Mengenang Nuku Sulaiman

Pasca subuh, aku merebus air, membaca beberapa lembar berita, menjadi mual. Menyeduh teh dalam Poci dan menyiapkan gula batu Duduk sendiri menikmati teh hangat dan pagi yang mendung, suasana yang aneh, mengurai kenangan tentang kaum pergerakan yang kukenal.

Inilah kenangan terhadap abang ideolog, inspirator yang mati muda, Nuku Sulaiman. Pada kenyataannya setelah reformasi 1998 bergulir selama kurang lebih 14 tahun keadaan Indonesia tidak menjadi lebih baik. Hari ini serasa keadaan semakin banal. Apa yang disebut sebagai perjuangan reformasi untuk membersihkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Di tahun 1998 itulah para pemuda dan mahasiswa berjuang bersama rakyat. Suasananya sangat romantis, rakyat menyediakan nasi bungkus kepada ribuan pengikut aksi massa yang bergerak di jalanan kota-kota besar di Indonesia. Di tahun 1998 itulah setiap kekuatan Orde Baru yang telah berkuasa hampir 32 tahun tumbang bersama pernyataan berhentinya Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia.

Jika boleh melongok ke belakang, pada masa- masa sebelum 1998 itu, ketika setiap orang berani menjadi aktifis, ada suatu masa di tahun 80an lahirnya kelompok-kelompok studi mahasiswa dan pers mahasiswa. Hingga tahun 1990an para aktifis yang berkecimpung di dalam kelompok studi mahasiswa dan pers kampus itu sebagian menghijrahkan pilihan aktivisme mereka kepada metamorfosa gerakan sosial sebagai penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat.

Nuku Sulaiman adalah sebuah nama seorang aktivis yang tergolong mati muda di usia 38 tahun. Ia pernah menjabat sebagai ketua Pijar (Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi) di Jakarta. Ia wafat pada tanggal 18 Februari 2003 di Jakarta. Sepak terjangnya menorehkan sejarah dalam melakukan perjuangan melawan kediktaroran Orde Baru.

Pada setiap kematian seorang aktivis muda, semestinya ada makna di balik itu. Demikianlah kematian Nuku Sulaiman semestinya tidak hanya dikenang, tetapi menjadi tonggak ingatan untuk kembali menjadi refeksi antara keadaan hari ini dengan cita-cita perjuangan masa lalu.

Perubahan demi perubahan terjadi setelah 1998. Penguasa Republik Indonesia silih berganti. Habibie, Gus Dur, Megawati dan dua periode sejak 2004 hingga 2014 nanti adalah Susilo Bambang Yudhoyono.

Barangkali kawan-kawan aktifis seangkatan Nuku Sulaiman hari ini telah berada di sekitar kekuasaan. Apapun jabatannya, apapun aktifitasnya para aktifis itu kini telah menikmati apa yang menjadi tujuan politik mereka. Perubahan memang telah terjadi, jika sebelum 1998 para aktifis masih tinggal di kamar kos, kini hidup tercukupi di rumah yang cukup besar dengan fasilitas kekuasaan yang nyaman. Itu tidak salah dan juga tidak pula benar.

Apa yang para aktifis nikmati itu adalah hasil dari jerih payah mereka ketika dulu berada di dalam medan perjuangan politik.

1998 adalah gerbang menuju kekuasaan itu. Politik menyediakan semua kebutuhan hidup. Sandang, pangan dan papan serta kendaraan. Kini, dari mulai sekitar lingkaran lurah hingga Presiden tidak sulit menemukan wajah-wajah aktifis pergerakan yang dulu melawan Soeharto dan Orde Baru. Di sekitar parlemen dan kabinet mudah diidentifikasi para think thank yang dulunya adalah aktifis pergerakan jaman Orde Baru.

