Djohan Sjahroezah: Suatu “Kesabaran Revolusioner”

Djohan Sjahroezah: Suatu “Kesabaran Revolusioner” *
Pada tanggal 2 Agustus 1968, Djohan Sjahroezah meninggal dunia dalam usia 56 tahun setelah cukup lama menderita sakit. Pada upacara pemakamannya Menteri Luar Negeri Adam Malik antara lain berkata: “walaupun di masyarakat luas nama Djohan Sjahroezah tidak begitu dikenal, tetapi di antara kita semua yang turut berjuang menentang penjajahan, dan yang mengerjakan suatu Indonesia yang merdeka dan berdaulat, dan yang mencita-citakan suatu masyarakat yang adil dan makmur, nama Djohan Sjahroezah mempunyai arti yang besar.” Bahwa “Djohan tidak saja merupakan pendorong (dari) gerakan illegal yang dilakukan oleh kawan-kawan dari Pendidikan Nasional Indonesia saja, namun ia merupakan pula salah seorang daripada hampir semua yang illegal yang dilakukan pada waktu dan terhadap pemerintah penjajahan, termasuk gerakan illegal yang dipimpin dari luar negeri oleh almarhum Tan Malaka.”
Sedangkan seorang pakar asing menulis, bahwa Djohan Sjahroezah “merupakan tokoh yang kurang sekali mendapat perhatian dari para penelaah nasionalisme Indonesia. Di dalam kelompok PNI (Merdeka) dan kelak di masa pendudukan Jepang dan revolusi, ia merupakan tokoh yang sama pentingnya dengan Sjahrir. Sebenarnya, orang dapat berbicara tentang kelompok Djohan Sjahroezah yang khas dan tersendiri, yang sedikit banyak dibentuk secara mandiri olehnya, walaupun bersilangan dengan kelompok yang mengitari Sjahrir di Batavia dan bertumpang tindih dari segi keanggotaannya. Anggota kelompok Sjahroezah mungkin Iebih beragam dibandingkan dengan anggota-anggota kelompok Sjahrir, dan dalam beberapa hal kelompok ini dapat dipandang sebagail sebuah organisasi bawah tanah yang lebih efektif,” demikian J.D. Legge dalam bukunya Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan – Peranan Kelompok Sjahrir (terjemahan). Suatu penilaian yang mengandung banyak kebenaran. Itulah juga alasan, mengapa di sini saya merasa perlu menulis tentang BungDjohan.
BIASANYA bila nama Bung Djohan Sjahroezah disebut maka senantiasa timbul asosiasi pikiran bahwa ia adalah keponakan Bung Sjahrir. Hubungan kekerabatan, yang menempatkan Bung Djohan satu generasi lebih muda daripada Bung Sjahrir, secara tak sadar agaknya berlaku dalam menempatkan kepemimpinannya secara politis. Ayah Bung Sjahrir memiliki beberapa istri. Ibu Sjahrir adalah istri ketiga ayahnya. Karena itu Bung Sjahrir memiliki juga beberapa saudara tiri. Dan ibu Djohan adalah putri ketiga dari istri pertania ayah Sjahrir. “Itulah sebab keduanya hampir sebaya,” tulis J.D.Legge.
Djohan Sjahroezah lahir di Muara Enim Sumatra Selatan pada tahun 1912. Jadi, dari segi umur ia hampir sebaya dengan Bung Sjahrir. Setamat ELS di Medan, Djohan ke MULO di Bandung, lalu ditamatkan di Batavia dan di sini memasuki AMS. Ketika ia masih siswa AMS, PNI-Pendidikan terbentuk. Seperti dikisahkan adiknya Hazil Tanzil kepada J.D.Legge, “Ia sudah mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh salah satu kelompok mandiri (Golongan Merdeka), dan dengan bergabungnya kelompok-kelompok ini menjadi PNI Baru, wajarlah bila ia menjadi salah seorang pendiri cabang Batavia” Ia menyumbangkan tulisan buat Daoelat Rakjat, juga menjadi sekretaris Bung Sjahrir dan Bung Hatta (1932).
