160 Tahun Tulisan Marx: Tesis-tesis tentang Feurbach

160 Tahun Tulisan Marx: Tesis-tesis tentang Feurbach



Sebelas Tesis

Tahun 1845, tiga tahun sebelum diumumkannya Manifes Partai Komunis, Marx menulis 11 Tesis Tentang Feurbach. Tulisan ini mempunyai arti historis dalam perkembangan filsafat materialisme. Dengan tesis-tesis ini, Marx mengkritik dan mengembangkan materialisme Feurbach. Justru dewasa ini, menguasai dan menggunakan materialisme—yaitu cara berpikir yang ilmiah—adalah cara untuk mengenal dan memahami kenyataan, membedakan yang benar dan yang salah, melawan kepalsuan, melawan pembodohan, melawan jahiliah, melawan keedanan.

Dengan mengkritik Feurbach, Marx mengubah materialisme yang pasif, yang kontemplatif, yang bersifat renungan, yang hanya untuk tafakur, menjadi materialisme militan, menjadi alat berpikir yang aktif. Menjadikannya senjata ampuh perjuangan klas, yaitu materialisme dialektis. Itu tidak hanya punya arti teoretis, tapi bahkan punya arti praktis, yaitu membimbing pikiran manusia untuk bertindak maju. Dalam tesis-tesisnya itu Marx mengkritik Feurbach dengan menyatakan bahwa “kekurangan utama materialisme yang ada sampai sekarang—termasuk materialisme Feurbach—adalah bahwa benda, kenyataan, kesan pancaindera dipahami hanya dalam bentuk objek atau pandangan, hasil renungan, tetapi tidak sebagai aktivitas alat perasa panca-indera manusia, yaitu praktik....” Dengan mengangkat tinggi arti praktik, dalam tesis itu Marx menyatakan bahwa Feurbach “tidak mencengkram arti penting aktivitas yang ‘revolusioner’, aktivitas yang ‘praktis-kritis’ ”. Dalam tesis-tesis tersebut Marx juga menulis bahwa “masalah apakah kebenaran objektif terdapat pada pikiran manusia adalah bukan satu masalah teori, tetapi satu masalah praktik. Dalam praktiklah orang harus membuktikan kebenaran pikirannya, yaitu bahwa pikirannya adalah kenyataan dan kekuatan; adalah bersifat duniawi”. Di samping itu Marx menulis bahwa “terjadinya secara bersamaan perubahan lingkungan dan perubahan aktivitas manusia hanyalah dapat dipahami secara rasional sebagai praktik revolusioner.” Selanjutnya Marx menulis bahwa “Feurbach bertolak dari kenyataan swa-alienasi keagamaan, yaitu dari terbagi duanya dunia menjadi dunia keagamaan, dunia khayal dan dunia nyata. Dia berkarya tentang meleburnya dunia keagamaan ke dalam dasarnya yang sekular. Dia tidak mencatat kenyataan bahwa sesudah karyanya selesai, masalah yang utama masih harus dikerjakan, yaitu kenyataan bahwa dasar sekular memisahkan dirinya dari dirinya sendiri dan membawa dirinya ke dalam awan sebagai kerajaan yang bebas, hanya dapat dijelaskan dengan swa-alienasi dan swa-berkontradiksi dari dasar sekular ini. Yang terakhir ini harus difahami dalam kontradiksinya dan kemudian direvolusionerkan dalam praktik dengan pelenyapan kontradiksi. Jadi misalnya, begitu keluarga duniawi ditemukan sebagai rahasia dari seluruh keluarga suci, maka keluarga duniawi itu harus dikritik dalam teori dan direvolusionerkan dalam praktik.” Lagi-lagi dengan mengangkat arti penting praktik, selanjutnya, Marx menulis, bahwa “Tidak puas dengan pemikiran abstrak, Feurbach berpaling pada renungan yang dapat dirasakan; tetapi dia tidak menganggap sesuatunya yang dapat dirasakan itu sebagai hal praktis, sebagai aktivitas perasaan manusia”. Lebih lanjut Marx menulis, bahwa “Pada akhirnya, Feurbach tidak melihat bahwa ‘perasaan keagamaan’ itu sendiri adalah produk kemasyarakatan dan bahwa perseorangan yang abstrak, yang dia analisis terdapat pada kenyataan bentuk masyarakat yang khusus”. Lagi-lagi dengan mengangkat arti penting praktik, Marx menulis, bahwa “Penghidupan kemasyarakatan pada pokoknya adalah praktis. Semua keajaiban yang menyesatkan teori menjadi mistisisme mendapatkan pemecahan yang rasional dalam praktik kemanusiaan dan dalam praktik yang dapat dipahami”. Seterusnya Marx menulis bahwa “Puncak yang tercapai oleh materialisme kontemplatif (materialisme renungan, materialisme tafakur), yaitu materialisme yang tidak memahami bahwa perasaan adalah aktivitas praktik, adalah renungan seorang individu dalam ‘masyarakat madani’.” Selanjutnya ditulis Marx bahwa “Titik tolak materialisme kuno adalah masyarakat ‘madani’, titik tolak materrialisme baru adalah masyarakat manusia yang baru, atau kemanusiaan yang dimasyarakatkan”. Paling akhir, dalam tesis ke-sebelas, Marx menulis bahwa “Para filosof hanyalah menginterpretasi dunia dengan berbagai caranya, akan tetapi masalahnya adalah mengubah dunia itu”. Tesis terakhir ini mempunyai arti menjungkir-balikkan tugas filsafat. Menjungkir-balikkan materialisme kontemplatif, materialisme renungan, materialisme tafakur menjadi materialisme militan untuk mengubah dunia.

Mengubah Dunia! Tiga tahun kemudian, tahun 1848, Marx dan Engels memaparkan gagasan mengubah dunia itu dalam Manifes Partai Komunis. Dunia ketika itu sedang dikuasai oleh feodalisme dan burjuasi pemilik kapital yang baru berkembang. Dunia dengan penghisapan feodal yang sudah mencapai puncaknya, dan penghisapan kapital yang sedang berkembang pesat, akan diubah menjadi dunia tanpa penghisapan oleh manusia atas manusia. Sungguh satu gagasan raksasa. Ini berarti dilenyapkannya penghisapan feodal dan penghisapan kapital. Disinilah arti historis Tesis-Tesis Tentang Feurbach yang ditulis Marx 160 tahun yang lalu. Maka selanjutnya, materialisme pun berkembang menjadi materialisme historis, yaitu penerapan materialisme dialektis dalam ilmu kemasyarakatan. Inilah alat berpikir, senjata perjuangan bagi manusia untuk mengubah dunia.

Tentang Feurbach

Ludwig Feurbach (1804-1872) berjasa mengembangkan tradisi revolusioner materialisme abad ke-XVII dan abad ke-XVIII. Yang dimaksudkan dengan filsafat antropologis oleh Feurbach adalah filsafat yang mengutamakan manusia. Prinsip antropologis dinyatakan oleh Feurbach dengan mengutamakan kesatuan alam kemanusiaan. Menurut Feurbach manusia adalah produk alam dan bagian dari alam. Alam, materi adalah satu-satunya substansi, dan adalah substansi sejati, yang berada di luar manusia, dan yang menciptakan manusia. Feurbach berpendapat, bahwa filsafat baru harus mengubah manusia serta alam sebagai basis manusia, menjadi sasaran satu-satunya yang universal dan paling tinggi dalam filsafat. Karena itu, antropologi, termasuk fisiologi, baginya menjadi ilmu yang universal. Feurbach memandang masalah ruang dan waktu secara materialis. Ruang dan waktu adalah syarat-syarat dasar, adalah bentuk-bentuk dan perwujudan substansi. Materi bukan hanya ada, tetapi juga bergerak dan berkembang. Tanpa ruang dan waktu, maka gerak dan perkembangan adalah tidak mungkin. Tanpa ruang dan waktu tak mungkin ada materi.

Disamping itu, dinyatakannya bahwa alam itu kongkrit, bersifat material, dapat diraba dan dirasa. Materi tak dapat dibasmi, selalu ada, akan tetap ada, yaitu adalah abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, adalah tak berhingga. Dengan mengikuti Spinoza, Feurbach menyatakan, bahwa alam adalah sebab-musabab itu sendiri. Materi adalah primer, ide adalah sekunder. Pandangan ini adalah bertolak belakang dengan pandangan Hegel yang menjadikan ide absolut sebagai yang utama, sebagai sumber segala-galanya. Dengan demikian, mengenai masalah terpokok dalam filsafat, yaitu masalah hubungan antara ide dan materi, dipecahkan oleh Feurbach secara materialis, ..... dengan mengutamakan materi.

