Mengenang Nuku Sulaiman

Pasca subuh, aku merebus air, membaca beberapa lembar berita, menjadi mual. Menyeduh teh dalam Poci dan menyiapkan gula batu Duduk sendiri menikmati teh hangat dan pagi yang mendung, suasana yang aneh, mengurai kenangan tentang kaum pergerakan yang kukenal.

Inilah kenangan terhadap abang ideolog, inspirator yang mati muda, Nuku Sulaiman. Pada kenyataannya setelah reformasi 1998 bergulir selama kurang lebih 14 tahun keadaan Indonesia tidak menjadi lebih baik. Hari ini serasa keadaan semakin banal. Apa yang disebut sebagai perjuangan reformasi untuk membersihkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Di tahun 1998 itulah para pemuda dan mahasiswa berjuang bersama rakyat. Suasananya sangat romantis, rakyat menyediakan nasi bungkus kepada ribuan pengikut aksi massa yang bergerak di jalanan kota-kota besar di Indonesia. Di tahun 1998 itulah setiap kekuatan Orde Baru yang telah berkuasa hampir 32 tahun tumbang bersama pernyataan berhentinya Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia.

Jika boleh melongok ke belakang, pada masa- masa sebelum 1998 itu, ketika setiap orang berani menjadi aktifis, ada suatu masa di tahun 80an lahirnya kelompok-kelompok studi mahasiswa dan pers mahasiswa. Hingga tahun 1990an para aktifis yang berkecimpung di dalam kelompok studi mahasiswa dan pers kampus itu sebagian menghijrahkan pilihan aktivisme mereka kepada metamorfosa gerakan sosial sebagai penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat.

Nuku Sulaiman adalah sebuah nama seorang aktivis yang tergolong mati muda di usia 38 tahun. Ia pernah menjabat sebagai ketua Pijar (Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi) di Jakarta. Ia wafat pada tanggal 18 Februari 2003 di Jakarta. Sepak terjangnya menorehkan sejarah dalam melakukan perjuangan melawan kediktaroran Orde Baru.

Pada setiap kematian seorang aktivis muda, semestinya ada makna di balik itu. Demikianlah kematian Nuku Sulaiman semestinya tidak hanya dikenang, tetapi menjadi tonggak ingatan untuk kembali menjadi refeksi antara keadaan hari ini dengan cita-cita perjuangan masa lalu.

Perubahan demi perubahan terjadi setelah 1998. Penguasa Republik Indonesia silih berganti. Habibie, Gus Dur, Megawati dan dua periode sejak 2004 hingga 2014 nanti adalah Susilo Bambang Yudhoyono.

Barangkali kawan-kawan aktifis seangkatan Nuku Sulaiman hari ini telah berada di sekitar kekuasaan. Apapun jabatannya, apapun aktifitasnya para aktifis itu kini telah menikmati apa yang menjadi tujuan politik mereka. Perubahan memang telah terjadi, jika sebelum 1998 para aktifis masih tinggal di kamar kos, kini hidup tercukupi di rumah yang cukup besar dengan fasilitas kekuasaan yang nyaman. Itu tidak salah dan juga tidak pula benar.

Apa yang para aktifis nikmati itu adalah hasil dari jerih payah mereka ketika dulu berada di dalam medan perjuangan politik.

1998 adalah gerbang menuju kekuasaan itu. Politik menyediakan semua kebutuhan hidup. Sandang, pangan dan papan serta kendaraan. Kini, dari mulai sekitar lingkaran lurah hingga Presiden tidak sulit menemukan wajah-wajah aktifis pergerakan yang dulu melawan Soeharto dan Orde Baru. Di sekitar parlemen dan kabinet mudah diidentifikasi para think thank yang dulunya adalah aktifis pergerakan jaman Orde Baru.

Namun, apakah keadaan menjadi lebih baik?. Pada kenyataannya tidak. Jika demikian yang terjadi, semestinya Nuku Sulaiman menjadi cermin dari kembalinya moralitas kaum pergerakan untuk kembali kepada kitah yaitu memperjuangkan rakyat. Memperjuangkan rakyat yang dicita-citakan di masa-masa parlemen jalanan berhadapan dengan moncong senjata, pentungan dan penculikan.

Ada visi pada masa itu, kenapa hari ini visi itu hilang?. Nuku Sulaiman pada tahun 1993 ditangkap aparat keamanan Orde Baru karena didakwa melakukan tindakan subversif dengan menyebarkan sticker bertuliskan Soeharto Dalang Segala Bencana (SDSB). Ia dihukum oleh penguasa Orde Baru dengan hukuman yang cukup lama, selama bertahun-tahun sejak diputus bersalah (24 Februari 1994) karena dakwaan subversi, Nuku menghuni Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta.

Setiap angkatan memiliki simbol, jika era 60 an Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib dikenang melalui catatan harian mereka, maka hari ini tidak banyak yang mengenang pada angkatan 80 an tentang lahirnya aktifis bernama Nuku Sulaiman.

Ia belum sempat mencemari perjalanan reformasi dengan kenikmatan kekuasaan. Boleh jadi, setelah 1998 masing-masing pribadi aktifis gerakan mencari jalan kekuasaan, bisa jadi tahun 2004 setelah pemilu wajah-wajah para aktifis mulai hadir di televisi sebagai bagian dari lingkaran kekuasaan, di tahun 2008 bisa kita lihat para mantan aktivis telah berada di dalam penyelenggaraan kekuasaan itu sendiri.

Namun tidak berarti semua aktifis mengalami keadaan yang mujur. Banyak yang masih tercecer di pinggiran sejarah, mengais rejeki dari kran politik yang kadang mengucur kadang mampet. Mereka harus bersabar ketika diombang-ambingkan isue- isue politik yang seringkali provokatif dan hanya menuai hasil recehan.

Itulah barangkali dinamika dari sebuah pilihan yang disebut "Ranah Politik". Nuku Sulaiman memang hanya sebuah nama, syukur jika dikenang, mujur jika tercatat. Sebab hari ini, pada ranah politik setiap orang berebut remah-remah kekuasaan, sering tak sabar berjuang. Maka tidak heran jika tidak ada jawaban bagi pertanyaan "Mau ke mana arah republik ini?".

Mungkin ada satu atau dua mantan aktifis yang masih konsisten, mereka melakukan gerakan klandestin di dalam tubuh kekuasaan untuk mewujudkan cita-cita yang dulu mereka bangun di kamar kos atau rumah kontrakan sarang gerakan sebagai angan-angan kesejahteraan rakyat adil makmur" Walahualam bisawab.

Sumber : senayanmagazine.com