Sebagai aktivis PPPI, dalam sebuah artikel di rnajalah Indonesia Raya terbitan PPPI, siswa AMS itu mengecam keras kerja sama dengan Belanda. Akibatnya Ia ditangkap dengan tuduhan rnenghasut untuk berbuat kekacauan. Ia diadili dan dihukum penjara selama 1,5 tahun di penjara Sukamiskin. Saat itu Djohan sudah duduk di tingkat satu RHS. Meskipun ia mahasiswa baru, tampaknya ia dihormati sebab Djohan diberi kelonggaran oleh RHS untuk melanjutkan studi hukurnnya di penjara dan menempuh ujian akhir tahun.
Selesai menjalani hukuman penjara, Djohan menolak menandatangani pernyataan yang isinya tidak akan melakukan kegiatan politik lagi. Risikonya ia tidak dibenarkan melanjutkan kuliah di RHS. Itu satu hal. Hal lainnya, ia kehilangan hampir seluruh rekannya tokoh-tokoh PNI Pendidikan – juga aktivis-aktivis politik nonkoperasi lainnyá – yang sudah hidup di pembuangan Digul, Banda Neira atau Ende – Flores: Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bondan, Burhanuddin, TA Murad, Maskun, dan lain-lain. Juga dr. Tjipto, dr. Twa Kusumasumantri, Bung Karno, dan banyak lainnya.
Anak muda berumur 22 tahun itu tidak kehilangan akal. Sebagai salah seorang dari tinggal sedikit kader PNI-Pendidikan yang masih bebas saat itu, Djohan Sjahroezah malahan menunjukkan militansi dan konsistensi perjuangannya, sekaligus “kesabaran revolusioner”nya. Niscaya periode ini menempa dan mematangkan ketokohan anak muda alumnus penjara Sukaniiskjn ini.
Dimulai dengan mengurus dirinya sendiri, Djohan mengembangkan kemampuannya bekerja sama dengan banyak pihak, melakukan berbagai prakarsa perjuangan dalam bentuk gerakan di bawah tanah, seraya menambah teman dan kader.
Mulanya Djohan bekerja pada Kantor Berita atau Biro Iklan Arta – milik seorang Belanda bernama Samuel de Heer – yang menyiapkan artikel-artikel feature untuk dimuat di koran-koran di seluruh Hindia.
Djohan menikah tahun 1937 dengan Zus Yoyet, anak H. Agus Salim lalu pindah ke Tarakan, bekerja pada perusahaan pertambangan minyak Shell. Dalam waktu amat singkat ia pun dipecat gara-gara mendirikan serikat buruh minyak.
Begitu kembali ke Batavia Djohan Sjahroezah, bersama Adam Malik dan Pañdoe Kartawiguna mendirikan kantor berita sendiri tahun 1937, yaitu KB Antära yang kemudian menjadi kantor berita nasional resmi sampai sekarang.
Pengalaman-pengalaman kerjanya di KB Arta sebelumnya dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan KB Antra, sejak dari organisasi dan manajemen, sampai teori dan praktek menulis karya-karya jurnalistik. Kader-kader jurnalistiknya di KB Antara antara lain Adam Malik, Mochtar Lubis, Sukarni, juga adiknya, Hazil. Karena itu tidaklah mengherankan jika Adam Malik menempatkan dirinya sebagai salah seorang kader Djohan Sjahroezah juga. Dengan demikian sebenarnya Djohan juga adalah salah seorang peletak pers Indonesia!
Selain itu Djohan membantu menghidupkañ kembali sk PNI Kedaoelatan Rakjat (1937) namun berumur pendek lalu sk, Negara (1941) – yang nomor perdananya memuat sebuah artikel ekonomi Bung Hatta.