Menurut Feurbach, alam adalah banyak segi. Manusia mengenalnya liwat syaraf perasa, hingga mengenal air, api, listrik, sinar, magnetisme, tumbuh-tumbuhan, dunia dan seterusnya. Itulah sebahagian dari substansi dengan berbagai kwalitas. Substansi tanpa kwalitas adalah omong kosong. Kwalitas tak terpisahkan dari substansi sesuatunya. Alam, materi adalah satu-satunya substansi dan adalah hakekat substansi yang terdapat di luar manusia, dan yang melahirkan manusia. Satu-satunya dasar manusia adalah jasmani. Ambillah dari manusia jasmaninya, akan terambil jiwanya, terambil semangatnya. Jasmani adalah bahagian dari dunia objektif dan adanya jiwa adalah tergantung pada jasmani. Ini adalah pandangan monisme antropologis, yang berlawanan dengan pandangan dualisme. Pandangan dualisme mensetarakan jasmani dan jiwa – jasmani adalah dari alam material, dan jiwa adalah dari alam spiritual. Pandangan monisme antropologis dari Feurbach ini adalah pandangan materialis.

Berakarnya pandangan Feurbach pada manusia ditunjukkan oleh tulisannya: “Pandang dan renungkanlah alam, pandang dan renungkanlah manusia! Di sini, di depan matamu terdapat keajaiban filsafat !” Lebih lanjut dinyatakannya, bahwa dasar materialismenya adalah manusia. Kebenaran bukanlah materialisme atau idealisme, tetapi adalah antropologi”. Karena itu, materialisme Feurbach disebut materialisme antropologis, materialisme manusiawi.

Feurbach membawa maju ajaran materialis dalam teori pengenalan, dalam epistemologi. Feurbach menyatakan, bahwa “perasaan saya adalah subjektif, tetapi dasarnya, sebab-musababnya adalah objektif”. Sejarah pengenalan menunjukkan pada kaum materialis Jerman, bahwa batas-batas pengenalan manusia selalu bertambah luas; bahwa dalam perkembangannya, akal manusia memungkinkan kita untuk menemukan rahasia-rahasia alam. Kaum agnostisis berpendapat, bahwa alam terbentuk sedemikian rupa hingga tak mungkin manusia mengenal sesungguhnya alam itu. Berlawanan dengan kaum agnostisis, Feurbach menyatakan, bahwa “apa yang belum kita ketahui sekarang, akan diketahui oleh anak-cucu kita di kemudian hari”. Dengan demikian, Feurbach secara tajam menentang agnostisisme Kant.

Feurbach menjadikan perasaan sebagai titik-tolak pengenalan. Menurut dia, “adalah sepenuhnya tepat, bahwa empirisisme memandang sumber-sumber ide-ide kita pada perasaan”. “Saya berpikir dengan bantuan perasaan, terutama dengan bantuan pandangan, -- saya mendasarkan dalil, kesimpulan saya pada sesuatunya yang material, yang kita tangkap (serap) liwat alat perasa bahagian luar. Bukannya benda berasal dari pikiran, tetapi pikiran berasal dari benda. Dan benda pun adalah tak lain dan tak bukan apa yang terdapat di luar kepala saya”. Maka materi, alam bukan saja adalah dasar dari jiwa, tetapi bahkan dasar prinsip dari semua pengetahuan dari filsafat. Benda, materi adalah tak lain dan tak bukan sesuatu yang secara nyata ada di luar kita, sedangkan pikiran mengenai benda itu adalah pencerminan (bayangannya) dalam kepala manusia.

Feurbach membuktikan, bahwa jika tidak ada materi yang terdapat secara objektif di luar kita, maka syaraf perasa kita tidak akan tersentuh. Oleh karena itu, materi, alam, -- bukan hanya adalah basis dari jiwa, tapi juga dasar permulaan dari semua pengenalan dan filsafat. Menurut Feurbach, perasaan bukanlah memisahkan manusia dari dunia luar, tetapi menghubungkannya, karena perasaan adalah hasil pengaruh benda-benda luar terhadap alat perasa manusia. Pengenalan ilmiah dimulai dengan pengamatan dan cita-rasa. Dia menyatakan, bahwa “tak ada perasaan tanpa kepala, tanpa akal dan pemikiran” Manusia harus bertolak dari “perasaan sebagai sesuatunya yang paling sederhana, yang jelas-jemelas dan tak disangsikan lagi”, kemudian memasuki masalah “objek-objek yang rumit dan jauh dari mata”. Menurut Feurbach, peranan akal adalah menghubungkan pengenalan cita-rasa dari pengalaman yang sepotong-sepotong dengan bahagian lain dari kenyataan di luar pengalaman. Sebagaimana halnya hubungan antara kata-kata menjadi pikiran, demikian pula data-data yang ditangkap perasaan hanya dapat difahami jika ia dihubungkan, disusun dengan bantuan akal. “Dengan perasaan, kita membaca bukunya alam, tetapi memahaminya bukanlah dengan perasaan”. Dengan bantuan akal, kita menghubungkan sebab dan akibat, sebab-sebab dan tindak tanduk antara gejala-gejala, hanyalah karena mereka “menurut kenyataannya, secara materiil, secara kenyataan terdapat tepat dalam hubungan sedemikian antara sesamanya”. Feurbach juga menyatakan, bahwa “hanya pikiran yang riil, yang objektif yang memastikan dan membikin tepat renungan perasaan, hanyalah dalam keadaan yang demikian, pemikiran adalah pemikiran objektif dan kebenaran”.

Feurbach membuang dualisme antara renungan cita-rasa dan pertimbangan akal, yang merupakan ciri dari epistemologi Kant. Menurut Feurbach, pertimbangan akal, bukanlah sumber yang berdiri sendiri dari pengenalan. Semua prinsip dan kategori-kategorinya bukanlah ditimbanya dari dirinya sendiri tetapi dari perasaan berdasarkan pengalaman. Kant mencari ukuran kebenaran pada pemikiran yang murni. Sebaliknya, Feurbach menemukan kebenaran dalam kehidupan, dalam kenyataan, dalam praktik. “Sesuatunya yang disangsikan yang tak dapat selesai dan dikerjakan oleh teori, akan diselesaikan oleh praktik”.

Tetapi Feurbach tidak sampai memahami praktik menurut pemahaman materialis tentang praktik kemasyarakatan manusia. Hubungan antara sesama manusia hanya difahami Feurbach sebagai hubungan dalam “gens”, yaitu hubungan kemasyarakatan yang bersumber pada hubungan keluarga, hubungan fisiologis. Gens, puak, suku adalah organisasi kemasyarakatan dasar dalam susunan masyarakat komune-primitif, organisasi yang merupakan kesatuan dari pada keluarga-keluarga seketurunan. Asal mulanya diorganisasi secara keibuan, -- secara matriarchaat, kemudian berubah menjadi patriarchaat dalam proses berkembangnya masyarakat komune-primitif. Gens memiliki seorang kepala, mendiami suatu daerah tertentu dan mempunyai nama tertentu.

Feurbach memahami praktik manusia sebagai “makan dan minum”, bukanlah praktik berproduksi, bukanlah tindakan-tindakan revolusioner. Dalam pemahaman Feurbach tentang praktik terkandung antropologisme dan naturalisme. Ukuran kebenaran dia lihat dalam “gens”. Dia menyatakan, bahwa “jika saya berpikir sesuai dengan patokan-patokan gens, berarti saya adalah berpikir sebagaimana manusia umumnya. .... Kebenaran adalah apa yang sesuai dengan hakekat gens, palsu adalah apa yang bertentangan dengan itu. Hukum lain dari kebenaran tidak ada” Demikianlah, Feurbach tidak bisa melangkah lebih jauh dari pemahamannya yang abstrak dan pasif tentang praktik kemasyarakatan manusia.

Dalam seluruh karyanya, pada pokoknya Feurbach menempatkan masalah agama dalam pusat perhatiannya. Dia menulis, bahwa dalam semua karyanya, dia tidak pernah “melepaskan masalah agama dan teologi dari pandangan”, bahkan menjadikan “agama dan teologi sebagai tema pokok pikiran serta kehidupannya.” Feurbach berusaha mengangkat obor akal, supaya manusia akhirnya dapat mengubah permainan kekuatan-kekuatan yang fantastis, yang dipergunakan penguasa agama untuk menindas manusia. Pikirannya selalu terlibat dalam hal, supaya mengubah manusia dari serba percaya menjadi manusia yang berpikir, dari serba hidup sembahyang menjadi kaum pekerja.

Menurut Feurbach, alam, kenyataan hanyalah memberikan materi, kebendaan bagi adanya ide tentang Tuhan; tetapi bentuk yang diberikan oleh benda itu menjadi hakekat Tuhan, adalah dilahirkan oleh fantasi, oleh daya pembayangan. Oleh karena itu, fantasi, daya pembayangan adalah “sebab-sebab teoretis atau adalah sumber dari agama”. “Manusia adalah permulaan, adalah bahagian tengah dan adalah akhir dari agama”.

