MUNGKINKAH MEMBANGUN KEMBALI PARTAI SOSIALIS INDONESIA?

Partai-partai politik modern yang berkembang pada abad ke-20 pada umumnya didirikan berdasarkan aspirasi dan orientasi ideologi yang lahir dan berkembang pada abad ke-19, yang juga disebut Abad Ideologi (The Age of Ideology). Ketika Abad Ideologi itu dianggap telah berakhir (the end of ideology) pada pertengahan abad ke-20 berdasarkan kajian ilmiah, maka partai-partai politik yang semula berbasis dan memperjuangkan ideologi tertentu telah berubah menjadi partai yang didasarkan atas kepentingan (interest-based) dan kepemimpinan politik. Demikian pula partai-partai politik baru pasca-ideologi didirikan di atas dasar kepentingan dan kepemimpinan. Di Indonesia sendiri penetapan azas tunggal Pancasila pada hakekatnya juga telah mengakhiri sistem kepartaian atas dasar ideologi, yang disebut politik aliran itu. Berdirinya partai-partai dengan pola baru itu nampak pada perkembangan partai-partai politik Indonesia pada masa Reformasi di awal abad ke-21. Tokoh-tokoh yang tampil sebagai pemimpin partai di masa Reformasi, misalnya, M. Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusril Ihza Mahendra, atau juga Sri Mulyani, yang akhir-ahir ini sedang ditokohkan melalui Partai SRI. Sri Mulyani adalah seorang teknokrat perempuan yang menonjol kariernya, meskipun sebenarnya ia bukan pemimpin masyarakat yang bercorak followership, seperti halnya Soekarno, Sjahrir dan Tan Malaka. Ciri pemimpin-pemimpin baru partai politik itu adalah bahwa mereka bukan seorang ideolog dan memiliki kepemimpinan transformatif seperti Soeharto dan Habibie, melainkan pemimpin-pemimpin transaksional. Dewasa ini hampir semua partai politik adalah partai yang tidak punya orientasi ideologi, melainkan partai-partai atas dasar kepentingan dan kepemimpinan seseorang atau kelompok. Partai adalah seperti organisasi perseroan terbatas yang didirikan oleh para pemilik modal yang misi utamanya adalah melakukan transaksi politik. Namun kesemuanya selalu mengatas-namakan kepentingan rakyat, misalnya kesejahteran rakyat, demokrasi atau supremasi hukum.



Perkembangan itu sangat mempengaruhi perilaku politik dan kepemimpinan, yaitu dari yang tadinya bercorak pada gagasan dan moral menjadi perilaku yang pragmatis, bahkan oportunis. Berdasarkan kepentingan itu, maka kepemimpinan politik berubah dari pola transforming ke transaksional. Melalui proses transaksional itu lahir kartel politik arau oligarki partai-partai politik untuk melakukan pembagian atau distribusi kekuasaan sebagai nampak dalam pembentukan kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan Jilid II, sehingga tidak bisa terbentuk “kabinet ahli” (zaken kabinet). Kerena itu timbul gagasan untuk mengembangkan kembali orientasi partai politik ke ideologi atau membangun kembali partai yang berdasarkan pada ideologi dengan tujuan transformasi sosial-ekonomi.

Dari wacana ontologi dewasa ini yang menampilkan persoalan kemiskinan, ketidak-adilan dan ketergantungan yang melahirkan dominasi negara-negara adidaya atas negara-negara yang sedang berkembang, timbul gagasan untuk membangun kembali suatu partai sosialis baru di Indonesia. Gagasan sosialis dipilih untuk menjadi dasar partai karena dipicu oleh bercokolnya paham neoliberalisme yang merupakan revitalisasi terhadap ideologi kapitalisme global. Gagasan itu tidak saja timbul di kalangan generasi penerus keluarga besar eks-PSI, tetapi juga dari kalangan lain yang masih teringat pada gagasan sosialisme yang kini telah mendirikan Partai Kongres, walaupun pendukungnya berasal darti kalangan nasionalis. Partai GERINDRA (Gerakan Indonesia Raya), yang didirikan oleh Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, yang merupakan cucu tokoh koperasi dan perkreditan rakyat, Margono Djojohadikusumo, dan juga putera begawan-teknokrat ekonomi Sumitro Djojohadikusumo—seorang pemimpin PSI tahun 1950-an, menampilkan diri sebagai partai dengan kepemimpinan transforming dengan mengembangkan ekonomi rakyat dan kebijaksanaan publik yang nasionalis dan pro-rakyat. Misi GERINDRA itu dirasakan mengandung aspirasi sosialis versi baru dalam konteks neoliberalisme dan globalisasi. Karena itu, konon GERINDRA (menurut Imam Yudotomo, putra salah satu pentolan PSI asal Yogyakarta), pernah mengimbau agar generasi muda eks-PSI bergabung ke dalam partai itu, tapi sebaliknya kalangan eks-PSI mengimbau sebaliknya, agar GERINDRA ikut saja menudukung gagasan untuk membentuk PSI-baru. Gejala itu sebenarnya menunjukkan adanya kesamaan aspirasi antara dua kelompok itu dalam gagasan sosialisme. Makna dari dua imbauan itu adalah: Pertama, dari pihak GERINDRA berpandangan bahwa program ekonomi kerakyatan dan kebijaksanan publik pro-rakyat adalah versi baru sosialisme, khususnya sosialisme kerakyatan, sebuah istilah yang lebih kontekstual, dan karena itu istilah sosialisme tidak perlu lagi disebut, khususnya karena bisa menimbulkan persepsi mengenai sosialisme yang sudah gagal. Kedua, dari pihak eks-PSI berpendapat bahwa agar GERINDRA yang mengadung aspirasi sosialisme itu tidak terjebak ke dalam politik transaksional, hendaknya GERINDRA kembali ke dasar (back to basic), yaitu Sosialisme Kerakyatan, sehingga GERINDRA menjadi partai politik yang berbasis ideologi dan bukan sekedar partai politik yang dibentuk oleh Prabowo Subianto, sebagai pemilik modal. Persepsi itu timbul karena di masa Reformasi ini timbul para pemimpin partai dan calon presiden yang beridentitas pengusaha, seperti misalnya, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan juga Prabowo Subianto sendiri yang setelah purna tugas kemiliteran menjadi pengusaha bergabung dengan adiknya, Hashim Djojohadikusumo. Dengan latar belakang analisis yang mengacu pendapat Paul Krugman, bahwa memimpin negara tidak sama dengan memimpin perusahaan, maka partai politik hendaknya seperti organisasi koperasi, yaitu sebagai perkumpulan orang yang memiliki aspirasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sama, yang dikelola secara demokratis berlandaskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu yang disepakati bersama.


Sungguhpun begitu, sosialisme sebagai ideologi global telah dianggap gagal dan mengalamI kebangkrutan dari dalam. Namun anggapan itu mengandung kontroversi teoritis. Pertama, jika sosialisme yang dimaksud adalah sosialisme di Uni Soviet dan Eropa Timur, maka yang runtuh bukanlah ideologi sosialisme, melainkan komunisme. Jika yang dimaksud adalah Cina, maka negara itu hingga kini masih menamakan dirinya negara sosialis dengan melihat lembaga-lembaga ekonominya, seperti mekanisme perencanaan, perusahaan negara, sistem kesejahteraan atau koperasi. Dan kini, Cina seolah-olah lahir kembali menjadi negara adidaya baru dan mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Kelahiran kembali itu disebabkan oleh keberhasilan pembangunan sosialis di masa lalu, khususnya dalam menciptakan kemandirian ekonomi—walaupun biaya sosialnya tentu saja perlu diperhitungkan. Selain itu di lingkungan Dunia Ketiga, Vietnam masih mengikuti sosialisme dan berhasil mencapai kemajuan-kemajuan dengan keunggulan ekonomi yang bercorak sosialis. Sementara itu di negara-negara demokrasi lainnya, pertai-partai sosialis dan partai yang bercorak sosialis masih berperan penting dan sering menang dalam pemilihan umum, seperti di Prancis, Inggris, Australia atau Brasil, Venezuela, Bolivia dan Argentina. Demikian pula jika partai Sosial-Demokrasi yang digagas oleh Sutan Sjahrir dianggap sebagai varian atau versi baru sosialisme demokrasi. Di Jerman, negara-negara Nordic dan bahkan di AS, partai sosial-demokrasi adalah partai-partai yang sering memerintah, bergantian dengan partai liberal dan konservatif. Pada awal abad ke-21, sembilan dari sepuluh partai yang berkuasa adalah partai sosialis dan sosial demokrat. Dengan perkataan lain, aspirasi sosialisme atau neo-sosialisme masih terus berperan dan berkembang, justru di alam demokrasi. Selain itu, timbul interpretasi baru tentang sosialisme, misalnya demokrasi ekonomi, ekonomi-humanis, doktrin sosial gereja, sistem pasar sosial, negara kesejahteraan (welfare state), gerakan buruh atau teologi pembebasan (liberation theology), dan di Indonesia sendiri ada konsep Ekonomi Kerakyatan. Dalam proses diskursus, gagasan, aspirasi, orientasi dan visi itu telah mengalami proses kelembagaan, sehingga menjadi bagian dari sistem politik dan ekonomi nasional atau internasional. Di Indonesia aspirasi sosialis telah melembaga dalam pasal-pasal ekonomi UUD 1945. Dalam kelembagaan PBB, aspirasi itu melembaga dalam International Labour Organization (ILO), Food and Agricultural Organization (FAO) dan United Nation Development Programme (UNDP) yang memiliki perspektif yang berbeda dengan World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) yang mengusung perspektif kapitalis-liberal itu.