Namun, apakah keadaan menjadi lebih baik?. Pada kenyataannya tidak. Jika demikian yang terjadi, semestinya Nuku Sulaiman menjadi cermin dari kembalinya moralitas kaum pergerakan untuk kembali kepada kitah yaitu memperjuangkan rakyat. Memperjuangkan rakyat yang dicita-citakan di masa-masa parlemen jalanan berhadapan dengan moncong senjata, pentungan dan penculikan.

Ada visi pada masa itu, kenapa hari ini visi itu hilang?. Nuku Sulaiman pada tahun 1993 ditangkap aparat keamanan Orde Baru karena didakwa melakukan tindakan subversif dengan menyebarkan sticker bertuliskan Soeharto Dalang Segala Bencana (SDSB). Ia dihukum oleh penguasa Orde Baru dengan hukuman yang cukup lama, selama bertahun-tahun sejak diputus bersalah (24 Februari 1994) karena dakwaan subversi, Nuku menghuni Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta.

Setiap angkatan memiliki simbol, jika era 60 an Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib dikenang melalui catatan harian mereka, maka hari ini tidak banyak yang mengenang pada angkatan 80 an tentang lahirnya aktifis bernama Nuku Sulaiman.

Ia belum sempat mencemari perjalanan reformasi dengan kenikmatan kekuasaan. Boleh jadi, setelah 1998 masing-masing pribadi aktifis gerakan mencari jalan kekuasaan, bisa jadi tahun 2004 setelah pemilu wajah-wajah para aktifis mulai hadir di televisi sebagai bagian dari lingkaran kekuasaan, di tahun 2008 bisa kita lihat para mantan aktivis telah berada di dalam penyelenggaraan kekuasaan itu sendiri.

Namun tidak berarti semua aktifis mengalami keadaan yang mujur. Banyak yang masih tercecer di pinggiran sejarah, mengais rejeki dari kran politik yang kadang mengucur kadang mampet. Mereka harus bersabar ketika diombang-ambingkan isue- isue politik yang seringkali provokatif dan hanya menuai hasil recehan.

Itulah barangkali dinamika dari sebuah pilihan yang disebut "Ranah Politik". Nuku Sulaiman memang hanya sebuah nama, syukur jika dikenang, mujur jika tercatat. Sebab hari ini, pada ranah politik setiap orang berebut remah-remah kekuasaan, sering tak sabar berjuang. Maka tidak heran jika tidak ada jawaban bagi pertanyaan "Mau ke mana arah republik ini?".

Mungkin ada satu atau dua mantan aktifis yang masih konsisten, mereka melakukan gerakan klandestin di dalam tubuh kekuasaan untuk mewujudkan cita-cita yang dulu mereka bangun di kamar kos atau rumah kontrakan sarang gerakan sebagai angan-angan kesejahteraan rakyat adil makmur" Walahualam bisawab.

Sumber : senayanmagazine.com

Sosialisme Kerakyatan Sjahrir Antitesis Komunisme-Fasisme

Secara intelektual, Sjahrir dibesarkan dalam tradisi sosial-demokrasi Eropa. Ia percaya Marxisme, namun tidak percaya pada hukum-hukum sejarah yang niscaya pada satu tujuan tak terelakkan seperti yang diyakini kaum Komunis.

Ia menolak adanya partai yang menganggap diri tak pernah salah dan punya otoritas menafsirkan teori Marxisme. Sjahrir menampik koletivisme yang mengancam demokrasi, dan oleh karenanya ia menolak komunisme dan fasisme.

Secara sepintas, komunisme tak berbeda dengan fasisme. Keduanya sama-sama sistem yang totaliter dan tak menghargai kebebasan manusia.

Hani R. Hartoko, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dalam salah satu esainya menulis: komunisme adalah sistem totaliter yang mengindustrialisasi suatu masyarakat terbelakang; sedang fasisme adalah sistem totaliter untuk menyelesaikan konflik-konflik dalam masyarakat yang lebih maju industrinya.