Feurbach mencatat bahwa peranan alam dalam hidup manusia adalah sangat besar. Alam adalah sebab-musabab, adalah dasar, sumber eksistensi manusia. Alam mengharuskan lahir dan hidupnya manusia. Manusia – bahagian dari alam, dan hanya bisa terdapat dalam alam, adalah berkat alam. Alam adalah ibu kandung manusia. Feurbach menyatakan, bahwa arti alam yang demikian bagi manusia adalah menjadi sebab, hingga alam menjadi objek pertama dari agama, menjadi Tuhan pertama dari manusia. Agama tertua dari manusia – adalah agama yang memuja alam, agama “alamiah”. Bagi manusia-manusia purba, hanyalah alam yang menjadi subjek pemujaan keagamaan. Agama zaman purbakala menunjukkan manusia dan satunya manusia dengan alam, menunjukkan ketergantungan manusia pada alam. Perasaan ketergantungan adalah dasar dari agama. Manusia semenjak kelahirannya dalam sejarah, selalu dalam syarat-syarat tertentu berada dalam ketergantungan bukan dari alam secara umum, tetapi dari alam tertentu, dari alam negerinya, dan tempat kelahirannya. Manusia-manusia purba, oleh karena itu menjadikan alam kongkrit yang mengitarinya sebagai objek agamanya. Manusia-manusia purba memuja dalam agama mereka syarat-syarat alam dan gejala-gejala alam dari mana kehidupan mereka tergantung. Maka oleh karena itu, Feurbach menyatakan, bahwa menurut kenyataan sejarah, manusia-manusia purba memuja sungai, gunung dan laut tanah-airnya. Orang Mesir purbakala berpendapat, bahwa asal-usul semua kehidupan, termasuk manusia adalah sungai Nil. Rakyat Yunani purba percaya, bahwa semua sumber sungai, danau, laut terdapat di samudera raya. Rakyat Persia purba menganggap, bahwa semua gunung berasal dari gunung Alborda. Manusia Meksiko purba memuja Tuhan dari garam. Demikianlah, bagi manusia-manusia purba, Tuhan mereka berasal dari alam sekitar atau iklim yang mengitarinya. Feurbach menyatakan, bahwa manusia yang masih kurang pengalaman dan kurang pendidikan bahkan menganggap negerinya itulah dunia, atau pusat bumi.

Feurbach menyatakan, bahwa bagi kaum budak, tanpa tuan budak, dalam masyarakat tidak ada tata tertib, dan tanpa kaisar tidak ada ketenteraman dalam negeri. Oleh karena itu mereka tunduk dan menyembah tuan-budak serta kaisar. Feurbach menarik kesimpulan, bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusia yang hidup dalam masyarakat menciptakan Tuhannya sendiri.

Pandangan-pandangan Feurbach mempunyai arti besar dalam hal memasukkan pengertian antropologis manusia dalam ajaran tentang moral. Feurbach mencatat, bahwa semua usaha manusia adalah menuju kebahagiaan. Bahagia atau sengsara, sukacita atau duka nestapa diketahui liwat perasaan. Bagi Feurbach, perasaan adalah syarat pertama bagi moral. Di mana tidak ada perasaan, di sana tidak ada perbedaan bahagia dan sengsara, antara kebaikan dan kejelekan, antara suka dan duka, di sana tidak ada moral. Ajaran tentang moral merupakan puncak ajaran Feurbach tentang masyarakat. Dalam hal inilah terletak keterbatasan filsafat Feurbach. Prinsip dasar moral dari Feurbach adalah kecenderungan hati manusia terhadap sesamanya, yang dimiliki sebagai sifat alamiah dari manusia, yaitu sifat menginginkan kebahagiaan. Menurut Feurbach, supaya manusia jadi bahagia, mereka harus saling mencintai. Kata ‘cinta’ bagi Feurbach adalah azimat sakti, bahan ramuan mujarab mengobati semua penyakit. Feurbach mengajarkan cinta yang menyeluruh dalam masyarakat yang terbagi dalam berbagai klas yang antagonistik. Cinta sesama manusia adalah puncak ajaran moral Feurbach. Di samping itu, dalam berbagai kesempatan secara tepat Feurbach menulis, bahwa “orang di dalam istana berpikiran lain daripada yang di dalam gubuk”. Tetapi dia salah menilai orang yang melarat dengan menyatakan lebih lanjut, bahwa “jika karena kelaparan, karena kesengsaraan, orang tidak mempunyai isi di dalam tubuhnya, akan begitu juga dia tidak mempunyai isi untuk moral di dalam kepalanya, di dalam jiwanya maupun hatinya”. Moral Feurbach adalah moral burjuasi, yang mengajarkan perdamaian klas, yang menutup-nutupi kontradiksi kepentingan-kepentingan klas, yang memadamkan dan menegasi perjuangan klas. Karena itu, materialisme Feurbach adalah materialisme yang tidak berjuang, materialisme yang pasif. Inilah yang disebut materialisme kontemplatif.

Demikianlah materialisme Feurbach, materialisme antropologis dan kontemplatif, yang mengabaikan praktik kemasyarakatan manusia, yang menentang agama dan berpaling pada ‘cinta’ sesama manusia dan lari dari perjuangan klas, yang mengkritik idealisme Hegel, menentang agnostisisme Kant serta yang tidak memahami arti penting perjuangan politik. Walaupun pandangannya materialis, Feurbach tidak menggunakan metodologi dialektika, tidak menggunakan hukum pokok dialektika—kesatuan dan perjuangan dari segi-segi yang berlawanan. Materialisme Feurbach adalah materialisme metafisis. Keterbatasan materialisme Feurbach tidaklah mengurangi akan arti historisnya. Materialisme Feurbach memberikan pengaruh yang mendalam atas Marx dan Engels pada masa pembentukan pandangan-pandangan filsafatnya. Marx dan Engels mengambil dari materialisme Feurbach hanya “inti pokoknya”, mengembangkannya lebih lanjut menjadi filsafat ilmiah materialisme dialektis dan membuang lapisannya yang bersifat idealis dan metafisis.

Perkembangan dan Kemenangan Materialisme

Dengan sebelas Tesis Marx tentang Feurbach, materialisme jadi berkembang. Lebih setengah abad sesudah Marx menulis tesis itu, tahun 1908, Lenin menulis karya filsafat: Materialisme Dan Empiriokritisisme. Karya Lenin ini lebih mengembangkan lagi materialisme. Lebih diperdalam pengertian tentang kenyataan dan pikiran, tentang hubungan materi dan pikiran, tentang perasaan, tentang ruang dan waktu, tentang kebenaran relatif dan kebenaran absolut, tentang kausalitas. Dinyatakan, bahwa “materi adalah kategori filsafat untuk menamakan kenyataan objektif.”. Lenin menulis, bahwa “pemecahan masalah filsafat secara materialis hanyalah mungkin atas dasar titik tolak dialektis terhadap perasaan”. “Sifat perasaan yang dialektis adalah kesatuan subjektif dan objektif, hakekatnya ..... perasaan adalah gambaran (rupa, wajah) subjektif dari dunia objektif” Dalam karyanya ini, Lenin juga mengungkap masalah pemahaman tentang kebenaran. Materialisme dialektis mengakui adanya kebenaran absolut. “Pengakuan akan kebenaran objektif yang tidak tergantung pada manusia dan kemanusiaan, berarti mengakui kebenaran absolut” Tapi pengakuan akan kebenaran absolut terjadi (terwujud) tidaklah secara sekali gus, tidak segera lengkap menyeluruh, bukannya tidak bersyarat; tetapi setapak demi setapak, setingkat demi setingkat, berangsur-angsur, secara relatif, yaitu kebenaran absolut tampil dalam bentuk kebenaran relatif. Walaupun demikian, meskipun kebenaran itu relatif, tak terelakkan didalamnya ada unsur keabsolutan. Bagi materialisme dialektis tidak terdapat batas yang tak terseberangi antara kebenaran relatif dan kebenaran absolut. Lenin meneliti saling hubungan antara kebenaran relatif dengan kebenaran absolut. Lenin merumuskan salah satu hukum dasar ajaran tentang kebenaran: kebenaran absolut terbentuk dari jumlah himpunan kebenaran-kebenaran relatif; setiap tingkat dalam perkembangan pengetahuan bertambah butir baru pada jumlah kebenaran absolut itu. Lenin memaparkan, bahwa materialisme sebelum Marx adalah metafisis atau relativisme. Materialisme metafisis tidak memahami saling hubungan antara keabsolutan dan kerelatifan. Relativisme mempertentangkan kebenaran relatif dengan kebenaran absolut. Lenin mengungkap masalah gerak yang tak terpisahkan dari materi. Materi secara keharusan terdapat dalam semua gerak. Gerak materi tak mungkin terdapat tanpa ruang dan waktu. Siapa yang mengakui eksistensi realitas objektif, maka tak bisa lain harus mengakui juga realitas objektif dari waktu dan ruang. Lenin mengungkap pemahaman filosofis hakekat ruang dan waktu, dan tafsiran filosofis tentang kausalitas (pertalian antara sebab dan akibat). Penyangkalan (penegasian) atas realitas objektif ruang dan waktu, tak bisa lain akan menghasilkan penyelewengan dari pendirian materialisme dalam masalah kausalitas. Demikian pula pemahaman yang tidak benar, yang subjektif tentang kausalitas akan menghasilkan kesimpulan yang tidak benar, yang idealistis mengenai masalah dasar filsafat. Materialisme Dan Empiriokritisisme karya Lenin ini memperkaya ajaran Marxis tentang peranan praktik dalam teori pengenalan (epistemologi). Dikemukakan masalah hubungan tak terpisahkannya teori pengenalan materialisme dialektis dengan praktik. Digaris-bawahinya bahwa praktik haruslah yang pertama dan merupakan titik-pandangan dasar dari teori pengenalan, bahwa kriteria praktik haruslah termasuk kedalam dasar teori pengenalan.