Namun masalahnya adalah bahwa dalam perkembangannya pemikiran sosialisme telah mengalami trans-mutasi dan metamorfosis dalam interaksinya dengan ideologi-ideologi lainnya. Sebagaimana ideologi-ideologi lainnya, sosialisme berjumpa dengan ilmu pengetahuan. Akibatnya, dalam gagasan besar sosialisme timbul doktrin-doktrin baru yang lebih lanjut melahirkan pemikiran yang berbentuk kebijaksanaan publik di satu pihak dan gerakan-gerakan sosial di lain pihak. Di samping itu, karena sosialisme dan komunisme tidak memiliki cetak biru mengenai sistem ekonomi dan politik masa depan yang jelas, sebagaimana dikatakan oleh Marx sendiri, maka telah timbul gagasan-gagasan baru dan praktek sosialisme baru sejak Revolusi Oktober 1917 di Rusia, dan Revolusai Cina 1948. Komunisme sendiri mengambil tiga bentuk gerakan politik. Pertama, perjuangan kelas. Kedua, negara diktatur proletariat dalam suatu negara (socialism in one country). Dan ketiga, gerakan komunisme internasional menantang imperalisme global.

Di Indonesia sendiri lahir kritik mendasar terhadap praktik sosialisme di Rusia, atau komunisme, yang bertolak dari gagasan humanisme dan demokrasi. Kritik ini diartikulasikan hampir secara sendiri di Indonesia oleh Sjahrir pada dasawarsa 1930-an ketika ia memimpin gerakan Pendidikan Nasional Indonesia dan ikut mengasuh majalah Daulat Ra’jat yang dipimpin oleh Hatta. Karena pengaruhnya, maka dalam majalah itu termuat artikel-artikel mengenai gagasan sosialisme, baik yang ditulisnya sendiri maupun oleh orang lain. Ketika itu Partai Komunis Indonesia (PKI), yang didirikan pada tahun 1923, telah bubar dan tidak ada penggantinya, sehingga sosialisme masih merupakan suatu wacana yang belum melembaga dan terwujudkan ke dalam partai politik. Sementara itu Soekarno, dalam tulisannya, hanya menyebut Marxisme sebagai kekuatan politik menentang imperialisme bersama-sama dengan nasionalisme dan Islamisme, dan tidak menyebut komunisme atau sosialisme. Dengan demikian, ia tidak menyebut sosialisme maupun komunisme sebagai ideologi. Sjahrir sendiri, dalam rangka membedakan gagasan sosialisme dengan komunisme, dimana paham yang belakangan disebut sangat ia tentang, kemudian melahirkan istilah baru, yaitu “sosialisme kerakyatan” pada tahun 1931 sebagai ideologi Sosialisme Indonesia. Ia sendiri tidak menjelaskan secara spesifik-teoritis apa yang dimaksudkannya dengan Sosialisme Kerakyatan itu. Tapi ia menyebut dua dasar atau azas dari sosialisme, yaitu humanisme dan demokrasi. Humanisme sendiri adalah prinsip dan nilai yang menentang segala bentuk penindasan manusia atas manusia, seperti diktatur proletariat. Paham humanisme itu sendiri sebenarnya lebih dekat dengan paham liberalisme, sehingga wacana mengenai sosialisme dalam tulisan Sjahrir—dan juga Soedjatmoko—sering bersinggungan dengan liberalisme, atau membentuk keterkaitan (intersection) dengannya. Sedangkan demokrasi adalah suatu sistem kekuasaan atau pemerintahan dari-, oleh-, dan untuk-rakyat yang menganggap rakyat sebagai sumber kedaulatan. Ciri humanis itu kemudian diteruskan oleh Soedjatmoko. Dua bukunya, yang masing-masing berjudul “Pembangunan dan Kebebasan” dan “Dimensi Manusia dalam Pembangunan”, sangat menunjukkan pandangan sosialis-humanisnya.

Jadi, Sjahrir sendiri tidak menjelaskan Sosialisme Kerakyatan sebagai suatu sistem ekonomi yang berlawanan dengan Kapitalisme. Baru kemudian, ditinjau dari teori ekonomi, Sarbini Sumawinata mendefinisikan Ekonomi Kerakyatan, bukan sebagai ideologi ekonomi, melainkan sebagai suatu gagasan tentang cara, sifat dan tujuan pembangunan, dengan sasaran perbaikan nasib rakyat yang umumnya bermukim di perdesaan yang didorong oleh investasi negara secara besar-besaran yang berdampak industrialisasi, monetisasi dan penciptaan lapangan kerja massal. Konsep itu diwujudkan dalam politik ekonomi yang berujud pada strategi industrialisasi perdesaan yang menciptakan lapangan kerja massal guna memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Gagasan Sarbini ini adalah salah satu varian atau unsur dari sosialisme, khususnya Sosialisme Kerakyatan melalui jalur kebijaksanan publik.

