Tokoh Malari dr. Hariman Siregar menilai ada kerancuan dalam istilah subsidi yang selama ini digunakan Pemerintah untuk kepentingan rakyat, termasuk dalam menentukan harga BBM. Di sela- sela diskusi mingguan Indemo, Rabu (19/6), wartawan Sayangi.com Mohammad Ilyas mewawancarainya sehubungan dengan rencana Pemerintah menaikkan harga BBM. Berikut petikannya:
Bagaimana Anda melihat rencana kenaikan harga BBM, karena Pemerintah mau kurangi beban subsidi?
Istilah subsidi BBM itu rancu, menyesatkan, kalau kita bicara Indonesia. Coba lihat UUD '45, dari segi ekonomi kita kan mesti mengatur rumah tangga kita sendiri. Seperti minyak, itu mesti dilihat secara keseluruhan, dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Artinya, apa kita memang pantas menaikkan harga BBM di tengah kondisi ekonomi kita seperti sekarang ini?
Dalam kasus subsidi BBM?
Jangan kita lihat apakah ini subsidi atau bukan subsidi. Penerimaan kita sudah jelas. Misalnya saat ini Rp1000 triliun lebih. Kita bisa lihat pengeluaran kita berapa untuk stimulus ekonomi kita. Seperti Cina mengatur ekonomi mereka dengan banyak sekali melakukan stimulus. Amerika juga seperti itu di bidang pertanian. Tapi mereka melakukan itu tanpa mengistilahkan dengan kata subsidi. Di India, harga obat-obatan kan wajar, tapi mereka enggak bilang itu subsidi.
Berarti bahasa subsidi mestinya tidak perlu dibesar-besarkan?
Ya, poinnya itu. Perdebatan kemarin itu tidak menyentuh esensinya, yaitu bagaimana mengatur rumah tangga kita sendiri. Misalnya sekarang mau menaikkan harga bensin hanya untuk menghemat Rp50 triliun. Itu akan muncul perdebatan, kenapa kita enggak berikan cukai tambahan pada pabrik mobil dan pabrik motor yang jelas-jelas merusak kita semua. Mengapa pabrik mobil tidak kita berikan surcharge (biaya tambahan), motor juga begitu. Menaikkan pajak emisi kan bisa diterima oleh World Bank dan WTO.
Pemerintah berdalih subsidi tidak tepat sasaran?
Itu bukan alasan yang tepat. Sebenarnya pemerintah kok yang boros. Mereka yang tidak bisa mengatur pengeluaran. Pemerintah kan bisa menekan pengeluaran kalau hanya Rp 50 triliun. Banyak yang bisa dihemat. Kita yang mengerti akhirnya bertanya, apa sih maunya orang ini? Kita semua kan tahu, dengan mempertahankan kurs di bawah Rp 10.000 per dolar AS Pemerintah sebenarnya mensubsidi orang asing yang naruh uang di Indonesia. Kan bisa dibilang begitu. Karena sebenarnya nilai tukar kita sudah Rp12 ribu. Kalau dilihat dalam dua minggu ini, cadangan devisa kita ini turun hampir 800 juta dolar tiap hari. Gimana coba menjelaskannya.
Jadi, kebijakan Pemerintah keliru?
Ya dong. Pemerintah naikkan harga minyak di saat harga minyak luar sedang turun, itu gimana. Itu sudah menunjukkan bahwa mereka sudah tidak bisa mengurus negara, titik, itu aja.
Kan Pemerintah juga punya alasan kuat?
Alasan mereka gak bisa kita terima. Mereka pembohong, gitu aja, titik. Mereka menggunakan istilah subsidi itu kan menyesatkan. Subsidi itu apa sih? Subsidi itu kan sebenarnya bagian dari pada kebijakan nasional. Kenapa mereka enggak bilang dolar disubsidi untuk nyenengin asing. Semua ini menunjukkan bahwa mereka itu tidak mampu mengatur perekonomian negara.
Solusi Anda ketika harga BBM mau dinaikkan?
Tawaran solusi saya dari awal, presiden harus diganti. Pemerintah harus diganti, karena tidak mampu mengatur negara. Bisanya cuma ngutang. Supaya bisa ngutang gampang, kurs dipertahankan. Subsidi asing, karena asing benci melihat kita kasih uang kepada rakyat. Kalau soal menaikkan BBM, nanti pemerintah berhadapan langsung dengan rakyat, lihat di mana-mana keadaan sudah kacau, rakyat pasti berontak. Kalau pemerintah cuma cari Rp 50 triliun, kenapa gak cari tambahan dari pajak, misalnya pajak motor, pajak mobil, barang mewah. Karena mereka lobinya kuat, gak berani pemerintah, beraninya sama kita. Jadi kalau contoh rekening gendut, mana berani polisi ngomong. Jadi kelihatan sekali kalau diskriminatif. Jadi negara salah urus. Yang bikin kacau, karena negara kasih subsidi pada orang asing, subsidi dolar, tapi subsidi untuk rakyat sendiri dipotong.
Berarti kita sudah dikendalikan Asing?
Semua sudah enggak tahan. Biarlah rakyat yang melawan, bukan kita. Negara ini cuma enforce (pelaksanaan) dari pasar. Pasar bikin aturan, enggak boleh gini, gak boleh gitu. Negara ikut pasar, bukan pasar ikut negara. Akhirnya kita jadi kacung asing.
Sumber : sayangi.com