Lebih seperempat abad sesudah Lenin menulis Materialisme Dan Empiriokritisisme, tahun 1937, pemahaman tentang pentingnya arti praktik, arti mencari kebenaran dari kenyataan itu dijabarkan secara rinci oleh Mao Zedong dalam karya filsafatnya TENTANG PRAKTIK. Dengan populer Mao Zedong memaparkan tentang proses perkembangan pengetahuan manusia, mulai dari adanya kontak dengan hal-ihwal dunia luar, melakukan sintese dari bahan-bahan tanggapan pancaindera, sampai membentuk konsepsi. Mao Zedong menulis, “pengetahuan mulai dari pengalaman”. Diajukannya bahwa filsafat Marxis materialisme dialektis mempunyai dua ciri yang paling menonjol. Yang satu ialah watak klasnya – ia secara terang-terangan mengabdi kepada proletariat. Yang lainnya ialah sifat kepraktikannya – ia menekankan ketergantung teori pada praktik, menekankan bahwa dasar teori adalah praktik dan teori pada gilirannya mengabdi pada praktik. Untuk sepenuhnya mencerminkan sesuatu dalam keseluruhannya, untuk mencerminkan hakekatnya, mencerminkan hukum-hukum internya, adalah perlu melalui pemikiran, menyusun kembali dan mengolah bahan-bahan tanggapan pancaindera yang kaya itu dengan membuang ampasnya dan mengambil sarinya, menyisihkan yang palsu dan mempertahankan yang benar, bertolak dari segi yang satu ke segi yang lain dan dari bagian luar ke bagian dalam, guna membentuk suatu sistim konsepsi dan teori – adalah perlu membuat suatu lompatan dari pengetahuan persepsi ke pengetahuan rasional. Menggaris-bawahi tesis kesebelas Marx tentang Feurbach, Mao Zedong menulis, bahwa masalah yang terpenting tidak terletak pada pengertian akan hukum-hukum dunia objektif dan karena itu sanggup menerangkan dunia, melainkan terletak pada pentrapan pengetahuan tentang hukum-hukum objektif itu untuk secara aktif mengubah dunia. Menurut Marxisme, teori adalah penting, dan pentingnya teori itu dinyatakan sepenuhnya dalam perkataan Lenin: “Tanpa teori revolusioner, tak mungkin ada gerakan revolusioner”. Dengan demikian, Mao Zedong kian mempertegas ajaran Marx, bahwa pengenalan atas dunia adalah untuk mengubahnya. Inilah materialisme dialektis, cara berpikir, senjata perjuangan, yang diperlukan bagi manusia yang berjuang.

Sudah berlalu lebih satu setengah abad, semenjak Tesis-Tesis Tentang Feurbach ini ditulis Marx. Materialisme kian menunjukkan keunggulan dalam filsafat. Kebenaran filsafat materialisme telah mengalami ujian dalam sejarah. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi, mulai dari penemuan-penemuan dalam astronomi, fisika, kimiah, biologi, ilmu kedokteran, penemuan dan penggunaan energi nuklir, penjelajahan ruang angkasa, ilmu dan tekhnologi informatika, ilmu genetika dan lain-lain telah mendemonstrasikan kemenangan-kemenangan materialisme atas agnostisisme dan idealisme. Berkat materialisme, manusia kian mengenal dan menguasai hukum-hukum alam. Kian bisa mengolah dan mengubah alam demi kepentingan umat manusia.

Selama satu setengah abad ini, masyarakat manusia di dunia juga telah mengalami perubahan drastis. Hampir seperempat abad sesudah Manifes Partai Komunis diumumkan, lahirlah Komune Paris. Inilah usaha mempraktikkan gagasan Manifes Partai Komunis dalam praktik. Komune Paris tahun 1871 gagal, karena kaum Komunar dibasmi pakai penindasan bersenjata oleh burjuasi Perancis. Hampir setengah abad kemudian, belajar dari kegagalan Komune Paris, pada tahun 1917, partai klas pekerja yang dibimbing oleh filsafat materialisme historis dibawah pimpinan Lenin, memelopori Revolusi Oktober Russia. Revolusi mencapai kemenangan dengan didirikannya negara sosialis pertama di dunia, yaitu Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis – URSS --. Kekuasaan klas pekerja yang digagaskan dalam Manifes Partai Komunis untuk pertama kali terwujud. Musuh-musuh sosialisme tidak rela akan eksistensi negara sosialis, URSS. Perang dunia kedua yang dilancarkan persekutuan fasis Jerman, Itali dan Jepang dengan Pakta Anti-Komintern adalah bertujuan melenyapkan URSS, melenyapkan Bolsyewisme dan sosialisme. Perang berakhir dengan kekalahan fasisme. URSS tidak terbasmi. Malah tampil sebagai pemenang-perang bersama negara-negara Sekutu. Ini disusul dengan munculnya negara-negara sosialis baru di Jerman Timur, Bulgaria, Rumania, Albania, Polandia, Cekoslowakia. Juga di Tiongkok, Korea dan Vietnam. Semuanya ini terjadi dibawah bimbingan filsafat materialisme historis untuk mewujudkan sosialisme yang digagaskan dalam Manifes Partai Komunis. Inilah manifestasi kemenangan bersejarah dari Marxisme, kemenangan filsafat materialisme dialektis pada paro pertama abad ke-XX.

Perang Dunia Kedua usai dengan kekalahan fasisme. Sosialisme bukannya terbasmi, malah kian berkembang biak. Usaha burjuasi internasional untuk melenyapkan sosialisme tidaklah berhenti. Burjuasi berpendirian bahwa eksistensi sosialisme berarti ancaman bagi kelangsungan hidup sistim kapitalisme. Karena itu, semenjak zaman Truman dan Churchill usaha membasmi sosialisme berlanjut dengan dilancarkannya the policy of containment, politik membendung komunisme sejagat dibawah komando Amerika Serikat. Inilah yang dinamakan PERANG DINGIN. PERANG DINGIN, usaha membasmi komunis dimana saja di muka bumi, melanda dunia mulai pertengahan abad ke-XX. Eksistensi negara-negara sosialis dan gerakan komunis dianggap ancaman bagi kelangsungan hidup kapitalisme, mengancam way of life Amerika. Karena itu pembasmian komunisme merupakan strategi global Amerika Serikat. Realisasi strategi global ini dilakukan dibawah komando National Security Council (NSC) – “Politbiro PERANG DINGIN”, yang diketuai Presiden, beranggotakan antara lain Menteri Pertahanan, Menteri Luarnegeri, Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata, tokoh-tokoh politik pilihan. Tahun 1947 didirikanlah CIA yang bekerja secara terbuka dan rahasia, demi membasmi komunisme. Dilaksanakan Plan Marshall untuk membendung meluasnya pengaruh Uni Sovyet di Eropa. Dibangun pakta-pakta militer NATO, CENTO, SEATO, ANZUS mengepung negeri-negeri sosialis. Tahun 1947-1948 berlangsunglah penyingkiran dan pembendungan wakil-wakil komunis dalam pemerintahan Perancis dan Itali; terjadi pembasmian pimpinan utama Partai Komunis Indonesia dengan “Peristiwa Madiun 1948” ; disusul Perang Korea 1950-1953 demi membendung kemajuan komunisme di Asia Timur; dikobarkan Perang Vietnam 1954-1975 untuk membendung kemajuan komunisme di Asia Tenggara; berlangsung pembasmian Patrice Lumumba di Konggo; terjadi invasi bersenjata yang dikendalikan CIA di Playa Giron tahun 1961 untuk menggulingkan pemerintah Kuba yang dipimpin Fidel Castro; berlangsung pembantaian kaum komunis dan Sukarnois di Indonesia tahun 1965-1966 sampai berdirinya kekuasaan orba selama 32 tahun, dilakukan blokade terhadap Kuba hampir selama setengah abad, berlangsung berbagai usaha membunuh Fidel Castro dan menggulingkan pemerintahan Kuba yang revolusioner, ...... sampai-sampai penggulingan pemerintah dan pembunuhan Salvador Allende di Chili, dan berkobar penggalakan subversi untuk “perubahan secara damai” di semua negara sosialis. Demikianlah perwujudan PERANG DINGIN, realisasi the policy of containment yang dilancarkan Amerika Serikat untuk membasmi komunisme demi menguasai dunia. Dunia pun jadi penuh ketegangan dengan berlangsungnya perlombaan persenjataan besar-besaran.