Sjahrir sangat menolak fasisme. Ini terlihat dari pamfletnya yang terkenal, Perjuangan Kita. Ia menyesalkan, masuknya fasisme dalam jiwa bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan, sebagaimana tertulis dalam Perjuangan Kita: 'Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu, yaitu berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku dan tidak pernah diajar memimpin. Oleh karena itu, ia tidak berpengetahuan lain, cara ia mengadakan propaganda dan agitasi pada rakyat banyak itu seperti dilihatnya dan diajarnya dari Jepang, yaitu fasistis. Sangat menyedihkan keadaan jiwa pemuda kita'.

Menurut J.D. Legge, sejak dulu, Sjahrir telah menyadari kemungkinan-kemungkinan otoriterisme yang melekat pada sebagian besar pemikiran kaum nasionalis, yang memandang negara sebagai sesuatu yang memungkinkan pemenuhan diri individu.

Dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir menekankan perlunya revolusi kerakyatan. "Revolusi kita ini yang keluar berupa revolusi nasional, jika dipandang dari dalam berupa revolusi kerakyatan," tulisnya.

"Negara Republik Indonesia yang kita jadikan alat dalam revolusi rakyat kita harus kita jadikan alat perjuangan demokratis, dibersihkan dari sisa-sisa Jepang dan fasismenya."

Siapa yang memimpin revolusi ini?

Sebagaimana keyakinan Sjahrir soal partai kader, partai dibentuk oleh mereka yang terdidik, berdisiplin, berpengetahuan modern untuk membawa rakyat dalam revolusi.

Menarik bahwa Sjahrir lebih mengedepankan demokrasi ketimbang nasionalisme dalam sebuah revolusi. Dalam Perjuangan Kita, ia menulis: "… revolusi nasional hanya merupakan hasil dari revolusi-demorasi kita. Bukan nasionalisme harus nomor satu akan tetapi demokrasi, meskipun kelihatannya lebih gampang kalau orang banyak dihasut membenci orang asing saja."

Pemikiran Sjahrir dalam Perjuangan Kita, terutama mengenai kewaspadaan terhadap fasisme, masih sangat relevan untuk Indonesia saat ini. Belajar dari bangkitnya rezim-rezim fasis dan ultranasionalis di seluruh Dunia, semua berawal dari situasi negara yang tak stabil. Rakyat merasa tidak aman, miskin, dan pemerintah cenderung tak berani bersikap.

Situasi seperti ini menyediakan potensi munculnya orang kuat yang menggunakan doktrin nasionalisme untuk membangkitkan pemerintahan totaliter. Maka demokrasi harus dipelihara.

Sosialisme Kerakyatan

Rosihan Anwar mengatakan, salah satu sumbangsih Sjahrir untuk Indonesia adalah ideologi dan konsep ekonomi sosialisme kerakyatan. Ini bentuk lain dari sosialisme demokrasi yang diadaptasi dalam iklim sosial-politik Indonesia.

Sjahrir tidak percaya perjuangan kelas masih relevan untuk meruntuhkan kapitalisme. Sosialisme justru bisa dicapai dengan jalan demokratis dan bukannya revolusi kekerasan.

Kata kunci sosialisme kerakyatan adalah kemanusiaan. Sebagaimana dikutip Rosihan dari dasar-dasar dan pandangan politik Partai Sosialis Indonesia, "Sosialisme yang kita maksudkan adalah sosialisme yang berdasarkan atas kerakyatan, yaitu sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang…

Sosialisme semestinya tidaklah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya." 'Kemanusiaan' pula yang membuat Sjahrir tak sejalan dengan kaum Komunis yang dijiwai ajaran dogmatis Stalin dan Lenin.

"Mereka menghancurkan, dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia," katanya dalam pidato di Kongres Sosialis Asia II,di Bombay, India, 6 November 1956.

Namun Muhammad Chatib Basri, ekonom Universitas Indonesia yang propasar, mengkritik kontradiksi Sjahrir. Di satu sisi, Sjahrir bicara soal kemanusiaan dan menolak kolektivisme ala komunis. Ia tak percaya mekanisme pasar. Di sisi lain, Sjahrir ingin adanya kebijakan negara yang menjaga kebebasan individu. Padahal, negara berpotensi menghancurkan kebebasan individu dan kemanusiaan.

