NASIONALISME: bentuk yang semakin dipertanyakan !

NASIONALISME: bentuk yang semakin dipertanyakan !

*) AG. Eka Wenats Wuryanta S.Hum


Pengantar

Nasionalisme pada paruh pertama dan kedua abad 20 dan era modern pernah menjadi ideologi modern paling ampuh. Lintas sejarah perkembangan nasionalisme sampai puncak kejayaan berlangsung selama hampir dua raôus tahun. Dalam sejarah pembentukan dan perkembangan praksis ideologi ini, terdapat masa di mana nasionalisme memberikan kontribusi nyata bagi usaha pemerdekaan dan pembebasán manusia dari penjajahan; tapi terdapat satu masa pula di mana naóionalisme dalam bentuk ideologi sempitnya pernah menjadi legitimasi ideologis bagi predator-predator hak asasi manusia.

Makalah ini mau mencoba untuk menguraikan secara sederhana pemahaman bentuk dan sejarah nasionalisme yang berkembang. Tentu saja tinjauan historis sangat kental dalam makalah ini. Tapi yang jelas, makalah hanya menjadi salah satu batu pijakan untuk diskusi yang lebih mendalam.

Sejarah

Nasionalisme sebagai ideologi dapat dilihat sebagai sebuah kesadaran nasional. Tanda pertama pertumbuhan nasionalisme sudah bisa dijejaki pada era Renaissance (tepat ketika terjadi pembakaran reformator agama Jan Hus di Konsili Konstanz, terjadi pula perang Hussit di Bohemia dan Moravia yang menajamkan kesadaran nasional orang Ceko; reformasi Martin Luther dan nada anti-Roma serta terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Jerman telah menumbuhkan kesadaran orang-orang Jerman sebagai orang Jerman).

Nasionalisme dalam arti yang sesungguhnya telah ada sejak pasca revolusi Perancis. Dalam paham J.J. Rousseau tentang kedaulatan rakyat, dia mengetengahkan paham "bangsa". Pada era romantik (1700 – 1800’an) konsep kebangsaan dilihat sebagai sumber masyarakat.

Sejak abad 19, nasionalisme telah menjadi motivasi dan sikap politik bangsa di Eropa. Pada awal abad 20, paham nasionalisme berpuncak pada Perang Dunia I dengan mewujudkan peta geo-politik Eropa sampai sekarang, aliansi Jerman-Italia, pembebasan Yunani-Bulgaria-Serbia dari Turki serta kemerdekaan di beberapa negara bagian Slavia dari imperialisme Austria, Turki, Rusia dan Jerman.
Pada permulaan abad ke 20, gelombang nasionalisme terasa di wilayah dunia ketiga. Nasionalisme menjadi senjata moral ampuh untuk melegitimasi perjuangan kemerdekaan.

Definisi

Nasionalisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa rasa kebangsaan (entah atas dasar persamaan nasib, entah atas dasar persamaan wilayah) dilihat sebagai perasaan utama dan cenderung dipakai untuk prinsip hidup secara personal atau secara publik. Secara luas juga dapat dikatakan bahwa nasionalisme menyatakan patriotisme (patria=tanah air) yang merupakan prinsip moral dan politik yang mengandung kecintaan pada tanah air, kebanggaan emosional terhadap sejarah dan ketersediaan diri untuk membela kepentingan-kepentingan bangsa.

Dapat dikatakan bahwa nasionalisme per definitionem lebih bersifat emosionalistis, kolektivistik, idolistik dan sarat berisi memori historisitas. Faktor emosi lebih terlihat bahwa nasionalisme selalu melibatkan dimensi emosi atau rasa (seperasaan, sepenanggungan, seperantauan, senasib). Aspek kolektivistik lebih disebabkan karena nasionalisme selalu mengikat secara bersama orang-orang yang terlibat dalam satu kesatuan emosi tersebut. Faktor idolistik adalah faktor "penyembahan" kelompok bangsa tertentu pada suatu cita-cita bersama yang akhirnya melegitimasi perilaku kelompok tersebut. Faktor memori historisitas adalah faktor kecenderungan yang dibangun untuk menumbuhkan rasa-perasaan "bersatu" dalam sebuah konsep kebangsaan tertentu.