Semenjak semula, Lenin mempunyai gagasan untuk memenangkan sosialisme liwat perlombaan damai dengan kapitalisme, yaitu menempuh jalan koeksistensi secara damai antara sosialisme dengan kapitalisme. Gagasan ini dihadang PERANG DINGIN yang menggelora. Pengeluaran besar-besaran dalam perlombaan persenjataan telah mendatangkan beban besar di pundak URSS. Ini merupakan salah satu sebab utama terpukul dan terlantarnya pembangunan perekonomian Uni Sovyet di ujung abad ke-XX.

Pembasmian kaum komunis Indonesia 1965-1966 hanyalah merupakan satu mata-rantai, merupakan bagian kecil dari rencana global pembasmian komunisme sejagat. Pembantaian manusia ini lebih mengerikan dan lebih terkutuk dari Perang Korea maupun Perang Vietnam. Dalam perang Korea dan Perang Vietnam, Amerika Serikat mengerahkan pasukannya memerangi rakyat Korea dan rakyat Vietnam, hingga di Korea jatuh korban 57.120 tentara Amerika mati dan luka-luka, di Vietnam jatuh korban 40.000 tentara Amerika mati dan hampir 4000 pesawat terbang musnah, dengan pengeluaran sampai 136 milyar dollar. Sedangkan genosida di Indonesia berlangsung dengan mengadu orang Indonesia membunuh orang Indonesia.

Komando pembasmian komunisme sejagat berada di tangan NSC Amerika Serikat—Politbiro PERANG DINGIN. Untuk pelaksanaan keputusan-keputusannya, NSC mempunyai aparat-aparat yang canggih. Ada Korps Diplomatik AS yang tersebar di semua negeri di seluruh dunia. Ada CIA dan FBI. CIA mempunyai agen-agen di banyak negeri. Ada tiga Angkatan Bersenjata dengan Armada Ke-VII yang bisa merondai semua pelosok samudera di dunia. Ada sejumlah Akademi Militer Amerika yang bisa mendidik perwira-perwira terpilih dari banyak negeri. Hasil didikan akademi militer ini, sadar atau tidak sadar, dapat menjadi alat pelaksana the policy of containment. CIA menggunakan berbagai lembaga riset seperti RAND Corporation, Ford Foundation, Rockefeller Foundation, Carnegie Corporation, yang bisa mengucurkan dana buat merekrut sarjana-sarjana berbagai negeri untuk melakukan riset dan melakukan penulisan yang mengabdi pada realisasi the policy of containment, terdapat sejumlah universitas yang membangun lembaga-lembaga studi dan pusat penelitian seperti universitas Berkeley, Harvard, Princeton, Columbia, Chicago, Pennsylvania, MIT, John Hopkins, yang memberikan beasiswa pada mahasiswa untuk dididik dan melakukan riset. Untuk mengimbangi teori ekonomi komunisme, Walt W.Rostow, salah seorang pakar dari MIT Center for International Studies menghasilkan karya terkenal STAGES OF ECONOMIC GROWTH—a Non-communist Manifesto—yang memaparkan teori tentang lepas landas dalam ekonomi. Tak sedikit tokoh orba yang jadi pengikut Rostow, menguar-uarkan bahwa Indonesia akan berlepas landas pada tahun 2000. Di samping itu, dibangun dan digalakkan pemancar Radio Svoboda—Radio Free Europe, Radio Free Asia—untuk mensubversi negeri-negeri sosialis, dengan mengobarkan histeria anti-komunisme. Terhadap Indonesia, usaha subversi sudah digalakkan dengan CIA membantu PRRI-Permesta mendirikan negara tandingan melawan Republik Indonesia. Kegagalan dalam membantu PRRI-Permesta tidaklah menyebabkan berhentinya usaha Amerika Serikat menggulingkan Bung Karno. Dikala Perang Vietnam sedang memuncak, NSC pun memutuskan untuk menyingkirkan Sukarno. Dalam bulan Maret 1965, Komite 303 dari NSC menyetujui program aksi CIA-Kementerian Luar Negeri AS untuk mengurangi pengaruh PKI dan Tiongkok serta mendukung unsur-unsur non-komunis di Indonesia.

Peristiwa Indonesia tahun 1965 adalah peristiwa politik. Intinya adalah peristiwa penggulingan Bung Karno. Pembunuhan besar-besaran atas kaum komunis dan Sukarnois adalah jalan untuk menggulingkan Bung Karno. Ini adalah pelaksanaan keputusan NSC yang sudah menetapkan untuk menyingkirkan Sukarno. Oleh karena itu, walaupun badan-badan intel Inggris, Australia, Malaysia ikut terlibat, dalang dari pembunuhan besar-besaran di Indonesia tahun 1965-1966 adalah National Security Council Amerika. Soeharto dan kaum kanan Angkatan Darat Indonesia adalah eksekutor, adalah pelaksana belaka dari gagasan NSC Amerika Serikat. Tentu, Soeharto yang punya ambisi untuk berkuasa, telah menggunakan kaum kanan Angkatan Darat untuk berkuasa. Soeharto yang tangannya berlumuran darah adalah bertanggungjawab atas pembantaian itu.

Penyingkiran Sukarno sudah menimbulkan korban besar. Korbannya bukan hanya Bung Karno dan kaum komunis, tetapi juga massa pendukung Bung Karno, bahkan jutaan rakyat Indonesia yang tak bersalah. Dibunuh, disiksa, dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dipecat dari pekerjaan, dilarang jadi pegawai negeri; warga negara suku Tionghoa didiskriminasi dan dikucilkan, dibangkitkan kebencian pada suku Tionghoa. Demikianlah akibat realisisasi the policy of containment Amerika Serikat ini. Jelas sekali bahwa dalang dari dalangnya peristiwa 1965 Indonesia adalah NSC Amerika Serikat, yaitu Politbiro PERANG DINGIN, yang telah memutuskan keharusan menggulingkan Sukarno. Penggulingan Bung Karno adalah salah satu mata rantai, hanya satu bagian dari realisasi the policy of containment pelaksanaan PERANG DINGIN yang dikobarkan Amerika Serikat.

Mata-rantai penting lainnya dari PERANG DINGIN adalah ofensif “perubahan secara damai” untuk membasmi URSS, menggalakkan perlombaan persenjataan besar-besaran. Ofensif ini menimbulkan pukulan dasyat secara ekonomi dan politik bagi Uni Sovyet. Timbul dan berkembang pula kontradiksi-kontradiksi antarnegara-negara sosialis yang tak terpecahkan secara tepat. Pakta Warsawa yang anggota-anggotanya terdiri dari negara-negara sosialis Eropa, yang dibentuk untuk menghadapi NATO dibubarkan; sedangkan NATO memperkuat dan memperluas diri. Seiring dengan itu, muncul dan merajalelalah kontradiksi antaretnis dalam URSS, Yugoslavia dan berbagai negara sosialis lainnya. “Tembok Berlin” yang dimaksudkan untuk membentengi ibu-kota Republik Demokrasi Jerman dari intervensi kekuatan anti-sosialisme dari Barat dirobohkan tahun 1989. Tak tertahankan, penyatuan Jerman membuat ambruknya Republik Demokrasi Jerman ditelan Republik Federal Jerman. Pyeryestroika dan Novoye Mishlyeniye (Perestroika dan Pemikiran Baru) yang digalakkan Gorbacyov membuat hancur Uni Sovyet. Sesudah berkibar hampir selama tiga perempat abad, bendera merah berpalu arit dikerek turun dari puncak istana Kremlin. Dengan demikian, URSS pun lenyap dari peta politik dunia. Presiden George Bush dalam pedato kenegaraannya awal 1992 memproklamirkan usainya PERANG DINGIN dan mampusnya komunisme.

Sebelum itu, semua negeri sosialis lainnya pun sudah jadi sasaran. Pergolakan di Polandia menggulingkan sistim sosialis mendapat dukungan penuh bahkan dengan campur tangan Amerika Serikat. Ini menjalar ke Hongaria, Rumania, Jerman Timur sampai rontoknya “Tembok Berlin”. Bahkan Tiongkok pun kecipratan, hingga terjadi Peristiwa Tian An Men tahun 1989, yang oleh sementara pengamat Barat dinyatakan sebagai gerakan demokratis. Sesungguhnya, hakekat peristiwa ini adalah usaha untuk menggulingkan sistim sosialis. Karena keteguhan PKT membela sosialisme, dibawah pimpinan Deng Xiaoping, usaha ini dapat digagalkan.