Mengutip Kenneth Arrow, Basri mengingatkan: preferensi sosial tak selamanya sejalan dengan preferensi individu. Mayoritas berpotensi menginjak minoritas. Sebaliknya, tak ada jaminan juga, preferensi pemerintah yang terdiri atas segelintir orang akan sejalan dengan preferensi publik.

Apa yang bisa kita ambil dari sosialisme kerakyatan Sjahrir ini? Pada dasarnya, semangat pemerintah untuk menyejahterakan rakyat haruslah menjunjung tinggi asas kemanusiaan seseorang.

Program-program pemerintah tak boleh mengabaikan penghargaan terhadap rasa kemanusiaan, walaupun program itu mengatasnamakan kesejahteraan. Pemberian bantuan langsung tunai secara serampangan jelas mengabaikan penghargaan terhadap rasa kemanusiaan, karena menganggap manusia tak ubahnya pengemis dan menciptakan mentalitas pengemis.

Seperti kata Sjahrir, sebuah program pembangunan dan pemerintah haruslah penyempurnaan cita-cita kerakyatan, salah satunya kedewasaan kemanusiaan. [air]

Muchlis Hasyim, Pendiri Inilah Group
Sumber : Inilah Koran

Satu Abad Sutan Sjahrir Bapak Sosialisme yang Melampaui Zamannya

Oleh : Herdi Sahrasad

Sutan Sjahrir adalah negarawan, inteligensia, inspirator bangsa, dan pejuang yang pemikiran dan visinya melampaui zamannya. Sudah terlalu lama Sutan Sjahrir, yang pernah berjuang bersama Bung Karno dan Bung Hatta, terlupakan atau dilupakan.

Sutan Sjahrir genap 100 tahun pada 5 Maret 2009 ini. Ironisnya, dia dirindukan tapi dilupakan, oleh negara dan bangsanya sendiri, yang diperjuangkan dan dicintainya sepenuh hati.

Jika revolusi sering memakan anak-anaknya sendiri, kini justru sejarah yang melupakan anak kandungnya sendiri. Seakan Sjahrir dilupakan meski dirindukan.

Sjahrir adalah perdana menteri (PM) pertama Indonesia dengan seabrek pengalaman dalam diplomasi di masa kemerdekaan, yang sungguh kurang dikenal generasi muda, pelajar, dan mahasiswa.

Dengan lirih Siti Rabyah Parvati Sjahrir, putri kedua mendiang Sutan Sjahrir, dalam konferensi pers "Peringatan 100 Tahun Sjahrir" di Jakarta Media Center baru-baru ini membisikkan kata-kata: 'Sayangnya, kebanyakan orang masa kini, generasi muda pada tingkat sekolah dasar hingga mahasiswa, tokoh sipil ataupun militer, guru sejarah, tidak mengetahui tentang Sjahrir.'

Sungguh, sejarah Sutan Sjahrir adalah sejarah marjinalisasi peran dan posisinya dalam lintasan politik Indonesia. Sebuah kisah peminggiran dalam sejarah 'Indonesia modern', republik di khatulistiwa yang dicintai dan diperjuangkan semasa hidupnya.

Sungguh, sebagai pejuang, inteligensia, negarawan, dan inspirator bangsa, Sutan Sjahrir telah memberikan hidupnya bagi Indonesia. Dan sekarang, tak ada lagi tokoh sekelas Sjahrir, termasuk para elite politik era reformasi terkini.

Siti Rabyah Parvati Sjahrir (Upik Sjahrir), putri mendiang Bung Sjahrir, sering melukiskan ayahnya sebagai pahlawan yang dilupakan oleh rakyatnya sendiri. Ini paradoks dan ironisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara era reformasi.