Menjelang masuknya militer Jepang tempat pembuangan Bung Hatta dan Bung Sjahrir dipindahkan ke Sukabumi. Ketika Belanda menyerah kepada Jepang dan Bung Hatta dibebaskan, maka Djohan menjadi sekretaris Bung Hatta. Lalu dengan bantuan Bung Hatta, Djohan Sjahroezah pindah ke Surabaya (1943). Tugasnya adalah menerjuni dunia buruh minyak BPM di Wonokromo dan Cepu, seraya menyusun jaringan gerakan bawah tanah yang lebih luas. Djohan melakukan kontak dengan “PKI Illegal” warisan Musso. Juga dengan Soekarni serta para pemuda pengikutnya di Menteng 31, Jakarta.
Dalam buku yang sama J.D. Legge menulis (hlm. 106): “Ia meletakkan landasan organisasi serikat buruh BPM, berupa kelompok-kelompok kerja sesuai fungsi perusahaan, teoritis untuk menyalurkan propaganda, kadangkala untuk taktik slow down. Hubungan dengan petugas sumur minyak Krukah, Lidah, Wonokromo, NgIobo, Wonosari, dan kilang minyak Cepu dibentuk.
Kegiatan Djohan tidak di serikat buruh saja. Rumahnya di lorong dekat Jalan Embong Malang menjadi terminal para penghubung banyak tempat di Jawa Timur, Madura dan Bali. Djohan seperti Sjahrir punya wakil-wakil di luar Jawa Timur: ML Tobing – Semarang, Dimyati – Yogya. ; la juga memiliki hubungan dengan kelompok dan anggota organisasi lain. Seperti Darmawan Mangunkusumo, Cak Ruslan dan Komite Angkatan Muda Surabaya, dengan PKI bawah tanah. Juga dengan aktivitas Murdianto di kalangan siswa SMT Sukarni teratur mengunjunginya, Dengan cara ini Ia memelihara hubungan dengan Asrama Angkatan Baru di Menteng 31 Jakarta, “Sepanjang masa itu Djohan Sjahroezah tetap berkomunikasi erat dengan Sjahrir, yang untuk tujuan itu sering berkunjung ke Surabaya. “Dilihat dari segi itu ia dapat dianggap bagian dari organisasi Sjahrir yang lebih luas,” tulis Legge, “Namun, kegiatan – kegiatannya sendiri begitu luasnya sehingga akan lebih tepat kiranya bila dikatakan bahwa ía mempunyai jaringan tersendiri, yang di banyak tempat bertumpang tindih dengan jaringan Sjahrir, tetapi dapat dibedakan darinya dan lebih beragam komposisinya.”
Setelah proklamasi kemerdekaan Djohan Sjahroezah bersama Sjahrir memprakarsai pembentukan Paras dan kemudian juga dalam penggabungan Paras dengan Parsi menjadi Partai Sosialis. Sebagai anggota dari Badan Pekerja KNIP ia begitu intensifnya melakukan kerja sama di dalam kelompok-kelompok yang tergabung dalam Sayap Kiri, di samping membantu PM Sjahrir dan Wakil Presiden Hatta.
Inilah kekhasan Djohan Sjahroezah, Selain bisa mandiri, secara pribadi ia juga mampu melakukan kerja sama perjuangan, baik dengan tokoh-tokoh generasinya sendiri atau generasi yang lebih tua, maupun generasi yang lebih muda; bahkan dengan mereka yang berlainan ideologi dan kelompok – serta dihargai oleh mereka. Masih seperti yang dicatat Legge, bahwa “di antara orang-orang yang berada di sekitar Sjahrir, dialah yang paling doktriner, kata Soebadio Sastrosatomo (Sebagai contoh Badio menandaskan bahwa dalam argumentasinya untuk mendukung pemerintah yang dipimpin oleh Hatta pada tahun 1948, Djohan Sjahroezah, dengan menggunakan istilah-istilah Marxis klasik, menyebut periode itu sebagai revolusi borjuis. Lebih dari yang lain-lain, ia adalah “nabi bagi perjuangan,” kata Abu Bakar Lubis. Sitorus mengatakan, ía “boleh jadi merupakan orang Indonesia yang paling pandai.”