Peristiwa-peristiwa besar ini adalah demonstrasi pukulan dan kemunduran bagi gerakan sosialisme dan komunisme dunia di ujung abad ke-XX. Francis Fukuyama, pembela tangguh kapitalisme, tampil dengan karyanya THE END OF HISTORY AND THE LAST MAN dengan kesimpulan bahwa dunia sudah sampai pada “akhir sejarah”, “komunisme sudah diungguli oleh demokrasi liberal”. Sesudah itu, Samuel P. Huntington pakar terkemuka pembela politik penguasa Amerika Serikat tampil dengan karyanya THE CLASH OF CIVILIZATIONS AND THE REMAKING OF WORLD ORDER. Huntington menyangsikan kebenaran tesis Fukuyama, bahwa komunisme sudah diungguli oleh demokrasi liberal. Tapi dengan menganalisa usainya PERANG DINGIN, Huntington menilai, bahwa kini di dunia terdapat berbagai bentuk otoritarianisme, nasionalisme, korporatisme dan komunisme pasar seperti di Tiongkok. Pembagian umat manusia oleh PERANG DINGIN sudah selesai. Kini pembagian yang lebih fundamental umat manusia tetap ada dalam bentuk etnisitas, keagamaan dan peradaban-peradaban, dan akan menelorkan konflik-konflik baru. Dunia akan terjerumus ke dalam benturan peradaban-peradaban.

Dalam kenyataan, memang demokrasi liberal tidaklah berhasil menunjukkan keunggulannya sebagai pengganti sistim sosialisme di berbagai negara sosialis yang sudah ambruk. Dan sosialisme tidaklah punah di muka bumi. Tiongkok dengan rakyat seperlima penduduk dunia secara mengagumkan bangkit membangun sosialisme berkepribadian Tiongkok. Betapa pun adanya sementara orang yang menyatakan, bahwa Partai Komunis Tiongkok sudah mencampakkan komunisme, bahwa Tiongkok telah jadi negara kapitalis, tapi Tiongkok telah mengagumkan lawan dan kawan dengan pertumbuhan ekonominya lebih dari 9 % setahun selama dua dasawarsa. Dan dalam kenyataan, kekuasaan politik di Tiongkok adalah satu varian dari diktatur proletariat, yaitu kediktatoran demokrasi rakyat, kekuasaan politik dengan sistim kerjasama multi-partai dibawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok. Ajaran komunisme tidak dicampakkan. Dalam Konstitusi Partai Komunis Tiongkok dinyatakan bahwa ideologi pembimbing Partai adalah Marxisme-Leninisme, Pikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping dan pikiran penting “Tiga Mewakili”. Undang Undang Dasar negara Republik Rakyat Tiongkok tahun 2004 mencantumkan bahwa tugas utama bangsa Tionghoa di tahun-tahun mendatang adalah memusatkan usaha untuk modernisasi sosialis. Di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan bimbingan Marxisme-Leninisme, Pikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping dan pikiran penting “Tiga Mewakili”, rakyat Tiongkok akan melanjutkan berpegang pada kediktatoran demokrasi rakyat dan menempuh jalan sosialis, dengan teguh menyempurnakan lembaga-lembaga sosialis, mengembangkan demokrasi sosialis, menyempurnakan sistim hukum sosialis dan bekerja keras serta berdiri di atas kaki sendiri untuk memodernisasi industri, pertanian, pertahanan nasional dan ilmu serta tekhnologi setapak demi setapak untuk mengubah Tiongkok menjadi negeri sosialis dengan kebudayaan dan demokrasi yang tinggi. Perkembangan ekonomi Tiongkok yang menakjubkan terjadi sebagai hasil realisasi isi Undang Undang Dasar tersebut. Rakyat Tiongkok yang rajin lagi cerdas, di bawah pimpinan yang tepat secara mengagumkan telah berhasil membangun bendungan Tiga Ngarai di Sungai Yangtze, bendungan pembangkit tenaga listrik terbesar di dunia, berhasil membangun jalan kereta api yang tertinggi dari permukaan laut meliwati dataran tinggi Tibet sampai ke ibukota Tibet, Lhasa; untuk kedua kalinya berhasil membangun dan mengorbitkan pesawat ruang angkasa dengan dua orang antariksawan Nie Haisheng dan Fei Junlong. Kini mulai berjalan penghapusan semua pajak terhadap kaum tani. Penghidupan rakyat meningkat terus dengan sangat nyata. Inilah manifestasi suksesnya pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok dalam kenyataan. Tahun 2005 perkembangan ekonomi Tiongkok mencapai PDB per kapita sebesar 1000 dollar Amerika. Untuk menghadapi masa selanjutnya, baru saja berlangsung sidang Pleno ke-V CC PKT ke-XVI yang merumuskan usul untuk rencana Rencana Lima Tahun Ke-XI. Kenyataan ini membantah pendapat yang menyatakan Tiongkok telah mencampakkan ekonomi berencana. Kini Tiongkok siap untuk maju melaksanakan Rencana Lima Tahun ke-XI. Sidang pleno ke-V Komite Sentral ke-XVI PKT, 12-10-2005, telah menerima baik "Usul Komite Sentral PKT Tentang Penyusunan Rencana 5 Tahun Ke-XI Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional". Direncanakan bahwa selama periode Repelita ke-XI, Tiongkok akan memelihara perkembangan ekonomi dengan mantap dan relatif cepat, akan mempercepat perubahan cara pertumbuhan ekonomi, akan meningkatkan kemampuan mandiri dan pembaruan, akan mendorong perkembangan selaras daerah kota dan desa, akan membangun desa-desa sosialis baru, akan mengintensifkan pembangunan masyarakat harmonis dan akan terus memperdalam reformasi dan keterbukaan terhadap dunia luar. Sesuai dengan tuntutan Kongres Nasional Ke-XVI PKT mengenai pembangunan masyarakat cukup sejahtera dalam 20 tahun pertama pada abad ini, sidang pleno ke-V CC ke-XVI PKT telah mengemukakan target utama pembangunan ekonomi dan sosial selama periode Repelita ke-XI, yaitu pada tahun 2010, merealisasi peningkatan 100% produk domestik bruto per kapita dari tahun 2000 di atas dasar mengoptimalkan struktur, meningkatkan hasil guna ekonomi dan menurunkan pengausan. Gerak raksasa pembangunan ekonomi besar-besaran sedang menggelora dalam pembangunan sosialisme di Tiongkok. Dalam pedatonya di depan konferensi ke-VII Menteri-Menteri Keuangan dan Gubernur-Gubernur Bank Sentral 20 negara di Beijing 15 Oktober 2005, Presiden Hu Jintao menyatakan, bahwa “Tiongkok semenjak melakukan reform dan menjalankan politik terbuka terhadap dunia luar semenjak 27 tahun yang lalu, sudah meletakkan sistim pendahuluan dari ekonomi pasar sosialis dan satu dasar struktur keterbukaan dalam semua dimensinya. Perekonomian tumbuh secara berkesinambungan dengan pesat, dan rakyat mengalami hidup yang menyenangkan. Akan tetapi, kami mengetahui dengan jelas, bahwa Tiongkok masih tetap adalah negeri sedang berkembang yang terbesar di dunia dengan jumlah penduduk sangat besar, dengan dasar ekonomi yang lemah, perkembangan yang tidak merata dan tekanan berat masalah lingkungan hidup serta tingkat hidup rakyat masih belum begitu tinggi. Karena itu, modernisasi di Tiongkok masih merupakan jalan jauh yang menanjak yang membutuhkan kerja keras untuk waktu panjang. Tiongkok sudah menetapkan tujuan membangun masyarakat yang cukup sejahtera secara menyeluruh. Tiongkok bermaksud meningkatkan Pendapatan Bruto Nasional mencapai 4 trilyun dollar Amerika atau PDB per kapita sekitar 3000 dollar Amerika dalam tempo limabelas tahun”. Disamping gagasan mengenai perkembangan perekonomian Tiongkok, kini Tiongkok maju pula dalam pembangunan sistim demokrasi sosialis. Demokrasi politik sosialis Tiongkok mempunyai ciri kepribadian Tiongkok. Ciri-cirinya adalah: demokrasi Tiongkok adalah demokrasi rakyat dibawah pimpinan Partai Komunis; demokrasi Tiongkok adalah adalah demokrasi dengan mayoritas mutlak rakyat bertindak sebagai tuan dari urusan negara; demokrasi Tiongkok adalah demokrasi yang dijamin oleh kediktatoran demokrasi rakyat; demokrasi Tiongkok adalah demokrasi dengan sentralisme demokratis sebagai prinsip organisasi dan cara pelaksanaannya.