Semua itu seakan mengonfirmasikan kebenaran pandangan Ben Anderson dalam karyanya, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1945 (Cornell University Press, 1972), yang mencatat bahwa Sjahrir dan pengikutnya adalah kelompok intelektual yang teralienasi dari arus bawah, sekalipun pada saat-saat tertentu mampu menggunakan pengaruhnya.

Saya kira pandangan Anderson yang kontroversial itu tidaklah sepenuhnya benar. Sebab, Sjahrir terlibat revolusi, bahkan sejak usia sangat muda. Pada usia belasan tahun, dia sudah terlibat dalam gerakan kebangsaan memelopori Sumpah Pemuda Oktober 1928 dan bertahun-tahun dipenjara oleh Belanda.

Pandangan Anderson ini merupakan revisi atas pandangan sebelumnya dari karya klasik George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952). Kahin mengemukakan, Sjahrir adalah tokoh paling berpengaruh dalam hari-hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Anderson mencatat sebaliknya, Sjahrir berada di luar arus utama revolusi kemerdekaan. Ini pun masih kontroversi.

Sjahrir, dalam persepsi saya, adalah tokoh yang punya pengaruh pada hari-hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan dan sesudahnya, dan fakta sejarah menyingkapkan bahwa Sjahrir berperan jelas dan tandas dalam arus perubahan masa kemerdekaan itu. Meskipun dia mungkin bukan sosok 'paling berpengaruh dan berperan'. Sjahrir tak pernah menuntut pengakuan itu, sama sekali tak perlu pengakuan itu.

Dia memang berada di bawah bayang-bayang kebesaran Soekarno dan Hatta. Namun, visi intelektualnya sangat jauh ke depan, mungkin melampaui Soekarno-Hatta itu sendiri. Seperti cahaya ufuk yang memancar ke arah kejauhan, menembus rimbun gelap dahan dan pepohonan.

Sjahrir, meminjam bahasa Kahin, adalah arsitek terjadinya pergeseran sistem pemerintahan pada November 1945 dari sistem presidensial menuju parlementer. Meskipun Ben Anderson melihat pergeseran sistem itu sebagai 'silent coup' (kudeta diam-diam) dari kubu Sjahrir. Benarkah demikian? Para sesepuh kita sering menyingkapkan bahwa Soekarno-Hatta secara sadar memberikan kesempatan Sjahrir karena pertimbangan kompleksitas keadaan di dalam dan luar negeri waktu itu, dalam kaitannya dengan kemerdekaan Indonesia, negeri yang sebelumnya dijajah fasisme Jepang.

Beragam Interpretasi

Toh yang pasti, di mata John Legge, profesor saya di Monash University, Australia, pemikiran Sjahrir mempunyai makna dalam beragam interpretasi. Makna pemikirannya itu bukan terletak pada perannya sebagai sebuah organisasi politik, melainkan pada fakta bahwa dia merepresentasikan suatu aliran moral dan politik yang bersumber dari nilai-nilai kehidupan bangsa kita. Dia memperjuangkan human dignity, martabat manusia dengan segala suka dukanya.

Dalam momentum 100 tahun Sutan Sjahrir, 5 Maret 2009 (besok), hendaknya peran dan posisinya dalam perjuangan Indonesia mendapat tempat proporsional. Banyak kalangan yang tidak mengenal Sjahrir karena minimnya informasi memadai mengenai Bapak Sosialisme Indonesia itu. Padahal, Sjahrir merupakan perdana menteri pertama Indonesia dan seorang diplomat ulung pada masanya.

Seperti diartikulasikan Upik Sjahrir, banyak anak SD, SMP, dan SMA yang tidak mengenal Sutan Sjahrir. Bahkan, ada yang mengira beliau adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Ini karena informasi yang sangat sedikit mengenai Sjahrir.

Di masa perang kemerdekaan, Sjahrir menulis dalam salah satu pamflet: 'Pemerintahan harus di- demokratiseer. Sesudah proklamasi dikumandangkan, pamflet tersebut makin sering ditulis. Menurut Sjahrir, di masa hidupnya dulu, risalah itu adalah ikhtiar mengupas perkara pokok dalam perjuangan.'

Pamlet Sjahrir berjudul Perjuangan Kita yang mengingatkan bangsa ini untuk berjuang mengatasi kolonialisme, fasisme, feodalisme, dan totaliterisme, membuat Sjahrir pasti berseberangan dengan semua pemimpin otoriter di republik ini. Sjahrir tak menolak persatuan dan kesatuan secara rasional, namun dia menentang persatuan dan kesatuan secara represif dan otoritarian. Semoga.

*Penulis adalah Associate Director The Freedom Foundation dan Center for Islam and State Studies (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan- PSIK) Universitas Paramadina di Jakarta

Sumber : www.padang-today.com/?mod=artikel&today=detil&id=335

Sosialisme Jiwa Konstitusi Kita

Harian Kompas (27/2) memuat artikel "Mitos Neososialisme" oleh Mario Rustan. Di dalamnya, sang penulis mengatakan, dimuatnya sejumlah artikel mengenai sosialisme di harian Kompas beberapa hari sebelumnya merupakan bentuk "kecintaan" para intelektual kiri Indonesia atas "rezim otoriter di Rusia, China, Iran, dan Amerika Latin" serta ketidaksukaan mereka atas "Barat dan kaum menengah ke atas Indonesia". Agaknya penulis melupakan fakta bahwa dua penulis artikel di Kompas yang dikritik—Ivan Hadar dan Robert Bala—adalah simpatisan orang miskin dan pencinta sosialisme, yang persis merupakan dua elite intelektual Indonesia didikan Eropa Barat, yaitu Jerman dan Spanyol. Terlepas dari itu, saya justru ingin menegaskan betapa eratnya konstitusi kita dengan nilai-nilai sosialisme.

Jiwa Kemerdekaan

Dalam artikel pada 15/8/2007, saya menulis tentang pilihan ideologis bangsa Indonesia yang tertuang dalam deklarasi kemerdekaan kita (Pembukaan UUD 1945) untuk mengusung tipe ideologi komunitarianisme demokratik.

Hal ini karena deklarasi kemerdekaan kita menekankan pada upaya untuk "memajukan kesejahteraan umum".

Ini membedakannya dengan deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang lebih bersifat individualisme demokratik. Dalam artikel itu, saya mengutip kajian Harvard Business School yang membagi dua jenis ideologi, yaitu individualisme dan komunitarianisme.

Salah satu varian individualisme, yaitu individualisme demokratik, lebih menekankan "persamaan kesempatan, berbasis kontrak, hak-hak milik, daya saing untuk memuaskan kebutuhan konsumen (yakni sebagian dari masyarakat yang punya daya beli), serta peran minim dari negara".

Sementara itu, salah satu varian komunitarianisme, yaitu tipe ideologi komunitarianisme demokratik (untuk membedakan dengan komunitarianisme yang tidak demokratik, yaitu fasisme dan feodalisme), lebih berorientasi pada "persamaan hasil (yang diharapkan bisa memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa), hak dan kewajiban anggota komunitas, memuaskan kebutuhan seluruh komunitas (terlepas punya daya beli atau tidak), peran aktif negara, serta bersifat holistik atau saling tergantung antarmanusia, dan manusia dengan alam".

Pembukaan UUD 1945 itu tentu tidak terlepas dari tradisi para pendiri republik yang banyak sekali bersentuhan dengan para pemikir sosialis Eropa maupun interaksi mereka dengan sesama pejuang kemerdekaan Asia. Bung Karno (seorang nasionalis, internasionalis, dan seorang pejuang sosialisme Indonesia) bahkan kerap mengutip para pemikir sosialis Eropa dalam tulisan-tulisannya yang terpenting selama era pergerakan. Roger K Paget (sebagaimana dikutip Alfian dalam buku Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia) dalam kata pengantar untuk buku Indonesia Accuses: Soekarno's Defence Oration in the Political Trial of 1930 bahkan menyebutkan, dalam tulisan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang dibuat tahun 1926, Bung Karno mengutip sebanyak 13 kali sejumlah tokoh sosialis, mulai dari Otto Bauer (2 kali), Friederich Engels (3 kali), Karl Kautsky (1 kali), dan Karl Marx (7 kali).