Namun begitu unsur-unsur komunis menimbulkan keretakan dalam tubuh Partai Sosialis dan pertentangan dalam Sayap Kiri yang kemudian menjatuhkan kabinet Sjahrir, maka Djóhan Sjahroezah bersama Soemartojo, Soebadio dan lain-lain, memimpin pembentukan PSI.
Ada yang menyesalkan bahwa kader-kadernya ada yang menjadi komunis misalnya, seperti Soemarsono ang nencetuskan Peristiwa Madiun. Organisasi buruh yang dibentuknya kemudian menjadi basis bagi SOBSI yang merupakan organ PKI dan berbalik menentangnya, setidaknya secara politis. Tapi dalam sejarah, hal yang sama juga terjadi pada Isa Almasih (salah seorang muridnya adalah Judas Iskariot), pada Sjahrir dan Hatta (anak angkat mereka MH Lukman justru menjadi PKI).
Kemudian ia, danjuga saya serta barangkali L.M. Sitorus, lapisan kedua di bawah Bung Sjahrir yang langsung mengurus program kampanye partai untuk memenangkan dua kali pemilihan umum tahun 1955, dinilai gagal.
BUNG DJOHAN adalah pribadi yang bebas. Mantap namun waspada (kritis). Penampilan tenang namun amat responsif Nyerap. Orangnya sabar, tidak curiga, terbuka. Ia konsisten dengan garis perjuangan. Jujur, setia kawan. Djohan tak pernah membenci orang lain, Tidak juga rasa curiga. Ia terbuka pada siapa saja. Transparan.
Tapi ía pejuang yang matang. Ia mandiri namun yang bisa pula bekerja sama dengan pejuang-pejuang lain, termasuk yang berbeda ideologi. Ia tidak pernah melepaskan prinsip perjuangan. Solidaritasnya tinggi. Setahu saya, Djohan tidak pemah membenci orang. Juga tak pernah punya musuh pribadi, tidak juga dari partai Murba, PNI, atau PKI sekalipun!
Kehidupannya sederhana, kalau bukan amat bersahaja. Di Jakata Djohan Sjahroezah menempati pavilyun rumah kediaman H: Agus Salim, jadi Ia tinggal bersama mertua.
Kalau bersama Djohan ke Parlemen kami hanya naik beca. Jadi hemat. Hemat itu perlu, sebab sebagai anggota Parlemen kami harus menyetorkan 15% pendapatan untuk kas partai, misalnya uang sidang. Yang datang menjemput adalah Soemartojo, sebab ia adalah Sekretaris bagian Umuñ PSI.
Seperti Sumartojo atau Sastra, Djohan adalah tokoh pimpinan yang berakar pada masyarakatnya. Ia bukan pemimpin salon atau yang hanya melihat dan menilai perjuangan dari ketinggian menara gading. Karenaitu bahasanya juga bisa dipahami siapa saja. Kalaulah ada stereotipe bahwa “orang-orang sosialis Sjahrir,” sulit dipaharni dan “arogan”, tipe demikian tak ada pada Djohan Sjahroezah.
BUNG DJOHAN SJAHROEZAH bukan orang komunis namun dalam hal-hal tertentu belajar dari orang komunis. Belajar artinya bersikap terbuka, suatu ajaran yang juga dianjurkan Islam, Sebuah hadist Nabi Muhammad justru berbunyi, “Tuntutlah ilmu, meski ke negeri Cina sekalipun!”. Bung Djohan mempraktekkan hadist itu sebab Ia senantiasa mengingatkan rekan-rekannya bahwa dalam perjuangan politik dibutuhkan kesabaran politis. Itu dipetiknya dari Mao Ze Dong, pemimpin komunis Cina tentang perlunya “kesabaran revolusioner.” Bahwa dalam perjuangan politik moment amat menentukan. Dan hal itu bisa diketahui dengan cara terus-menerus mengikuti dan menilai keadaan masyarakat yang berkembang terus-menerus.