Di samping Tiongkok, masih terdapat Republik Sosialis Vietnam, Republik Rakyat Demokrasi Korea dan Kuba yang dengan syarat yang berbeda-beda mempertahankan sistim diktatur proletariat. Maka jelas sekali, sosialisme tidaklah punah di muka bumi.

Materialisme Alat Melawan Pembodohan.

Satu setengah abad semenjak Marx menulis Tesis-Tesis Tentang Feurbach dan semenjak Manifes Partai Komunis diumumkan, materialisme dialektis telah menunjukkan keunggulan atas agnostisisme dan idealisme. Dari pandangan materialisme historis, perkembangan sejarah satu setengah abad ini adalah masa kebangkrutan feodalisme dan kemerosotan burjuasi. Burjuasi berada dalam kedudukan defensif, membela diri terhadap ofensif gagasan sosialisme yang baru tampil. Kehancuran Komune Paris, dan keambrukan URSS serta berbagai negara sosialis lainnya di Eropa, dibantainya kaum komunis Indonesia tahun 1965-1966 adalah kegagalan sementara dari gerakan sosialisme dan komunisme dunia. Ini bukanlah menunjukkan bangkrutnya gagasan mengubah dunia yang dipaparkan Manifes Partai Komunis, bukanlah bangkrutnya materialisme historis yang jadi filsafat Marxisme. Lahirnya berbagai negara nasional di Asia dan Afrika sehabis Perang Dunia kedua telah menunjukkan ambruknya sistim imperialisme. Kekalahan Amerika dalam Perang Korea yang mengorbankan 57.120 pasukan AS terbunuh dan luka-luka dan Perang Vietnam yang mengorbankan 40.000 tentara AS terbunuh dan hampir 4000 kapal terbang AS musnah dengan menelan biaya 136 milyar dollar AS menunjukkan bahwa kekuatan militer yang canggih pun tak bisa membendung perkembangan komunisme di Asia Timur dan Asia Tenggara. Invasi bersenjata dikomandoi CIA di Playa Giron tahun 1961 menunjukkan kegagalan memalukan dari operasi CIA. Blokade selama hampir setengah abad terhadap Kuba yang dijalankan Amerika Serikat mendemonstrasikan kegagalan politik Amerika membasmi pemerintah revolusioner Kuba. Merosotnya kejayaan Inggris Raya dari imperium yang menguasai dunia sampai awal abad ke-XX yang kini tinggal kekuasaan United Kingdom di pulau England menunjukkan kebangkrutan sistim imperialisme Inggris. Dalam satu setengah abad, jelas sekali dunia sudah berubah banyak. Tapi perubahan ini masih jauh dari tuntas. Imperialisme yang merajai dunia sampai pertengahan abad ke-XX kini berubah jadi neo-kolonialisme. Neo-kolonialisme lebih jahat dibanding imperialisme, karena penghisapan dijalankan liwat tangan penguasa-penguasa setempat, hingga rakyat yang ditindas tidak berhadapan langsung dengan burjuasi asing, tetapi dengan burjuasi negerinya sendiri. Neo-kolonialisme yang dikomandoi Amerika Serikatlah yang memainkan peranan dalam menggulingkan Bung Karno dan terjadinya pembantaian di Indonesia tahun 1965.

Usainya PERANG DINGIN bukanlah menunjukkan sistim demokrasi liberal lebih unggul dari sosialisme. Sosialisme tidaklah punah di muka bumi. Tiongkok bersama Vietnam, Korea Utara dan Kuba bertahan membela sistim sosialisme. Tiongkok dengan tegas berkali-kali menyatakan bahwa pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok dilakukan dengan jalan damai, Tiongkok membutuhkan perdamaian dunia demi pembangunan ekonominya. Boleh dikatakan, kini gagasan Lenin memenangkan sosialisme atas kapitalisme lewat perlombaan secara damai, sedang berlangsung dan berada dalam ujian. Berkenankah borjuasi internasional yang dikepalai Amerika Serikat menempuh jalan damai, berlomba dan bersaing dengan gagasan sosialisme dalam koeksistensi secara damai?

Indonesia yang sudah empat dasawarsa dikuasai kediktatoran militeris orba, jadi dirundung malapetaka pembodohan, hingga kita kini hidup di Zaman Edan, zaman jahiliyah. Begitu edannya zaman kita, hingga terjadilah “sang pembunuh dengan bangga menyatakan memberi maaf kepada si terbunuh”, “sang pengkhianat Pancasila menuduh lawannya mengkhianati Pancasila”! Jelas sekali, jargon-jargon politik orba adalah jargon-jargon yang anti demokrasi, yang fasistis. Menjadikan Pancasila “satu-satunya asas bernegara, berbangsa dan bermasyarakat “, menjadikan Pancasila “sumber dari segala sumber” adalah bertentangan dengan ajaran Bung Karno, bahwa Pancasila adalah dasar negara. Putusan-putusan seminar ke-II Angkatan Darat yang melahirkan gagasan Dwi-fungsi ABRI yang anti-demokrasi, yang mengharuskan penggantian istilah Tionghoa dengan Cina bertujuan membangkitkan kebencian atas warga negara suku Tionghoa, pembantaian dan pemenjaraan jutaan warganegara tak bersalah tanpa diadili adalah pelanggaran hak-hak asasi manusia yang tak ada bandingannya dalam sejarah. Sesudah ambruknya URSS, anti Tiongkok merupakan benang merah dari the policy of containment Amerika. Dalam strateginya membendung komunisme dunia, kaum kanan Amerika Serikat secara tangguh sampai kini masih menggalakkan terus gagasan adanya “ancaman Tiongkok”. Inilah mentalitas PERANG DINGIN yang masih gentayangan, walaupun PERANG DINGIN dinyatakan sudah usai.

Politik orba terhadap Tiongkok di bawah kekuasaan Soeharto adalah sesungguhnya mengabdi pada realisasi the policy of containment di Indonesia, realisasi politik pembendungan komunisme, adalah pelaksanaan strategi PERANG DINGIN. Kebijaksanaan orba berkembang sampai melarang penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa, mengharuskan mengganti istilah Tionghoa dengan kata Cina demi membangkitkan kebencian pada suku Tionghoa, melarang sekolah-sekolah dan surat-surat kabar berbahasa Tionghoa, melarang rakyat melangsungkan pesta Hari Raya Imlek, bahkan menggalakkan penggantian nama Tionghoa dengan nama Indonesia. Tak bisa diartikan lain, bahwa ini adalah politik rasialis anti demokrasi yang fasistis.

Dengan melaksanakan pembasmian kaum komunis dan Sukarnois, Soeharto dan kaum kanan Angkatan Darat telah menjadi eksekutor, pelaksana tangguh dari the policy of containment di Indonesia. Di bawah kekuasaan orba Soeharto terbinalah zaman jahiliyah, zaman pembodohan, ZAMAN EDAN. Dengan cara pembodohan, cara propaganda a la Goebels, berlangsung pemalsuan sejarah. Panca Sila bukan lagi jadi alat pemersatu bangsa, tapi jadi alat pentungan membasmi lawan politik orba dengan menggunakan tuduhan “anti-Panca Sila” atau “pengkhianatan atas Panca Sila”. Yang melawan rezim orba dituduh ”anti-Panca Sila” atau “mengkhianati Panca Sila”. Semboyan ancaman tentang “bahaya laten komunisme” pun digalakkan. “Pengkhianatan atas Panca Sila” dan “awas bahaya laten komunisme” adalah senjata orba membangkitkan histeria anti-komunisme. Walaupun Soeharto sudah lengser, mentalitas PERANG DINGIN itu kini masih bersimaharajalela. Dan kita kian terjerumus kedalam zaman jahiliah, ZAMAN EDAN.

Kenapa bisa berlangsung pembodohan dalam waktu sekian lama ? Kuncinya adalah: dicabutnya kebebasan rakyat untuk berpikir dan bersuara. Disamping itu telah dipaksakan cara berpikir yang tak ilmiah. Kebenaran tidak didasarkan pada kenyataan, pada hasil pemikiran rakyat, tapi didasarkan pada pandangan penguasa. Penguasa orba lah yang menguasai kebenaran. Hitam atau putih tergantung pada kemauan penguasa orba. Selama berkuasanya rezim orba, berkumandanglah ucapan-ucapan yang tidak masuk akal seperti: “Bung Karno adalah dalang G30S”, “Bung Karno adalah Gestapu Agung”, “Bung Karno menyelewengkan Panca Sila dengan gagasan Nasakom”, “Panca Sila bukanlah hasil galian Bung Karno”, karena itu peringatan 1 Juni sebagai hari lahirnya Panca Sila adalah dilarang, Panca Sila dikeramatkan hingga ada “Hari kesaktian Panca Sila”, “PKI adalah dalang G30S”, “PKI memberontak menggulingkan pemerintah”, “para anggota Gerwani berpesta-pora menyiksa para jenderal korban G30S”, “mata jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong”..... dan sebagainya. Semua ini menjadi bahasa kekuasaan, yang membangkitkan histeria anti-komunisme. Pendapat yang menentang kebohongan ini, dinyatakan “anti Panca Sila”. Sejarah pun ditentukan berdasarkan pandangan orba. Kediktatoran orba memaksa rakyat menerima segala yang ditetapkan penguasa. Pandangan yang berbeda dengan pandangan orba dihukum sebagai “menentang Panca Sila”. Dan sebentar-sebentar didengungkan semboyan “bahaya laten komunisme sedang mengancam”. Rakyat hidup dalam suasana ketakutan dan terus-menerus terancam. Tak diperbolehkan bersuara yang berbeda dengan suara orba. Maka pembodohan dan jahiliyah melanda bangsa Indonesia.

Metode berpikir yang salah ikut menyumbang bagi menjalarnya pembodohan. Banyak terjadi orang berpikir bagaikan “meributkan ranting tanpa meneliti pohon”, “meributkan pohon tanpa meneliti hutan”, “meributkan Aidit tanpa meneliti NSC AS – Politbiro PERANG DINGIN – yang sudah memutuskan untuk menyingkirkan Sukarno”. Metode berpikir seperti ini pada hakekatnya adalah eklektisisme. Menggunakan eklektisisme berarti berpikir dengan bergumul pada satu kenyataan yang merupakan bahagian dari satu objek yang besar, merangkai-rangkai berbagai kenyataan, tapi melupakan kenyataan pokok yang hakiki, terus mengambil kesimpulan sesuai dengan selera si penyimpul. Eklektisisme yang menyesatkan itu sering terdapat dalam banyak hal, terutama dalam meneliti peristiwa Indonesia 1965. Peristiwa Indonesia 1965 adalah peristiwa politik. Inti masalah dalam peristiwa Indonesia tahun 1965 adalah soal penggulingan Bung Karno, sebagaimana diputuskan oleh NSC Amerika Serikat. Pemusatan riset seharusnya ditujukan pada NSC Amerika Serikat, tentang tindak tanduknya terhadap Indonesia, terutama terhadap Bung Karno. Pembantaian sekian banyak manusia Indonesia yang merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang paling biadab dalam sejarah adalah akibat dari keputusan NSC itu. Dengan eklektisisme tidaklah mungkin dicapai pembongkaran dalang kejahatan ini.

Eklektisisme berguna untuk pemutar-balikkan kenyataan, untuk pembohongan, yang bermuara pada hasutan dan fitnah. Pakai eklektisisme sering disebarkan tuduhan, bahwa PKI telah mengkhianati bangsa dengan tiga kali melakukan pemberontakan. Tuduhan ini muncul dengan pembeberan sejumlah fakta tanpa hubungan dialektis, dan berakhir dengan fitnah tersebut. Walaupun banyak tulisan membantahnya, masih sering diuar-uarkan fitnah ini. Pemberontakan tahun 1926 adalah terhadap kolonialisme Belanda. Tak ada sedikit pun berbau mengkhianati bangsa. Justru ini adalah sikap patriotik, memelopori pembelaan terhadap bangsa Indonesia yang dijajah, memelopori perjuangan kemerdekaan bangsa. Peristiwa Madiun tahun 1948 bukanlah pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia. Latar belakangnya adalah Red Drive Proposals yang didalangi Amerika Serikat untuk menyingkirkan kekuatan kiri terutama komunis dari pemerintah Indonesia. Dalam peristiwa ini hampir semua pimpinan utama PKI terbunuh, termasuk Musso dan mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Ini adalah permulaan Perang Dingin melanda Indonesia. PKI telah jadi korban perdana Perang Dingin. Peristiwa tahun 1965 tidak bisa dinyatakan sebagai pemberontakan PKI terhadap negara Indonesia. PKI mendukung, bahkan ikut dalam pemerintahan Sukarno. Justru PKI lah yang menginginkan berlangsungnya pemilihan umum, tetapi dijegal oleh kekuatan kanan Angkatan Darat dengan dipelopori A.H.Nasution. Untuk maju ke kedudukan memerintah, PKI tidak berkepentingan menggulingkan Pemerintah Sukarno, lebih-lebih lagi melakukan pemberontakan. Ketakutan akan menangnya PKI jika berlangsung pemilihan umum mendorong Amerika Serikat untuk lebih cepat menggulingkan Bung Karno. Dalam Buku Putih Koptamtib tahun 1978, dideretkan fakta-fakta sejarah yang sengaja dipilih, dengan meninggalkan fakta-fakta Amerika Serikat berusaha menggulingkan Bung Karno. Ini adalah contoh penggunaan eklektisisme untuk memfitnah PKI sebagai dalang G30S dalam rangka merebut kekuasaan negara. Dengan metodologi eklektisisme yang menyesatkan itu pula Nugroho Notosusanto menerangkan, bahwa Panca Sila bukanlah hasil galian Bung Karno. Dengan demikian, Panca Sila bisa dipisahkan dari Bung Karno. Pancasila jadi bisa diinterpretasi menurut kemauan rezim orba. Fitnah yang lebih tidak masuk akal lagi adalah tuduhan PKI mengkhianati Panca Sila yang termasuk sering diuar-uarkan penguasa orba untuk mengobarkan histeria anti komunis. Dalam sejarah, justru PKI lah, bersama dengan PNI yang dengan tangguh membela Panca Sila sebagai dasar negara, sampai berlangsunngnya dua kali pemungutan suara dalam sidang Konstituante di Bandung. Demikian edannya zaman orba, hingga mereka yang menentang Panca Sila dalam Konstituante ini jadi penyangga kekuasaan orba, dan menuduh PKI anti Pancasila. Demikianlah, Indonesia dilanda pembodohan, dilanda jahiliyah.

Reformasi sesudah lengsernya Soeharto menghasilkan kebebasan menulis. Mulut yang selama ini dirajut jadi terbuka. Bermunculanlah tulisan-tulisan membela hak-hak asasi manusia, mengutuk kebiadaban rezim orba. Tapi operasi intel yang merupakan salah satu ciri kediktatoran militer giat beraksi membela orba. Perang syaraf, rekayasa-rekayasa yang dikobarkan operasi intel menghasilkan desinformasi dalam masyarakat. Intrig dan fitnah berkembang biak. Untuk memalsu sejarah, ditampilkan secara rekayasa berbagai saksi yang orang dan ucapannya sulit dicek kebenarannya.

Masalah sejarah yang selama ini dipalsukan orba, jadi sasaran kritik. Sebaliknya, banyak pula muncul tulisan-tulisan yang tidak pasti kebenarannya, yang tidak berdasarkan kenyataan, memanipulasi peristiwa sejarah. Sementara penulis memanipulasi sejarah dengan berselimut kata-kata agaknya, barangkali, bukan tidak mungkin, siapa tahu, ada perkiraan, kira-kira, bisa dipercaya, ada yang mengatakan, diduga keras, boleh jadi, sudah bisa ditebak, tampaknya, entah benar entah tidak.. Dengan didahului kata-kata “entah benar entah tidak”, menghadapi Peristiwa Madiun Hatta sebagai Perdana Menteri sudah secara kongkrit menyatakan, bahwa di Madiun telah didirikan Negara Sovyet. Betapa pun jelas jemelasnya pembohongan, sang penulis atau pembicara bisa terlindung jadi tak bersalah, karena bertudung kata-kata bersayap itu.

Nenek moyang kita mengajarkan, bahwa “Pikir itu Pelita Hati”. Artinya, dengan berpikir hati pun terang. Tanpa berpikir, gelaplah dunia. Dalam kegelapan berlangsunglah pembodohan. Terbinalah zaman jahiliyah. Untuk melawan pembodohan, haruslah merebut dan membela kebebasan berpikir. Lenyapkan kebiasaan yang serba gampang percaya. Otak harus digunakan untuk berpikir. Untuk bisa berpikir tepat, diperlukan sikap kritis serta cara berpikir yang tepat. Inilah satu-satunya jalan untuk melawan pembodohan. Maka diperlukan penggalakan cara berpikir yang ilmiah, yaitu mencari kebenaran dari kenyataan, segala-galanya bertolak dari kenyataan. Dan berpikir bukanlah hanya untuk mengenal serta memahami keadaan atau dunia. Tapi yang lebih penting adalah untuk mengubah keadaan dan mengubah dunia.

Pikiran tepat yang dikuasai rakyat akan melahirkan kekuatan yang mampu mengubah keadaan. Mampu mengubah keadaan dan mengubah dunia! Disinilah letak arti pentingnya memperingati TESIS-TESIS TENTANG FEURBACH yang ditulis Marx 160 tahun yang lalu.(*)

No comments: