Demokrasi, Kebebasan dan Kesadaran Merdeka
*) Sugiantoro

Sengitnya perpolitikan nasional tidak lagi menjadi hal baru sebagaimana sejarah orde baru yang telah membelenggunya dalam tirani waktu yang panjang. Reformasi total yang menjadi thema perubahan, menjadi bahan yang hangat dan layak untuk diperbincangkan oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan masyarakat internasional sebab eskalasinya sudah sangat terbuka dalam masyarakat international yang melihat perkembangan demokrasi mengalir pada suatu muara masyarakat pertama yaitu Indonesia yang menganut azas kekeluargaan_dimana bentuk tertua dari semua masyarakat dan satu-satunya yang bersifat alami adalah keluarga.
Semangat perubahan yang dikobarkan oleh mahasiswa sejak tahun 80-an merupakan embrio demokrasi yang mengalami proses panjang dan hampir terabaikan karena tidak mendapat restu dari pemerintah orde baru saat itu bahkan embrio demokrasi ini ditangani dengan cara-cara yang represif. Embrio ini kemudian melemah seiring waktu dan kembali muncul disaat gelombang aksi mahasiswa kembali berkobar ditahun 1997 dengan gelora semangat baru.
Demokrasi tidak dapat dilukiskan sebagai wacana yang lahir dari atas kemudian turun kebawah jika meminjam istilah BJ. Habibie bahwa demokrasi harus berjalan secara ‘top down’ dengan akselerasi perubahan evolusi yang dipercepat, namun demokrasi sebagaimana yang terbersit dalam dalilnya bahwa demokrasi adalah suatu proses pencapaian kesetimbangan dimana_masyarakat dalam klasifikasi sebagai masyarakat kelas bawah dapat mencapai kesamaan, kebebasan dan kemerdekaan haknya dalam proses pemerintahan dengan masyarakat kelas atas. Dan dalam proses pencapaian itu bahwa satu-satunya cara yang dilakukan saat itu untuk melakukan pencapaian dilukiskan dalam bentuk demonstrasi. Dimana masyarakat tidak lagi nrimo apa yang memang bukan kehendaknya.
Dalam rentang waktu kemudian wacana demokrasi dimunculkan pada permulaan dipilihnya Presiden Abdurrahman Wahid sebagai proses aktualisasi perubahan bahwa reformasi total adalah jembatan yang harus dilalui menuju kondisi obyektif yaitu demokratisasi. Proses ini merupakan proses pembelajaran politik pada masyarakat yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya sebagai wacana politik negara yang terbuka. Demokrasi menjadi thema sentral dalam perubahan yang singkat menjadi hangat dan berkembang dengan cepat di masyarakat sebab thema ini tidak lagi menjadi perbincangan individu tetapi telah menjadi perbincangan semua lapisan masyarakat atau paling tidak semakin maraknya keikutsertaan masyarakat secara serentak dan bersama-sama dalam perpolitikan negara yang dituangkan dalam bentuk demonstrasi, walaupun secara implisit masyarakat baru menyentuh bagian terluar dari demokrasi.
Proses ini memang membutuhkan waktu lama, apalagi masyarakat yang baru lahir dari (selama ini terbelenggu) otoriterianisme orde baru dimana masyarakat dibutakan akan proses demokrasi. Namun pada Periode pemerintahan Gusdur, sedikit proses itu telah dibukakan pintu sebagai langkah awal beranjak menuju kondisi obyekif tadi. Masyarakat seolah terbangun dari mimpi buruknya dan kemudian beranjak tanpa sadar bahwa sehelai kain sarung masih menutupi wajahnya dan ketika menyibakkan kain sarung yang menutupi wajahnya, ternyata pertarungan sedang berlangsung. Ia terjerembab dalam proses itu dimana pada wilayah ini mengedepankan rasionalitas. Walhasil kekuatan masyarakat ini mencoba memformulasikan gerak dan langkahnya secara alami dalam fenomena yang menakjubkan.
"Kekuatan demokrasi adalah kekuatan secara harfiah sebagai kekuatan fisik yang mampu mengiringi kondisi obyektif menuju gerbang pencerahan"
Rasionalitas memang tidak mengedepankan suatu kekuatan secara fisik dalam fenomena demokrasi, namun lebih mengedepankan kesadaran berfikir secara logika dalam wilayahnya, akan tetapi yang perlu digarisbawahi disini adalah dalam proses beranjaknya masyarakat tadi bahwa proses ini mutlak memerlukan kekuatan itu selama penjaga rambu-rambu konstitusi masih dapat memagari kekuatan tersebut. Namun yang menjadi persoalan dan semakin sulit dipecahkan adalah ketika penjaga rambu-rambu ini tidak dapat memagari kekuatan-kekuatan fisik tersebut bahkan sebaliknya ikut mengambil peran. Akhirnya tercipta ketidakstabilan gerak antara kekuatan fisik dengan kekuatan logika ditambah dengan terreduksinya rambu-rambu tersebut dalam wilayah itu. Walaupun demikian hal ini adalah proses yang harus dijalani untuk mencapai masyarakat yang dapat berfikir secara rasional dalam kondisi obyektif dimana hal itu mulai dijamah oleh masyarakat secara membumi.
Kebebasan