Tapi kesabaran dimiliki hanya oleh mereka yang mempercayai dan memerlukan kebenaran. Bukan oleh mereka yang sebenarnya hanya memuja dan mengagungkan kekuasaan atau applaus massa. Bung Djohan yang percaya kepada demokrasi tak mudah dibius kata yang sama namun untuk maksud yang bertentangan. Seperti kepercayaannya kepada akal sehat dan humanisme tak memerlukan ilmu klenik atau kata-kata yang berakar pada sistem feodalisme, seperti yang banyak kita saksikan dewasa ini.
BUNG DJOHAN bukan hanya telinga, akal dan hati yang menyimak perkembangandi sekitarnya. Yang Iebih penting lagi, di saat-saat kritis, Ia justru diperlukan hanya untuk didengarkan. Djohan adalah kepemimpinan visioner disaat kritis.
Saya teringat, ketika orang-orang Indonesia yang anggota partai komunis Belanda masuk ke Indonesia dan ingin mengendalikan Partai Sosialis di bawah garis dan komando blok komunis Uni Soviet (Kominform), maka Djohan Sjahroezah dan kawan-kawannya mengambil insiatif memisahkan diri dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) di Yogyakarta tanggal l2 Februari 1948. Suatu 1angkah yang jelas dengan perhitungan masak sebab dengan meletusnya petistiwa Madiun kemudian ternyata Amir memang membawa Partai Sosialis menempuh jalan perlawanan rakyat dengan meriskir (mempertaruhkan) kepentingan negara dan bangsa Indonesia.
Atau dalam hal-hal kecil bagaimanapun juga Ia didengarkan oleh Bung Sjahrir, juga Bung Hatta. Saya masih ingat, bagaimana beberapa hari setelah menyerahkan tulisannya sendiri yang dikategorikan penting untuk dimuat di Majalah Sikap dan Majalah Suara Sosialis menjelang deadline, Bung Sjahrir senantiasa merasa perlu untuk mengontak saya sekedar meyakinkan dirinya: “Apa naskah saya sudah diperiksa Bung Djohan? Dia harus baca dulu sebelum dimuat. Terserah dia, pantas atau tidak.” Bung Djohan tersenyum bila diberitahu bahwa Bung Sjahrir menanyakan hal itu. Dan Bung Djohan tak pemah ragu untuk mengedit tulisan Bung Sjahrir – namun diberitahu sebelum dimuat. Akan tetapi yang demikian jarang sekali terjadi. Kadangkala Bung Djohan menugaskan saya untuk menggantikannya memperbaiki bahasa tulisan Bung Sjahrir. Nampaknya bagi siapa pun, Bung Sjahrir lebih mahir menggunakan bahasa Belanda dan Inggris daripada bahasa Indonesia.
Bung Djohan niscaya juga salah seorang yang pandangan-pandangannya amat dihormati oleh Bung Hatta. Salah satu kejadian di awal Orde Baru yang tidak bisa saya lupakan adalah di saat-saat santer terdengar bahwa Bung Hatta mau mendirikan partai sendiri, yaitu Partai Demokrasi Sosial Islam. Anggaran Dasarnya bahkan konon sudah dikonsep Saudara Tamimi Oesman di Sumatra Barat. Tapi rencana pembentukan partai itu mati begitu saja apalagi karena tak disetujui pemerintah.