Mencari Makna Kebangsaan

Hingga abad ke-20, negara-negara secara fisik masih mempunyai batas wilayah, rakyat, tempat dan syarat-syarat lainnya untuk bisa layak dikatakan sebagai sebuah negara secara definitif. Berbagai konflik dan perdamaian masih dilakukan dengan argumen kedaulatan yang secara fisik bisa dirasakan. Sebagai contoh, Indonesia pada tahun 1945-1949 yang secara definitif pula menyatakan kemerdekaannya, menetapkan wilayah - struktur pemerintahannya serta adanya rakyat di dalam wilayah tersebut. Pergulatan menuju kemerdekaan yang dilakukan melalui bentuk fisik seperti perjuangan dan non fisik seperti diplomasi, dilákukan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan setiap unsur suku yang berada dan mengklaim diri sebagai ‘bangsa Indonesia’.

Momentum kesepakatan-kesepakatan tersebut telah dilakukan êáuh sebelumnya yakni pada tahun 1928 sebagai Sumpah Pemuda dengan berdirinya berbagai organisasi perkumpulan pemuda yang berdasarkan kesukuan. Artinya, berdirinya negara tidak terlepas dari adanya keinginan setiap golongan yang menyatakan diri bersama-sama dan membentuk bangsa sebagai penduduk dari negara tersebut.

Akan tetapi, perkembangan sejarah yang terjadi menjelang abad ke-21 ini justru semakin mengaburkan pengertian sebuah negara secara substansial. Sebagai contoh misalnya kemajuan teknologi informasi yang diwujudkan dalam pemindahan modal dari suatu negara ke negara lain secara proses digital tanpa bisa dicegah, akses internet yang bisa dilakukan tanpa sensor di perbatasan, bahkan kemajuan tersebut juga memberi dampak terhadap perdagangan yang bisa menaikkan atau melumpuhkan perekonomian sebuah negara. Artinya, lama kelamaan kedaulatan sebuah negara tidak lagi diganggu secara fisik.

Kalau dulu Indonesia dijajah Jepang dengan kekerasan dan perang selama 3 tahun, kini tanpa disadari sejak 30 tahun yang lalu penjajahan itu dimulai kembali dengan membanjirnya barang-barang produksi Jepang dalam bentuk dan kebutuhan apapun di sekitar kita. Jika demikian, sesungguhnya rasa kebangsaan itu telah bergeser fondasinya. Kita tidak bisa lagi secara jernih bisa menyatakan sebuah kemerdekaan secara substansial. Makna dari rasa kebangsaan itu telah jauh hilang ditelan jaman.

Bergesernya fondasi rasa kebangsaan itu secara substansial membuat kesepakatan-kesepakatan yang sudah ada sejak 50 tahun yang lalu untuk menyatakan diri sebagai suatu bangsa juga mulai goyang. Tentu saja kita tidak dengan naif menyatakan bangsa Indonesia sudah bubar. Ketidaksiapan kita selama ini dalam menghadapi perkembangan zaman membuat masyarakat semakin risau. Terlebih problem berjalannya pemerintahan, kesulitan ekonomi, tidak adanya lapangan pekerjaan dan sebagainya adalah masalah-masalah nyata yang memang pada saat ini butuh untuk segera diselesaikan. Namun karena tiadanya lagi dasar yang kuat berupa rasa kebangsaan maka yang terjadi adalah penambahan masalah-masalah baru seperti disintegrasi masyarakat dan perdebatan pembagian ruang kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah.

Mengapa demikian? Ada kegagapan publik untuk bisa mendefinisikan secara utuh tentang nasionalisme. Masyarakat kini menghadapai persoalan-persoalan diatas yang sifatnya sangat kompleks, global dan lintas sektoral. Kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa disintegrasi masyarakat bisa diselesaikan hanya dengan lagu Indonesia Raya, mengibarkan Merah Putih atau mengatakan bahwa kita bersaudara satu tanah air. Disintegrasi masyakarat bukanlah penyebab melainkan akibat dari ketidaksiapan kita mengikuti zaman.

Oleh karena itu rasa kebangsaan menjadi sebuah dilema, dapatkah ia menyelesaikan persoalan yang ada? Di satu sisi ia masih diklaim dibutuhkan sebagai perekat tambal sulam keutuhan masyarakat, tapi di sisi lain ia telah kehilangan makna dan tidak bisa memberi arti terhadap eksistensi kebangsaan itu sendiri.

Nasionalisme: Sudah Punah atau Masih Tercecer dalam Benak ?

Dalam situasi yang serba baru dan semakin mengglobal, orang semakin dituntut untuk semakin kritis dan siap. Tentu saja perubahan mendasar dalam sistem kehidupan manusia setelah revolusi informasi juga menimbulkan banyak batu uji bagi eksistensi nasionalisme itu sendiri.

Dalam situasi demikian, tentu saja masih ada orang yang berusaha untuk mencari makna kebangsaan untuk bisa memberi legitimasi keberadaan bangsa Indonesia. Banyak hal dilakukan baik dalam menggali pemahaman politik ideologi tentang nasionalisme hingga secara praksis menyatakan pemahaman-pemahaman tersebut dalam bentuk citra ‘nasionalis’ ditengah-tengah disintegrasi masyakat yang masih terus berlangsung.

Masuk dan lepasnya Timor Timur dari Republik Indonesia memberi goncangan tersendiri terhadap pemahaman politik nasionalisme kita. Sejak 1976, sesepakatan menjadi satu dalam sebuah bangsa ternyata ditempuh bukan melalui sekedar konvensi belaka tetapi dengan darah dan kekerasan. Ini menjadi sebuah argumen tentang eksistensi dan rasa kebangsaan yang akhirnya berwujud sebagai faktor pendorong utama lepasnya kembali Timor Timur disamping tekanan internasional yang ada.
Ini menjadi sebuah kebingungan nasional ketika beban ekonomi semakin menghimpit orang harus mencari makna baru tentang jati diri bangsanya. Akhirnya pemahaman politik tentang nasionalisme tumbuh kembali tetapi hanya berhenti hanya sekedar pengertian fisik yang diagung-agungkan.

Kondisi seperti ini sama seperti bangsa Jerman pada tahun 1930-an ketika dilanda depresi ekonomi dan butuh figur kuat yang bisa menaikkan harga diri bangsa yang terpuruk. Idol nasionalisme diwujudkan dalam partai tunggal yang kuat, baris berbaris, lagu-lagu mars perjuangan dan kebencian terhadap segala sesuatu yang dianggap merusak persatuan dan kekuatan bangsa.

Pemujaan terhadap idol seperti itu pada akhirnya memperkokoh bangunan fisik nasionalisme menjadi mengerucut ke arah fasisme. Fanatisme yang didapat karena sebuah kebingungan dan kegagapan melahirkan ketakutan-ketakutan terhadap perkembangan pemikiran yang dianggap ‘tidak nasionalis’. Sebagai contoh aksi pembakaran buku-buku kiri dan pembelaan terhadap orang-orang yang melakukan pembantaian di Timor Timur adalah tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menutupi kegagapan tersebut sebagai ungkapan fanatisme terhadap nasionalisme. Mengapa? Salah satu faktor yang sudah dijelaskan di atas adalah definisi nasionalisme yang berakar dari kebanggaan akan masa lampau dan sekarang. Jika masih kini tidak dapat dibanggakan lagi, maka dicarilah nasionalisme dengan mengacu pada kebanggaan di masa lalu. Kebanggaan berupa apa? Kita tidak pernah punya data historis lengkap dan bersifat substansial tentang hal itu dan akibatnya kebanggaan tersebut muncul dari pengamatan fisik belaka. Identitas nasionalisme diwujudkan kembali melalui idol berupa bendera, lagu dan hasil pengamatan fisik lainnya. Hal inilah yang membuat romantisisme dan fasisme berkembang subur ditengah ketidakberdayaan masyarakat terhadap kebobrokan pemerintahan dan ekonomi.

Penutup

Dalam makalah ini, paparan nasionalisme diletakkan dalam dua perspektif. Nasionalisme, di satu pihak, merupakan paham yang mengikat orang dalam kesatuan situasi historis dan dari situ sebuah bangsa mendapatkan kekuatan untuk survive. Di lain pihak, nasionalisme sedang mengalami proses pembusukan alamiah melalui proses perubahan sosial-global.

Para ideolog nasionalisme tetap melihat bahwa nasionalisme merupakan batu inspirasi yang bisa terus digali dan dicari dalam kekhasan generasi sebuah bangsa. Meski demikian, kita tetap melihatnya secara kritis yaitu bahwa nasionalisme dalam pengalaman sejarah pernah menjadi ideologi yang paling destruktif.

Generasi muda sosialis global lebih cenderung untuk melihat nasionalisme merupakan fosil ideologi yang sudah punah. Dalam arti bahwa sebagai ideologi, nasionalisme tidak mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi. Dengan pandangan ini, kita juga harus kritis, ketika nasionalisme sebagai ideologi punah, tetap saja nasionalisme tetap ada yang tersisa dalam benak otak kehidupan sosial yang ada.

Pertanyaan yang tersisa: apakah nasionalisme modern telah mengubah namanya dengan sebutan lain ? Atau haruskah dan tentu saja berani mengumumkan bahwa memang nasionalisme sudah punah ?

*************************

No comments: