuan dan perhubungannya dengan persatuan kaum buruh.

9. Pemuda

Soal yang kelihatan besar pada waktu ini adalah soal pemuda. Tak dapat dipungkiri, bahwa kelihatannya kebanguan kebangsaan yang kita alami ini, seolah-olah digugat oleh pemuda-pemuda kita. Seolah-olah mereka yang menentukan tempo perjuangan kita. Seolah-olah revolusi yang kita alami sekarang ini, bermula pada semangat dan kekerasan hati pemuda, jadi didorong oleh cita-cita semata-mata. Ini semua sepintas lalu. Akan tetapi jelaslah dari apa yang diuraikan diatas, bahwa kemungkinan meluapnya semangat pemuda itu dan kemungkinan disambutnya oleh masyarakat itu, adalah terletak pada keadaan masyarakat sendiri. Bagaimana keadaan itu telah digambarkan dengan singkat diatas, akan tetapi nyata pula bahwa kaum pemuda, terutama yang terpelajar yang sekarang berkobar-kobar dengan semangat kebangsaan tak akan dapat menjalankan terus kewajibannya sebagai perintis, jika semangat kebangsaannya itu tidak diisi dengan semangat kerakyatan dan semangat kemasyarakatan. Jika tidak, ia akan menemui jalan buntu yang dihadapi tiap-tiap semangat kebangsaan. Ia akan menemui saat, ia tidak akan dituruti lagi oleh rakyat ataupun ia akan ditentang. Dan ia akan mengalami bahwa bukan serdadu yang akan memenangi revolusi kita ini, akan tetapi rakyat banyak, kaum buruh dan kaum tani bersama-sama dengan kaum terpelajar , kaum muda. Saat kaum muda ini meluaskan pandangannya kepada dasar-dasar masyarakat telah tiba, dan pada itu ia harus mengerti, bahwa tenaga perjuangan tidak terpusat diantara angkatan muda, akan tetapi pada rakyat banyak, terutama pada kaum buruh yang tersusun serta mempunyai kesadaran yang tajam, pengertian tentang perjuangan buruh didunia umum. Jika pemuda-pemudi kita mengerti hal ini, ia tahu bahwa kedudukannya ada sebagai pahlawan kaum buruh dan kaum tani.

Nyata bahwa anggapan, yang angkatan muda harus memimpin perjuangan kemerdekaan kita, suatu kekeliruan yang akan dapat merusak perjuangan kita. Yang harus memimpin revolusi kita ini tidak lain daripada pusat kekuatan politiknya, merupakan partai kerakyatan yang revolusioner, pada larasnya angkatan muda hanya dapat menjadi lasykar perintis dari partai yang memimpin perjuangan. Keliru pula sama sekali orang yang mengirakan bahwa pemuda yang tergabung didalam ikatan balatentara, yaitu barisan dan pimpinan militer yang akan dapat memimpin revolusi kita. Kekeliruan ini dapat dimengerti. Tahun-tahun yang kemudian ini kita terlalu merasakan kekuasaan militer. Tak urung hal ini dan didikan militer yang diberikan pada pemuda-pemuda serta rakyat kita umumnya, dapat menimbulkan kekeliruan , seolah-olah perjuangan kita ini perjuangan militer yang harus dipimpin orang militer. Hanya pengertian tentang dasar kemasyarakatan perjuangan kita ini dapat menghindarkan kekeliruan ini. Pemuda kita tak mungkin berpembawaan fasistis atau feodal militeristis. Pengertian yang masih kurang benar didalam segala-galanya hal terhadap soal ini diselenggarakan. Sedang pemuda berjuang sekarang ini harus pengertiannya diisi dan penglihatannya dirobah supaya ia jangan merendah menjadi binatang berkelahi saja, akan tetapi dapat menjadi pemuda revolusioner yang menghadapi dunia baru, pemuda yang bercita-cita dan mempunyai kesadaran serta pengertian yang jernih tentang duduk perjuangannya untuk rakyat kita serta kemanusiaan umumnya.

10. Tentara

Meskipun demikian didalam keadaan dunia yang sekarang ini, memang perlu kita mempertinggi kesanggupan kita membela tanah air serta rakyat kita dengan susunan pertahanan yang selengkapnya. Kita memerlukan balatentara yang teratur menurut ukuran jaman sekarang. Pemuda kita seluruhnya harus dididik didalam kesanggupan itu. Oleh karena itu bukan saja kita memerlukan balatentara yang tersusun dan bersenjata modern, akan tetapi juga latihan militer segenap rakyat kita, terutama pemuda. Selekas mungkin kita harus dapat mengadakan milisi untuk rakyat kita, pada mana seluruh pemuda dari umur tertentu harus melalui latihan militer yang lamanya tertentu. Oleh karena syarat-syarat serta alat-alat yang terbatas serta segala syarat dan alat yang kurang dilengkapi. Terutama sekali tentunya harus diadakan pendidikan. Si pendidik yaitu akademi darat dan laut. Dalam hal ini kekurangan dalam negeri dapat dilengkapi dengan pertolongan dari luar negeri untuk dijadikan guru dan instruktur. Untuk melengkapi alat pertahanan yang berupa persenjataan pantas kita didalam keadaan kita sekarang, mengorbankan lain-lain keperluan. Pembikinan dan pembelian senjata itu dimasukkan dalam hal terutama didalam keadaan sekarang. Akan tetapi dengan pengakuan bahwa pengertian perkara dengan secara militer ini, sekali-kali kita tidak boleh melupakan sekejap mata perjuangan apa yang dikemukakan diatas, bahwa sekali-kali tak boleh kita keliru didalam penghargaan hal militer ini didalam revolusi. Dalam perjuangan kita yang berupa dan memakai alat Negara Indonesia, kita terpaksa harus mengadakan alat perjuangan kenegaraan yaitu balatentara. Itu tak boleh berarti bahwa kita menjadi abdi kenegaraan atau kemiliteran, alias fasis dan militeristis.

Batas-batasi hal ini, dengan semangat revolusi kerakyatan kita harus ditajamkan sehingga jangan kita membunuh semangat serta revolusi kita, oleh karena kita sesat pada militerisme dan fasisme.