Sementara dalam pidato pembelaaannya di hadapan pengadilan kolonial di Bandung pada tahun 1930, yang berjudul Indonesia Menggugat, Bung Karno mengutip sebanyak 24 kali tokoh sosialis dunia untuk mempertahankan posisi politiknya, yakni memerdekakan Indonesia bebas dari kolonialisme kapitalistik.

Daftar itu tentu akan lebih panjang lagi jika kita menyimak tulisan-tulisan para bapak bangsa yang lain, seperti HOS Cokroaminoto, Tan Malaka, Semaoen, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan Amir Sjarifuddin.

Jika majalah prestisius Newsweek pada awal abad ke-21 ini mengumumkan bahwa "kita sekarang semua adalah sosialis" tentu karena para pendiri bangsa kita pada awal abad lampau sudah memiliki kegeniusan yang otentik. Setidaknya, mereka sudah memikirkan hal yang sama dengan editor Newsweek (bacaan favorit kelas menengah ke atas di dunia) hampir seratus tahun lebih awal!

Tentu saja dalam sejarah perjalanan bangsa ini kegeniusan para bapak bangsa yang otentik itu sempat terinterupsi selama 32 tahun era Orde Baru yang menghabiskan sebagian waktunya untuk memfitnah sosialisme sebagai ideologi para ateis dan kaum ekstremis.

Kembali ke semangat awal

Hampir 64 tahun kita merdeka dan sudah lebih dari 10 tahun kita memasuki era reformasi, tetapi kita justru semakin jauh dari jiwa sosialisme yang diamanatkan para bapak (dan ibu) bangsa melalui Pembukaan UUD 1945. Hak-hak ekonomi rakyat malah diingkari oleh sebagian besar elite politik dan ekonomi kita.

Di antara indikasi dari pengingkaran itu adalah dikeluarkannya undang-undang yang memberangus kedaulatan rakyat atas sumber daya ekonomi bangsa. Salah satu, misalnya, adalah diloloskannya Undang-Undang Penanaman Modal oleh mayoritas fraksi di DPR (ditolak hanya oleh dua fraksi, yaitu PDI-P dan PKB). Undang-undang ini malah mengancam kedaulatan kaum tani atas tanah karena bisa dikuasai melalui hak guna usaha (HGU) oleh para investor asing selama 185 tahun, hak guna bangunan (HGB) selama 160 tahun, dan hak pakai selama 140 tahun.

Ini jelas mengingkari hak petani kita atas fungsi sosial dari tanah di republik ini. Hampir 64 tahun kita merdeka, ada tiga hal yang justru berada dalam bahaya. Pertama, kedaulatan bangsa (terutama di bidang pangan, energi, keuangan, dan pertahanan). Kedua, keadilan sosial. Ketiga, ke-bhinneka-tunggal- ika-an kita berdasarkan Pancasila. Semua ini terjadi karena banyak elite politik kita telah mengganti semangat demokrasi, patriotisme, dan sosialisme dengan semangat pragmatisme ala neoliberal, plutokrasi (kekuasaan politik berdasarkan uang), bahkan kleptokrasi (kekuasaan politik berdasarkan kemampuan mencuri uang).

Kehendak mulia para pendiri bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial kian digantikan oleh histeria spekulasi keuangan global kapitalistik. Sayang sebagian elite kita baru sadar setelah bacaan favorit mereka, Newsweek, menyadarkan bahwa menjadi sosialis itu bukan sebuah bentuk kepurbakalaan politik, melainkan lagu mars dan semangat zaman kita.

* Budiman Sudjatmiko Ketua Umum Repdem PDI-P

Artikel ini pernah dimuat di Harian KOMPAS – Kamis, 5 Maret 2009