Sementara itu di Barat sendiri, khususnya di Eropa, sosialisme telah berkembang menjadi banyak varian, doktrin dan gagasan maupun gerakan sosial. Pada awalnya sosialisme sudah terbagi menjadi dua dalam teori Engels, yaitu Sosialisme Utopia dan Sosialisme Ilmiah. Sosialisme Utopia adalah gagasan yang bersumber dari pemikiran visioner atau bahkan angan-angan orang, khususnya Charles Fourier (1772-1837), Joeseph Proudhon (1809-1865) dan Robert Owen (1771-1858) yang melahirkan gagasan mengenai sistem ekonomi koperasi. Dalam kenyataannya utopia itulah yang melahirkan proyek-proyek konkret yang segera dapat dilaksanakan. Sedangkan Sosialisme Ilmiah adalah pemikiran Marx-Engels, atau singkatnya Marxisme, yang merupakan teori perkembangan masyarakat yang bersifat dialektis materialis yang digerakkan oleh perjuangan kelas, antara kelas tertindas dan kelas penindas pemilik alat-alat produksi atau kapital. Akhir sejarah (end of history) dari perkembangan masyarakat dan perjuangan kelas itu adalah suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa negara (state-less) dan tanpa hak milik pribadi atas alat-alat produksi atau sumberdaya, khususnya kapital, yang disebut masyarakat komunis, yang sebenarnya juga sebuah utopia dari pemikiran Marx-Engels.

Dalam komentarnya terhadap komunisme, Sjafruddin Prawiranegara merasa terkesima terhadap kenyataan bahwa di Indonesia, bahkan kalangan pemimpin agama juga tertarik kepada ideologi komunisme, seperti misalnya Haji Misbach. Namun menurut pendapatnya, komunisme yang atheis itu tidak memiliki sambung rasa dengan masyarakat Indonesia yang umumnya religius. Karena itu maka ideologi yang sesuai dengan rakyat Indonesia adalah “Sosialisme Religius”. Pandangan Sjafruddin ini mirip dengan pandangan Sjahrir yang menggantikan komunisme dengan sosialisme. Tetapi jika Sjahrir mendasari sosialisme dengan humanisme dan demokrasi, maka Sjafruddin dengan religiusitas, sebagaimana juga Tjokroaminoto yang memilih sosialisme yang berdasarkan ajaran Islam. Gagasan Sosialisme Islam Tjokroaminoto tidak tergolong utopia karena modelnya ia lukiskan berdasarkan gambaran masyarakat Islam di zaman Nabi dan Khulafa’al Rasyidin.




[Sjafruddin Prawiranegara]

Pandangan itu mencerminkan kecenderungan revisionis dengan mencari dasar atau azas yang lebih fundamental dari sosialisme, dan sejauh itu yang ditemukan adalah monoteisme, humanisme dan demokrasi atau kerakyatan. Dalam gagasan kerakyatan Hatta terkandung pula gagasan kebangsaan. Dan dari ajaran agama, khususnya Islam, lahir prinsip keadilan sosial. Hatta, dalam makalah yang ditulisnya pada tahun 1961, menulis, bahwa Sosialisme Indonesia itu digali dari tiga sumber. Pertama Sosialisme Eropa, baik utopia maupun ilmiah; kedua dari ajaran agama, khususnya Islam; dan ketiga dari budaya masyarakat Indonesia. Dan dalam upaya untuk mencari esensi dan azas yang lebih fundamental dari sosialisme, ditemukan lima azas yang tersimpul dalam lima sila, atau Pancasila, yang tercantum dalam Mukadimah UUD 1945. Dalam penafsiran Pancasila Hatta dan Nurcholish Madjid, Pancasila pada esensinya adalah ideologi sosialisme religius, karena landasan moralnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, atau monoteisme, dan tujuannya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dari sinilah timbul penafsiran bahwa esensi dari Sosialisme Indonesia itu adalah keadilan sosial. Dan menurut Sri-Edi Swasono, Sosialisme Religius itu adalah gagasan Hatta berdasarkan penafsirannya tentang Pancasila. Sjafruddin Prawiranegara sendiri mengatakan bahwa Sosialisme Religius itu tergambar dalam konstitusi ekonomi UUD 1945. Karena itulah maka Emil Salim, seorang teknokrat utama Orde Baru, pada tahun 1965, dalam suatu tulisannya, menyebut sistem ekonomi Indonesia sebagai “Sosialisme Pancasila”, karena keidentikan Sosialisme Indonesia dengan Pancasila yang dirumuskan oleh para bapak pendiri bangsa Indonesia. Namun setelah peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G-30-S) 1965, pada tahun 1966, karena stigma sosialisme-komunis, Emil Salim menghilangkan kata “sosialis” menjadi Sistem Ekonomi Pancasila, yang esensinya adalah sama. Namun dalam penjelasnnya kemudian pada tahun 1979, dalam tulisannya di Majalah Prisma yang berjudul “Sistem Ekonomi Pancasila”, ia merumuskan sistem ekonomi Indonesia itu sebagai titik keseimbangan atau konvergensi antara sistem ekonomi kapitalis-liberal dengan sistem ekonomi sosialis. Dalam kaitan ini, Mubyarto tidak menyetujuinya. Ia berpandangan bahwa esensi dari Sistem Ekonomi Pancasila adalah Ekonomi Kerakyatan yang soko-gurunya adalah koperasi yang berasal dari gagasan sosialisme utopia. Sedangkan Sri-Edi Swasono berpendapat bahwa sistem ekonomi Indonesia itu adalah Demokrasi Ekonomi. Dari penafsirannya terhadap Bab XIV dari UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”, mengembangkan pemikiran mengenai “doktrin kesejahteraan sosial” Indonesia, yang merupakan salah satu unsur dari atau aspirasi Sosialisme.