Banyak alasan mengapa rencana pembentukan partai oleh Bung Hatta gugur secara prematur. Saya rasa, salah satu sebabnya adalah kritik Bung Djohan Sjahroezah yang disampaikan langsung ketika kami mendatangi Bung Hatta di rumah kediamannya di Jalan Diponegoro, Dengan gayanya yang kalem Bung Djohan berkata tenang:
“Katanya Bung mau berdiri di atas semua golongan. Saya rasa itulah yang benar untuk Bung. Citra diri Bung akan lain bila Bung mengecilkan diri dalam suatu kelompok. Lagi pula apakah Bung sudah benar-benar mempelajari dulu situasi, apa iklimnya mendukung atau tidak.”
Bung Hatta terperangah. “Menurut Bung bagaimana?”
“Bung sudah dengar pendapat saya. Pada akhirnya itu kan terserah Bung sekarang.”
Tak lama setelah itu minat Bung Hatta untuk membentuk partai itu hilang. Kepada teman-temannya Bung Hatta bilang bahwa iklim belum favorable untuk itu.
SETELAH pemberontakan PRRI usai, Masyumi dan PSI dibubarkan, Djohan Sjahroezah berkata bahwa Ia melihat kecenderungan perkembangan totaliterisme dan militerisme di Indonesia, sernentara “kerakyatan terjepit dan dikesampingkan jauh.”
Menang, sejak Partai Sosialis Indonesia dibubarkan apalagi setelah Bung Sjahrir meninggal, Djohan Sjahroezah tetap menjadi salah satu titik sentral bagi orang-orang yang kehilangan partainya. Ia setia mengikuti dan mempelajari perkemban situasi, mendiskusikannya dengan tenang, mantap dan sabar. Tapi Ia juga tetap terbuka pada semua lapisan dan golongan politik, tak pilih dari kelompok politik manapun. Bertemu dengan Bung Djohan di saat situasi politik yang pengap, senantiasa membukakan hati, pikiran dan semangat kepada perjuangan untuk kepentingan rakyat banyak.
Selain itu, seperti saya tulis dalam pidato untuk rnemperingati kematian Bung Diohan Sjahroezah tanggal 10 November l968, sebagai berikut:
“Djohan dengan teman-temanya tidak banyak dapat berbuat, Ia hanya kelihatan membiarkan kaum totaliter untuk menghabiskan tenaga mereka sendiri. Arus totaliterisme belum habis, belum terkikis, sedangkan arus demokrasi dalarn ujian.
Djohan menyadari kesulitan perjuangan ini, menyadari kesulitan teman dan kawannya, apalagi anak-anak didiknya. Namun Ia percaya bahwa tingkah langkah totaliterisme itu sendiri melahirkan syarat-syaratnya bagi perjuangan rakyat itu sendiri.
Dalam masa kritis serangan penyakitnya, Ia seorang perokok berat yang terkena kanker paru-paru tetapi masih memikirkan lanjutan perjuangannya dan beberapa jam sebelum akhir nafasnya –la berkata, “masih banyak yang harus dirombak dan dikerjakan”
Sebagai ideolog Bung Djohan tokoh konsisten dengan prinsip perjuangan. Ia militan namun sabar, penuh perhitungan tak gampang berkompromi. Sebaliknya sebagai manusia dan hamba Allah Ia seorang yang memiliki solidaritas tinggi, toleransi yang besar dan pemaaf pada siapa pun. Tapi kematian telah menutup peran dan momentum perjuangan bagi tokoh pejuang yang sabar namun militan ini.
“Bagi kita,” kata Adam Malik dalam upacara pemakannya yang sederhana, “Djohan Sjahroezah merupakan seorang teman, seorang pemimpin seorang pembimbing yang selalu memberikan contoh dalam keberanian, kegigihan dan keikhlasan dalarn menghadapi segala masalah perjuangan secara konsekuen.”
*(Dikutip dari Buku ”Memoar Seorang Sosialis – Djoeir Moehamad, Yayasan Obor Indonesia 1997. Hal. 348 – 357)