Sosialisme Kerakyatan Sjahrir Antitesis Komunisme-Fasisme

Secara intelektual, Sjahrir dibesarkan dalam tradisi sosial-demokrasi Eropa. Ia percaya Marxisme, namun tidak percaya pada hukum-hukum sejarah yang niscaya pada satu tujuan tak terelakkan seperti yang diyakini kaum Komunis.

Ia menolak adanya partai yang menganggap diri tak pernah salah dan punya otoritas menafsirkan teori Marxisme. Sjahrir menampik koletivisme yang mengancam demokrasi, dan oleh karenanya ia menolak komunisme dan fasisme.

Secara sepintas, komunisme tak berbeda dengan fasisme. Keduanya sama-sama sistem yang totaliter dan tak menghargai kebebasan manusia.

Hani R. Hartoko, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dalam salah satu esainya menulis: komunisme adalah sistem totaliter yang mengindustrialisasi suatu masyarakat terbelakang; sedang fasisme adalah sistem totaliter untuk menyelesaikan konflik-konflik dalam masyarakat yang lebih maju industrinya.

Sjahrir sangat menolak fasisme. Ini terlihat dari pamfletnya yang terkenal, Perjuangan Kita. Ia menyesalkan, masuknya fasisme dalam jiwa bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan, sebagaimana tertulis dalam Perjuangan Kita: 'Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu, yaitu berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku dan tidak pernah diajar memimpin. Oleh karena itu, ia tidak berpengetahuan lain, cara ia mengadakan propaganda dan agitasi pada rakyat banyak itu seperti dilihatnya dan diajarnya dari Jepang, yaitu fasistis. Sangat menyedihkan keadaan jiwa pemuda kita'.

Menurut J.D. Legge, sejak dulu, Sjahrir telah menyadari kemungkinan-kemungkinan otoriterisme yang melekat pada sebagian besar pemikiran kaum nasionalis, yang memandang negara sebagai sesuatu yang memungkinkan pemenuhan diri individu.

Dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir menekankan perlunya revolusi kerakyatan. "Revolusi kita ini yang keluar berupa revolusi nasional, jika dipandang dari dalam berupa revolusi kerakyatan," tulisnya.

"Negara Republik Indonesia yang kita jadikan alat dalam revolusi rakyat kita harus kita jadikan alat perjuangan demokratis, dibersihkan dari sisa-sisa Jepang dan fasismenya."

Siapa yang memimpin revolusi ini?

Sebagaimana keyakinan Sjahrir soal partai kader, partai dibentuk oleh mereka yang terdidik, berdisiplin, berpengetahuan modern untuk membawa rakyat dalam revolusi.

Menarik bahwa Sjahrir lebih mengedepankan demokrasi ketimbang nasionalisme dalam sebuah revolusi. Dalam Perjuangan Kita, ia menulis: "… revolusi nasional hanya merupakan hasil dari revolusi-demorasi kita. Bukan nasionalisme harus nomor satu akan tetapi demokrasi, meskipun kelihatannya lebih gampang kalau orang banyak dihasut membenci orang asing saja."

Pemikiran Sjahrir dalam Perjuangan Kita, terutama mengenai kewaspadaan terhadap fasisme, masih sangat relevan untuk Indonesia saat ini. Belajar dari bangkitnya rezim-rezim fasis dan ultranasionalis di seluruh Dunia, semua berawal dari situasi negara yang tak stabil. Rakyat merasa tidak aman, miskin, dan pemerintah cenderung tak berani bersikap.

Situasi seperti ini menyediakan potensi munculnya orang kuat yang menggunakan doktrin nasionalisme untuk membangkitkan pemerintahan totaliter. Maka demokrasi harus dipelihara.

Sosialisme Kerakyatan

Rosihan Anwar mengatakan, salah satu sumbangsih Sjahrir untuk Indonesia adalah ideologi dan konsep ekonomi sosialisme kerakyatan. Ini bentuk lain dari sosialisme demokrasi yang diadaptasi dalam iklim sosial-politik Indonesia.

Sjahrir tidak percaya perjuangan kelas masih relevan untuk meruntuhkan kapitalisme. Sosialisme justru bisa dicapai dengan jalan demokratis dan bukannya revolusi kekerasan.

Kata kunci sosialisme kerakyatan adalah kemanusiaan. Sebagaimana dikutip Rosihan dari dasar-dasar dan pandangan politik Partai Sosialis Indonesia, "Sosialisme yang kita maksudkan adalah sosialisme yang berdasarkan atas kerakyatan, yaitu sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang…

Sosialisme semestinya tidaklah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya." 'Kemanusiaan' pula yang membuat Sjahrir tak sejalan dengan kaum Komunis yang dijiwai ajaran dogmatis Stalin dan Lenin.

"Mereka menghancurkan, dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia," katanya dalam pidato di Kongres Sosialis Asia II,di Bombay, India, 6 November 1956.

Namun Muhammad Chatib Basri, ekonom Universitas Indonesia yang propasar, mengkritik kontradiksi Sjahrir. Di satu sisi, Sjahrir bicara soal kemanusiaan dan menolak kolektivisme ala komunis. Ia tak percaya mekanisme pasar. Di sisi lain, Sjahrir ingin adanya kebijakan negara yang menjaga kebebasan individu. Padahal, negara berpotensi menghancurkan kebebasan individu dan kemanusiaan.

Mengutip Kenneth Arrow, Basri mengingatkan: preferensi sosial tak selamanya sejalan dengan preferensi individu. Mayoritas berpotensi menginjak minoritas. Sebaliknya, tak ada jaminan juga, preferensi pemerintah yang terdiri atas segelintir orang akan sejalan dengan preferensi publik.

Apa yang bisa kita ambil dari sosialisme kerakyatan Sjahrir ini? Pada dasarnya, semangat pemerintah untuk menyejahterakan rakyat haruslah menjunjung tinggi asas kemanusiaan seseorang.

Program-program pemerintah tak boleh mengabaikan penghargaan terhadap rasa kemanusiaan, walaupun program itu mengatasnamakan kesejahteraan. Pemberian bantuan langsung tunai secara serampangan jelas mengabaikan penghargaan terhadap rasa kemanusiaan, karena menganggap manusia tak ubahnya pengemis dan menciptakan mentalitas pengemis.

Seperti kata Sjahrir, sebuah program pembangunan dan pemerintah haruslah penyempurnaan cita-cita kerakyatan, salah satunya kedewasaan kemanusiaan. [air]

Muchlis Hasyim, Pendiri Inilah Group
Sumber : Inilah Koran