Perkembangan itu menimbulkan tiga dampak. Pertama di bidang pemikiran, menimbulkan kekaburan mengenai ideologi sosialisme itu sendiri, walaupun maksudnya adalah memberikan interpretasi yang lebih spesifik, konkret atau esensial. Paling tidak, sosialisme telah menimbulkan multi-interpretasi, walaupun maksudnya memperluas dan memperkaya pemikiran. Kedua, menimbulkan berbagai bentuk gerakan sosial dan politik dan beragam kebijaksanaan publik. Ketiga, menimbulkan diaspora di antara pendukung politik sosialisme ke berbagai partai politik dan gerakan sosial yang tidak menampilkan ideologi sosialisme. Bahkan mereka membentuk lembaga-lembaga baru yang netral-ideologis, misalnya lembaga hak-hak asasi manusia. GERINDRA atau Partai SRI adalah lembaga diaspora sosialisme dalam spektrum Kiri-Kanan di masa Reformasi Indonesia.

Di Eropa sendiri, sosialisme berasal dari berbagai sumber dan berkembang ke dalam berbagai bentuk gerakan politik, ekonomi dan sosial yang membentuk beragam tradisi sosialisme dan ortodoksi. Pertama dari sumber pemikiran Sosialisme Utopia. Kedua dari sumber Sosialisme Ilmiah-Marxis. Ketiga, dari sumber doktrin sosial gereja. Keempat dari pemikiran Fabian Society. Kelima dari gagasan kesejahteraan sosial negara, yang berkembang menjadi paham negara kesejahteraan, karena pemrakarsanya adalah negara. Keenam adalah gerakan buruh sebagai kekuatan pengimbang pasar. Dan ketujuh adalah kombinasi antara Marxisme dengan doktrin sosial gereja Katolik yang melahirkan gerakan teologi pembebasan (Liberation Theology) Amerika Latin.

Dari Sosialisme Utopia yang berkembang adalah gerakan koperasi yang bersumber pada koperasi konsumsi di kalangan buruh di perkotaan, dan koperasi kredit-pertanian di kalangan petani di perdesaan. Dari dua koperasi itu lahir berbagai sektor koperasi, misalnya koperasi pekerja industri dan pertanian, koperasi asuransi, koperasi perumahan, koperasi kesehatan, koperasi transportasi dan koperasi serba usaha. Karena koperasi itu dibentuk dalam komunitas buruh, maka gerakan koperasi sering berkaitan dengan dan didirikan oleh gerakan buruh dalam sistem ekonomi liberal-kapitalis, dimana keduanya, meminjam istilah John Kenneth Galbrath, berperan sebagai kekuatan pengimbang (counter-vailing power) terhadap kekuatan pasar-kapitalis.

Gerakan sosialis ilmiah atau Marxisme mengambil tiga bentuk. Pertama gerakan perjuangan kelas melalui partai komunis di berbagai negara, dengan sasaran menumbangkan negara kapitalis. Kedua, memobilisasi gerakan komunis internasional (komintern) melawan imperialisme dan kapitalisme. Di luar gerakan komunis, berlangsung pula gerakan Sosialisme Internasional yang pernah diikuti oleh Hatta dan Sjahrir ketika keduanya sedang belajar di Negeri Belanda. Ketiga, setelah berhasil merebut kekuasaan membentuk negara berdasar diktatur proletariat dan mengembangkan sistem ekonomi perencanaan pusat (centrally economic planning) dalam tahap-tahap perencanaan lima tahun yang pernah dipraktekkan di Indonesia, di masa Orde Baru. Sosialisme itu lebih populer disebut komunisme atau Marxisme ortodoks.