Dalam pada itu kekuatan-kekuatan yang terlebih dahulu berpartisipasi dalam wilayah demokrasi tersebut mereduksi dirinya menjadi embrio baru yang secara sistematis menyusun kekuatannya menjadi kekuatan-kekuatan oposisi pada strata tertinggi dalam legislasi konstitusi dan mengalienasi menjadi ‘Souverain’.
Penjelmaan ini diakibatkan munculnya sebuah kekuatan baru dalam wilayah politik negara, sebuah kekuatan yang mencoba mewujudkan dirinya sebagai kekuatan demokrasi, jika boleh meminjam istilah masa lalu sebagai ‘kekuatan kebebasan’ yang berawal humanisme. Kekuatan ini juga berupaya berkohesi dengan elemen-elemen bebas lain yang mempunyai garis perjuangan dalam demokrasi. Bagai bola salju yang menggelinding dengan derasnya, kekuatan kedua ini menjadi kekuatan kebebasan yang menempatkan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang kaum ‘souverain’. Namun Kebebasan yang muncul berubah dalam bentuk-bentuk radikalisasi perjuangan yang terpola secara fisik dalam melihat permasalahan negara yang kompleks. Kekerasan dan anarki akhirnya menjadi nuansa perjuangan yang dipolitisir oleh lawan-lawan politiknya sebagai konflik horisontal. Arah demokrasi yang kebablasan akhirnya akan menimbulkan premanisme politik dan kebebasan destruktif. Padahal kekuatan kedua ini syarat dengan nuansa humanistik yang dalam perjalanan sejarahnya bersahabat dengan berbagai kalangan terutama kalangan fundamentalis pada tingkat wacana keagamaan.
Kesadaran Merdeka

Dalam wacana negara yang berbhineka tunggal ika, keberagaman wilayah berfikir adalah mutlak. Dan hal ini yang harus menjadi landasan bertindak setiap kekuatan demokrasi dalam wilayah politik. Sebagai kekuatan demokrasi, perjuangan radikal akan tetap menjaga substansi perjuangannya dalam lingkaran pluralisme. Semakin maraknya suara lantang demokrasi pada tingkat mahasiswa juga membawa dampak luas yang terbangun secara gradual pada wilayah ini, meskipun demikian sebagai kekuatan nilai, mahasiswa justru dapat membangun wilayah ini pada tahap-tahap tertentu dalam prosesnya menuju kondisi obyektif. Oleh karena itu, perjuangan demokrasi jangan lagi mempolarisasikan kekuatannya pada nuansa yang kental akan desktruktifisasi yang mudah dipolitisasi sebagai konflik horisontal. Namun lebih memilih wilayah yang menempatkan dirinya sebagai wilayah kesadaran merdeka. Kesadaran yang harus dibangun dalam waktu yang singkat sebab kesadaran merdeka adalah kekuatan yang membutuhkan perjuangan dalam pruralisme masyarakat Indonesia.
Walau dalam perjalanannya, beberapa wilayah hancur terbakar akibat dari pertarungan politik dan krisis ekonomi masih harus menunggu pemulihan kondisi keamanan namun demokrasi bukan suatu proses singkat yang mudah diraih melainkan suatu proses panjang yang menuntut kesabaran orang untuk menjalaninya dalam berbagai tantangan. Dan dalam hal ini sebagai kekuatan-kekuatan demokrasi, kekerasan yang bernuansa politis adalah budaya yang sama-sama perlu untuk dibenahi. Karena sejarah Indonesia telah mencatat bahwa peralihan kekuasaan dari Orde lama ke orde baru adalah catatan hitam sejarah Indonesia yang tidak patut diulang kembali.

No comments: