Historis Materialisme Marx Sebagai Teori Atas Perjuangan Kelas

A. Historis Materialisme

Pemikiran Marx berpengaruh pada abad ke dua puluh. Ketika itu, Marx memformulasikan pemikiran Hegel tentang eksistensi pikiran sebagai sebuah jiwa universal. Dalam analisis Hegel melalui metode dialetika, menurut Hegel proses dialektika ini sejenis oposisi dinamis dan progresif dimana gagasan awal, tesis dihadapkan dengan anti tesis yang sifatnya bertentangan, dan perlawanan ini berkulmasi dalam sintesis yang menjaga dan menggabungkan apa yang rasional dalam dua posisi yaitu pertama dan dan kemudian membentuk tesis baru.

Filosofi materialisme yang dikatakan Marx adalah materialisme yang menggerakkan pikiran. Penggabungan dua teori antara materialisme dan metode dialektika ini menghasilkan metode materialisme dialektika. Marx dengan jelas menolak pandangan Hegel bahwa dan mengikuti jalur pemikiran feueurbach. Dalam proses analis metode dialektika materialisme, Marx melihat materi, perlahan-lahan Marx menganalisis hubungan-hubungan sosial yang berhubungan dengan ekonomi, tenaga kerja, politik, dll dalam analisa sosial sebagai kekuatan-kekuatan yang menentukan dalam sejarah manusia.. Inilah yang dikatakan oleh Marx sebagai historis materialis yang berepisentrum pada materi.

Marx membangun teori historis materialisme sebagai syarat mutlak dialektika materialis. Marx menilai bahwa pada dasarnya manusia itu bebas, namun hegemoni ekonomi yang besar merubah dan menentukan karakter manusia. Marx menyatakan:

Model produksi dalam kehidupan material menentukan karakter umum proses sosial, politik dan spiritual dari kehidupan. Adalah bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, tetapi sebaliknya, eksistensi sosialnya yang menetapkan kesadaran mereka[1].

Marx menganggap bahwa ketika perkembangan ini berlangsung, di sana terdapat titik ketika kekuatan-kekuatan material produksi memasuki arena konflik dengan hubungan-hubungan produksi yang ada, yang berakibat pada bahwa apa yang ada yang menjadi ikatan dan belenggu bagi manusia.

Nilai kerja merupakan suatu keadaan alamiah antara manusia dan alam. Marx mengatakan tentang ’ nilai kerja ’dalam bukunya Capital I bahwa konsep nilai tidak saja sepenuhnya, tidak dilenyapkan tetapi sesungguhnya diubah menjadi sebaliknya. Ia merupakan sebuah pernyataan yang sama imajinernya seperti nilai bumi. Ungkapan-ungkapan ini lahir dari hubungan-hubungan produksi itu sendiri. Mereka adalah kategori-kategori bagi bentuk-bentuk penampilan dari hubungan-hubungan esensial. Bahwa dalam penampilannya segala sesuatu sering menyatakan diri mereka dalam hubungan terbalik sudah diketahui betul dalam setiap ilmu pengetahuan, kecuali ekonomi politik[2]. Dalam menganalisis tentang kerja, perlu menekankan psedo-psedo berikut:
Pada dasarnya prinsip kerja adalah sebuah keadaan dimana manusia secara alamiah dari hukum-hukum.
Manusia bekerja tidak lain untuk memenuhi hidupnya dengan nilai ’kebutuhan’, dan alam pun bekerja untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Hubungan bipolaritas alam dan manusia sebagai bentuk hukum kausalitas.

Nilai kerja berubah ketika nilai komoditas, ketika adanya persaingan antar individu, sehingga yang memenangkan persaingan individu itu menjadi subjek superior. Persaingan individu digambarkan oleh Marx pada zaman purbakala untuk memperebutkan ’kepemilikan’ wilayah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan komunalnya. Manusia superior ini menjadi pemimpin atau raja daripada manusia-manusia lain (rakyat), yang dikatakan Marx sebagai masyarakat feodalisme. Rakyat kehilangan hak untuk merdeka dan kebebasan, dan rakyat hanya dijadikan budak bagi para raja. Rakyat tidak tersadarkan bahwa hak mereka hilang dikarenakan hanya seorang superior.

B. Hegemoni Kapitalisme

Kapitalisme merupakan sebuah keadaan masyarakat tingkat lanjut dari masyarakat feodalis. William Outwaite mendefinisikan pemikiran Karl Marx (Capital, 1867, Vol I) mendifinisikan kapitalisme sebagai masyarakat yang memproduksi komodititas, dimana alat-alat produksi utama dimiliki oleh kelas khusus, yaitu borjuis dan tenaga buruh juga menjadi komoditas yang dibeli dan dijual[3]. Kaum borjuis selaku pemodal memiliki kuasa penuh untuk menjalankan sistem perekonomian, sedangkan tenaga buruh hanya dijadikan mesin-mesin perusahaan. Tenaga buruh menjadi komoditas yang dibeli dan dijual dikarena buruh menjadi pengendali perusahaan dalam menjalankan produksi. Kaum buruh (proletar) diperbudak oleh kaum borjuis dengan mengatasnamakan keuntungan. Kaum borjuis menginginkan akumulasi modal dengan cepat, sehingga buruh diperbudak untuk meningkatkan hasil produksi dan dibandingkan dengan upah penghasil buruh yang tidak stabil dengan waktu (jam kerja) memproduksi dalam teori nilai lebih.

Marx mengkritik Ricardo dan Adam Smith (Invisible Hand). Bahwa, Adam Smith dan Ricardo tidak melihat harga alamiah terdiri dari rata-rata upah dan rata-rata keuntungan. Konsep dari Adam Smith dan Ricardo tidak bisa dijelaskan dengan “harga” karena harga yang rata-rata upah dan rata-rata keuntungan tadi. Karena menurut Adam Smith dan Ricardo itu adalah “harga yang terpusat”, dengan “hasrat pasar”. Sehingga yang terjadi adalah produksi secara besar-besaran, tanpa adanya mampu membeli karena. situasi masyarakat yang menjadi miskin dan dimiskinkan oleh kapitalisme itu sendiri[4]. . Untuk itulah adanya Manifesto Politik dalam hal ini Marxisme menjadi ideologi dengan prinsip keadilan sama rata (equality).

Marx membentuk sebuah kekuatan dalam mengkonsolidasikan kaum proletar dalam satu partai, yaitu komunis. Dalam manifesto komunis, ajaran-ajaran marx berkembang pesat. Marx menjelaskan dalam dua poin dalam ajaran komunisme[5].
Komunisme telah diakui oleh semua kekuasaan di Eropa sebagai suatu kekuasaan pula.
Telah tiba waktunya bahwa kaum komunis harus dengan terang-terangan terhadap seluruh dunia, menyiarkan pandangan-pandangan mereka, tujuan mereka, aliran mereka, dan komunisme ini dengan sebuah manifes dari partai sendiri.

Apa yang kaum marxis perjuangkan adalah tidak lain melawan sistem borjuasi dalam sistem kapitalismenya. Industri modern telah menciptakan pasar dunia dengan perdagangan yang sangat besar.

Proses perjuangan kelas sebagai antisesa pergerakan kapitalisme disinyalir adalah syarat utama sebuah revolusi. Lenin mengatakan bahwa;

Perjuangan kelas adalah sebuah perjuangan politik. Kalimat yang dikutip itu adalah suatu lukisan susunan jaring perhubungan-perhubungan sosial dan tingkatan-tingakatan peralihan antara satu kelas dengan yang lainnya, antara yang lampau dengan yang dikemudian hari[6].

Historis materialisme Marx yang ditelaah oleh Lenin menekankan masalah masyarakat. Lenin menafsir pemikiran Marx dalam manifesto komunis, bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah adanya kelas-kelas sosial, dan hal ini harus direvolusikan melalui sebuah politik. Dengan satu partai politik dan menguatkan massa proletar. Marx menganggap hegemoni kapitalisme membuat sekat antara yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

C. Perjuangan Kelas

Perubahan sejarah umat manusia dalam masyarakat hanya tercapai dengan jalan kekerasan yaitu melalui suatu revolusi. Karl Marx pada dasarnya menentang semua bentuk usaha untuk memperdamaikan kelas-kelas yang bertentangan. Reformasi pada kelas atas dan usaha pendamaian antar kelas hanya akan menguntungkan kelas penindas. Karl Marx menekankan bahwa perjuangan kelas yaitu penghancuran penindasan yang terjadi dalam masyarakat. Engels mengatakan:

Semakin kuat sosialisme lebih dini ini menolak eksploitasi kelas pekerja, yang adalah tidak terelakkan dalam kapitalisme, semakin kurang mampulah ia untuk secara jelas menunjukkan atas apakah eksploitasi ini terdiri dan bagaimana ia timbul[7].

Engels menguatkan pemikiran Marx dalam perampasan Hak kepemilikan dan bagaimana mekanisme kapitalisme mengekploitasi proletar dalam teori nilai lebih.

Perlawanan kaum proletar dalam menuntut keadilan, Lenin menerapkan tindakan politik praksis dalam melawan bentuk alienasi manusia. Lenin mengerti aparatur negara dalam masyarakat diklasifikasikan dalam mengedepankan sebagai kelembagaan dominasi sosial pemilik kemiskinan atas orang-orang yang harus hidup dengan bekerja untuk mereka, yang berubah dari sebuah kekuatan sosial, terasing dari massa sehingga masyarakat dan di luar kendali. Bagi Lenin dengan menerapkan diktarator proletariat dapat membabaskan kaum proletar dari kung-kungan kapitalisme.

Marxisme berjuang untuk penaklukan kekuasaan politik oleh kelas pekerja dan pembangunan masyarakat sosialis, dimana negara akan lenyap. Sebelum itu, haruskah buruh menjauhkan diri dari aktivitas politik? Haruskah mereka menolak semua perubahan kecil yang dapat meningkatkan keberadaan mereka? Tentu saja

tidak, kita harus membela perjuangan untuk setiap manfaat sekecil apapun, dan menggunakan setiap kesempatan yang terbuka untuk kita. Hanya orang yang bodoh saja yang dapat menolak gaji yang lebih baik atau sistem kesehatan masyarakat. Melalui perjuangan tersebut, dan

perjuangan untuk merubah organisasi buruh, serikat buruh, dan partai buruh, kita belajar dan menjadi lebih kuat dan membawa lebih dekat hari dimana adalah mungkin untuk merubah masyarakat secara permanen. Kaum Marxis berjuang untuk setiap perubahan kecil, dan pada saat yang sama menjelaskan bahwa perubahan-perubahan ini tidaklah aman kalau kapitalisme berlanjut. Hanya sosialisme yang dapat menyelesaikan problem-problem masyarakat.