Pola ketiga bersumber dari ajaran sosial gereja yang melahirkan Sosialisme Kristen yang berprinsip keadilan sosial, tetapi terutama diwujudkan dalam program-program karitas (charity) dan filantrofi perorangan dan perusahaan. Program-program sosial itu diwujudkan ke dalam program bantuan pangan dan uang tunai dari orang kaya kepada orang miskin secara langsung atau melalui gereja, terutama melalui program kesehatan dan pendidikan, dan pembentukan komunitas kooperatif. Doktrin sosial gereja itu juga menjadi sumber nilai dari gerakan koperasi, misalnya Credit Union (CU) yang sudah berkembang pada akhir abad ke-19, yang dimulai di Eropa dan berkembang pesat di AS dan Kanada.

Sosialisme Fabian lahir di Inggris yang menganut jalan evolusi dan mengubah sistem kapitalis dari dalam. Sosialisme Fabian mengambil tiga bentuk utama. Pertama, gerakan buruh yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan buruh industri. Kedua, melakukan perjuangan politik dalam sistem demokrasi melalui partai buruh, dengan tujuan memegang pemerintahan yang melaksanakan kebijaksanan publik yang pro-rakyat. Dan ketiga membentuk perusahaan negara yang mengelola industri berat, industri dasar, dan industri strategis yang membutuhkan modal yang besar.

Keempat adalah program kesejahteraan untuk mengatasi masalah kemiskinan yang dilakukan melalui pemberian subsidi, perbaikan kesejahateraan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan, dan sistem perlindungan dan jaminan sosial yang diprakarsai oleh negara. Program ini pernah dirintis oleh Robert Owen di Inggris dan Walikota Flammersfeld, Jerman, Friedrich Raiffeisen (1818-1888) yang tidak berhasil dan diganti dengan prinsip tolong menolong (solidarity) dan menolong diri sendiri (self-help) kaum miskin sendiri, tetapi dihidupkan kembali secara lebih luas melalui perundang-undangan oleh Perdana Menteri Prusia, Otto von Bismarck (1815-1898) pada belahan kedua abad ke-19. Tetapi program yang pro-rakyat itu sebenarnya dimaksudkan justru untuk melindungi sistem kapitalis yang melalui industrialisasi telah menimbulkan kemiskinan dan kemerosotan kesejahteraan, karena upah buruh murah yang dalam teori Marx dianggap sebagai eksploitasi itu. Serentak dengan berbagai program jaminan sosial oleh negara, pemerintahan Bismarck juga mengeluarkan UU Anti-Sosialis yang melarang gerakan buruh. Program inilah yang merupakan cikal bakal dari konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) yang dapat disebut sebagai varian Sosialisme, namun ironinya disertai dengan UU Anti-Sosialis.



Kelima adalah serikat buruh AS (Trade Union), yang merupakan gerakan buruh di luar partai buruh Inggris dan Australia, yang bertujuan untuk menciptakan posisi-tawar buruh kolektif (collective bargaining position) berhadapan dengan organisasi pengusaha di bawah Kamar Dagang dan Industri, yang oleh Galbraith disebut kekuatan penyeimbang dalam kapitalisme pasar bebas. Program serikat buruh itu adalah mempertahankan dan meningkatkan upah buruh tetapi sekaligus juga memperhatikan daya saing ekonomi AS dalam pasar global. Dengan haluan itu, maka perundingan antara buruh dan perusahaan dapat dipermudah dan menghindarkan diri dari demonstrasi buruh. Karena itu di AS jarang terdengar berita tentang demonstrasi atau pemogokan yang merugikan perusahaan dan perekonomian negara. Serikat Buruh AS tidak memiliki atau berafiliasi dengan partai politik, tetapi pada umumnya mereka mendukung Partai Demokrat yang memperjuangkan kebijaksanaan yang lebih pro-rakyat daripada pro-perusahaan. Tapi di AS sendiri ada juga partai komunis yang kecil tapi tidak ada kaitannya dengan gerakan buruh.

Keenam adalah varian sosialis yang merupakan sintesa antara doktrin sosial gereja Katolik dan Marxisme, tetapi ditolak oleh Gereja Katolik Roma sendiri yang dirumuskan oleh Gustavo Gutierrez (1928-) menjadi Teologi Pembebasan (Liberation Theology). Sebenarnya, Teologi Pembebasan yang anti-kapitalis itu sudah dirintis pemikir-pemikir Amerika Latin, seperti Paulo Freire, Ivan Illich dan para pemikir teori ketergantungan (Dependency Theory) yang intinya adalah pembebasan manusia dari tidak saja eksploitasi ekonomi dan penindasan politik, tetapi juga otoritarianisme ideologi dan keyakinan, serta dominasi negara-negara adidaya, seperti AS. Tapi dalam bentuknya yang konkret, Teologi Pembebasan itu melahirkan ideologi Neo-Sosialisme di beberapa negara Amerika Selatan, yang intinya melawan dominasi kapitalisme AS.

Semua bentuk, unsur, doktrin dan aspirasi sosialis yang beragam itu telah menyulitkan para pemikir sendiri untuk menemukan esensi ideologi sosialisme. Lebih-lebih telah lama timbul teori konvergensi yang menimbulkan persepsi mengenai sistem ekonomi campuran dan berbagai gagasan sintesis maupun eklektik yang mengaburkan hakikat sosialisme. Sungguhpun demikian, aspirasi sosialisme tetap hidup karena timbulnya dan makin kuatnya tantangan terhadap nilai keadilan dan kesejahteraan. Demikian pula metamorfosis sosialisme menjadi Sosial-Demokrasi atau Sosial Demokrasi Baru (New Social Democracy), yang disebut juga gagasan “Jalan ketiga” (The Third Way) dari Anthony Giddens, ikut memperkabur gagasan esensial sosialisme.

Sunggupun demikian, sosialisme belum menjadi arkeologi pemikiran, karena realitasnya masih terus bekerja dan berkembang, walaupun dalam banyak varian. Karena itu diperlukan sebuah kajian dekonstruktif terhadap sosialisme untuk menemukan bentuk-bentuk yang relevan. Beberapa bentuk di antaranya adalah, pertama, sistem perencanaan ekonomi, walaupun prosesnya perlu diubah menjadi dari bawah dan terdesentralisasi. Kedua, kebijaksanaan sosial atau kebijaksanan publik yang pro-rakyat. Ketiga, memerankan perusahaan negara di sektor-sektor penting yang membutuhkan modal besar, seperti industri dasar, industri berat, dan industri strategis, seperti pengelolaan pertambangan besar. Keempat, pengembangan ekonomi rakyat berbasis koperasi. Kelima, organisasi serikat buruh dan petani. Dan keenam, sistem jaminan dan perlindungan sosial yang komprehensif berbasis warga negara. Kesemuanya itu untuk Indonesia harus berbasis moral dan spiritual Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di Indonesia, partai sosialis, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Yudotomo, didirikan dan dibentuk oleh berbagai kelompok kiri yang lahir pada awal kemerdekaan, seperti kelompok Amir Sjarifudin yang berlatar belakang gereja Kristen Protestan tetapi beraspirasi komunisme, kelompok Yogya disekitar Wijono dan Muhammad Tauchid, kelompok eks-PNI Pendidikan bentukan Hatta, kelompok alumni mahasiswa Belanda di sekitar Abdul Madjid Djojodiningrat, dan kelompok Jakarta di sekitar Sjahrir. Tapi partai sosialis yang terbentuk itu akhirnya terpecah menjadi dua, antara Partai Rakyat Sosialis (PARAS) di bawah Sjahrir, dan Partai Sosialis Indonesia (PARSI). Setelah bergabung untuk mendukung Kabinet Sjahrir, kedua partai itu terpisah kembali. Di bawah kepemimpinan Amir Sjarifudin, dalam perkembangannya kemudian, PARSI bergabung ke dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), dan PARAS membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang di bawah kepemimpinan Sjahrir menolak komunisme dan lebih dekat kepada Partai Sosial Demokrat Eropa.



Dengan demikian, maka jika mau membangun kembali Partai Sosialis Indonesia, maka identitas ideologi itu mendekati Partai Sosial Demokrat yang sebenarnya mengadung lima varian. Pertama, Partai Sosial Demokrat Jerman (Social Democratic Party). Kedua, Partai Sosial Demokrat model Nordic yang merupakan kombinasi dari Negara Kesejahteraan dan sistem ekonomi kooperatif. Ketiga, adalah Partai Buruh (Labor Party) model Inggris dan Australia. Keempat, Partai Sosialis Prancis yang bersendikan perusahaan negara dan koperasi dalam sistem ekonomi liberal. Dan kelima adalah model Partai Demokrat AS, yang dikombinasi dengan model organisasi serikat buruh “national trade union”. Dalam model itu tidak ada keterkaitan struktural antara keduanya, walupun kaum buruh AS pada umumnya memilih Partai Demokrat.

Guna membangun kembali Partai Sosialis Indonesia, dewasa ini diperlukan beberapa langkah. Pertama, mengidentifikasai partai-partai kecil yang mengemban aspirasi sosialis dan memetakan visi misi dan tujuan partai yang mengandung unsur sosialis, memetakannya dan merekonstruksinya menjadi suatu visi, misi dan tujuan Partai Sosialis Indonesia. Atau melakukan kajian terhadap perkembangan pemikiran sosialis di Indonesia dan di dunia, guna mencari relevansinya gagasan sosialisme mutakhir dengan persoalan-persoalan Indonesia. Kedua, menyusun doktrin, strategi dan program sosialisme Indonesia. Ketiga membentuk kelompok epistemik dan kader-kader pimpinan partai. Dan keempat memilih seorang pemimpin yang transforming dalam menjalankan visi, misi dan tujuan partai.

Sebagaimana terdapat di Barat, partai-partai politik memiliki suatu yayasan (foundation) yang berfungsi sebagai pusat pemikiran (think-tank), seperti Konrad Adenauer Stiftung pada Partai Kristen Demokrat Jerman, Heritage Foundation pada Partai Republik AS, atau NOVIB Foundation pada Partai Buruh Belanda. Yayasan-yayasan itu adalah merupakan sayap non-govermental, atau Lembaga Swadaya Masyarakat sebagaimana di Indonesia. Karena itu PSI-Baru dapat didahului dengan pembentukan LSM atau gerakan sosial, seperti Gerakan Nasional Demokrat yang membentuk Partai Nasional Demokrat di Indonesia. Pendekatan itu sebenarnya telah terjadi di Indonesia, khususnya partai partai-partai politik berbasis organisasi sosial-keagamaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Sebenarnya PNI-Pendidikan dahulu lebih berperan sebagai LSM daripada partai politik, yang peranannya adalah membangun pemikiran dan pendidikan kader-kader pemimpin.

Dewasa ini, sudah ada usaha-usaha untuk membangun kembali PSI oleh generasi penerus eks-PSI yang dipimpin oleh Ibong Syahruzah, putera bungsu Djohan Sjahruzah yang mengambil jalur gerakan buruh. Kegiatan ini sudah dimulai dengan pendirian sebuah LSM yang diberi nama PIKIR (Pusat Inovasi dan Kemandirian Indonesia Raya) yang menerbitkan buletin SIKAP, yang dulu merupakan penerbitan PSI. Usaha ini didukung oleh kelompok eks-aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis (GEMSOS) Yogya, di sekitar Imam Yudotomo—putera Muhammad Tauchid yang merupakan sayap gerakan petani dari eks-PSI, dan Fauzi Rizal yang telah membentuk organisasi “Pergerakan Sosialis” di Yogya. Imam Yudotomo telah menulis dua buah buku, pertama mengenai perkembangan pemikiran sosialisme dan kedua mengenai sejarah PSI. Kedua buku itu bisa dijadikan sumber penyusunan kembali ideologi Sosialis Indonesia.

Langkah kedua adalah melakukan negosiasi untuk menggabungkan partai-partai politik yang mengemban aspirasi sosialis, misalnya GERINDRA, Partai Kongres dan PSI-Baru. Kesulitan dari rekonsiliasi ini adalah ketika membentuk pengurus partai, terutama untuk menunjuk siapa yang pantas dan tepat untuk menduduki posisi kepemimpinan, karena menurut realitas, kepemimpinan adalah sumber perpecahan di kalangan partai politik. Kebanyakan hanya “merasa bisa”, tetapi “tidak bisa merasa”.

Langkah ketiga adalah mencari dukungan masa melalui penggalangan organisasi buruh yang jumlahnya puluhan. Dewasa ini ada empat pola organisasi buruh. Pertama adalah organisasi buruh yang dibentuk oleh perusahaan yang bisa dikendalikan untuk kepentingan perusahaan. Kedua, adalah serikat buruh yang mengemban misi meningkatkan kesejahteraan buruh. Ketiga, adalah kelompok buruh yang menjadi kendaraan dari para pemimpin buruh untuk memperoleh posisi di pemerintahan atau partai politik. Dan keempat adalah gerakan buruh yang berorientasi pada pembentukan partai buruh yang ikut serta dalam pemilihan umum guna memperoleh posisi dalam lembaga legislatif maupun pemerintahan. Tidak mudah untuk menggalang berbagai pola organisasi buruh itu ke dalam “national trade union” seperti di AS yang independen dari partai politik atau model Partai Buruh (Labour Party) Inggris dan Australia. Namun prospek yang paling besar terdapat pada organisasi buruh modal trade union AS atau Singapura yang membentuk koperasi.

Masalah terberat adalah menemukan pemimpin transforming yang memahami ideologi sosial atau mampu menciptakan program-program sosialis dan memiliki kharisma yang membentuk followership, seperti Sjahrir atau Soekarno. Alternatifnya adalah membentuk komunitas epistemik yang bisa melahirkan seorang pemimpin yang transforming di antara para cendekiawan muda. Kepemimpinan itu umumnya bisa terbentuk melalui program-program aksi sosial (social action). Pemimpin bisa pula diseleksi dari para mantan pemimpin mahasiswa atau kalangan profesional muda atau wiraswasta sosial yang telah memiliki rekam jejak.

Jakarta, 27 Desember 2012

Sumber : http://ramchesmerdeka.blogspot.com/2013/01/mungkinkah-membangun-kembali-partai.html