JALAN SOSIALISME KERAKYATAN

JALAN SOSIALISME KERAKYATAN
(Tentang Sutan Sjahrir, Sosialisme dan Partai Sosialis Indonesia)

Oleh: M.Fadjroel Rachman[1]

Events are the real dialectics of history.
They transcend all arguments, all personal
judgements,all vague and irresponsible
wishes. ( Antonio Gramsci)
[2]

The philosophers have only interpreted the
world, in various ways; the point, however
is to change it. (Karl Marx)
[3]

Sosialisme dan Demokrasi: Memahami Marx-Engels Secara Kritis

Sosialisme[4] tanpa demokrasi adalah kediktatoran, dan demokrasi tanpa sosialisme adalah ketidakadilan. Keadilan, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi/kerakyatan dan solidaritas itulah tujuan dan nilai-nilai fundamental kaum sosialis. Kaum sosialis meyakini bahwa sosialisme hanya dapat diwujudkan melalui demokrasi, dan demokrasi hanya dapat disempurnakan melalui sosialisme. Dalam ungkapan lain, ‘sosialisme menjunjung tinggi kerakyatan, akan tetapi kerakyatan yang sesungguhnya hanya dapat diwujudkan dengan dan di dalam sosialisme.’[5] Keterkaitan langsung sosialisme dengan demokrasi/kerakyatan, dan tidak mungkin saling meniadakan, membuat Sutan Sjahrir menekankan secara tegas dan lugas perbedaan tujuan dan strategi kaum sosialis dan kaum komunis.

Kaum komunis di dalam keadaan manapun menganggap diktator proletar itu mesti dijalankan sebagai masa perantaraan, sedangkan kaum sosialis menganggap demokrasi selalu mungkin sebagai jalan untuk mencapai sosialisme meskipun sesudah melakukan revolusi atau pemberontakan terhadap golongan fascist, feodal atau penjajah, yang tadinya tidak memungkinkan berkembangnya demokrasi.[6]

Perbedaan prinsipil inilah yang mewarnai gagasan ideologis Sutan Sjahrir sampai akhir hayatnya – meninggal sebagai tahanan politik rezim Soekarno - tentang sosialisme kerakyatan, azas dan fungsi organisasi Partai Sosialis Indonesia (PSI), serta pertarungannya menghadapi gagasan dan praktek otoriter rezim Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya. Sosialisme apakah yang akan kita wujudkan? Mengapa jalan demokratis yang harus kita lalui? Perumusan sederhana yang dapat memposisikan ideologi, dan strategi dan watak kaum sosialis kerakyatan, berbunyi:

Sosialisme yang kita maksudkan adalah sosialisme berdasarkan kerakyatan, yaitu sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang. Penghargaan pada pribadi orang seorang dinyatakan pada penghargaan serta perlakuan pribadi orang seorang di dalam fikiran, serta di dalam pelaksanaan sosialisme. Penghargaan pribadi manusia serta pandangan yang demikian ini yang sebenarnya menjadi inti dari segala pencipta sosialisme yang besar-besar, seperti Marx-Engels, dan lain-lain. Sosialisme semestinya tiadalah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan yaitu kemerdekaan serta kedewasaan manusia yang sebenarnya. Pada mana seharusnya tiap manusia sungguh merdeka untuk mengembangkan kehidupannya serta segala kesanggupan yang ada pada dirinya masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan keadaan pada mana hal-hal jasmani tidak lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan segala kesanggupan tiap manusia kepada kebajikan dan keindahan[7]

Sutan Sjahrir dengan tegas menyatakan bahwa sosialisme kerakyatan didasarkan pada nilai-nilai fundamental: keadilan, kebebasan, kemanusiaan, kerakyatan (demokrasi), dan solidaritas kepada mereka yang ditindas dan dihisap oleh sistem kapitalisme. Dengan demikian paham sosialisme kerakyatan menentang segala bentuk kediktatoran kelas (borjuis maupun proletar) dan rezim otoriter kiri maupun kanan, karena bertentangan dengan nilai-nilai fundamental sosialisme dan demokrasi.

Darimana sumber gagasan ideologis dan teoritis sosialisme kerakyatan? Semua karya Karl Marx dan Friedrich Engels yang dikaji secara kritis oleh Sutan Sjahrir menjadi sumber gagasan ideologis dan teoritis sosialisme kerakyatan. Pandangan kritis Sutan Sjahrir terhadap Marxisme – seperti semangat revisionis Eduard Bernstein[8] - misalnya termuat dalam Sosialisme dan Marxisme: Suatu Kritik Terhadap Marxisme[9]. Namun kritik terhadap pandangan Karl Marx tersebut tidak menghalanginya untuk menegaskan bahwa PSI mendasarkan, ‘pengupasan dan penyusunan pengertian terhadap dunia kapitalis seperti yang dilakukan oleh Marx-Engels terhadap perkembangan serta susunan masyarakat kapitalis.’[10]

Tujuan ideologis sosialisme kerakyatan dan perangkat analisanya termaktub dalam Peraturan Dasar Partai Sosialis Indonesia, pasal 1 tentang azas tujuan, berbunyi, ‘Partai Sosialis Indonesia berdasarkan faham sosialisme yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Marx-Engels menuju masyarakat sosialis berdasarkan kerakyatan.’[11]

Demikian pula Bernstein, pelopor generasi pertama revisionis, kritiknya terhadap sejumlah gagasan Karl Marx, tidaklah mengurangi pengakuannya akan keabsahan prediksi Karl Marx di dalam Communist Manifesto[12] maupun di dalam karya besar Karl Marx lainnya misalnya Das Kapital atau Capital[13], tentang kecenderungan umum perkembangan kapitalisme dan masyarakat modern.Bernstein jelas misalnya mempersoalkan prediksi Marx tentang peningkatan konsentrasi industri, krisis ekonomi dan teori tentang meningkatnya kesengsaraan kelas pekerja (Verelendung). Kritik Bernstein terhadap Marxisme tidak lain dari upaya yang dipertimbangkanya sebagai, ‘revise outdated, dogmatic, unscientific or ambigous elements in Marxism, while denying that he was rejecting its essential core.’[14] Lebih jauh Bernstein menulis:

It was mistaken, however, in various specific inferences, chiefly in its estimate of the time that development would take. This last was unreservedly acknowledged by Friedrich Engels, co-author of the Manifesto, in his forward to Class Struggles in France…The aggravation of social relations has not occurred in the way in which the Manifesto portrayed it as occuring. It is not only futile but also the greatest folly for us to turn a blind eye to this fact. The number of the propertied has grown not smaller but larger. The enermous augmentation of social wealth is accompanied not by a shrinking number of capitalist magnates but by a growing number of capitalists of all degrees. The middle classes are changing in character but they are not disappearing from the social ladder. Politically we are seeing the privileged position of the capitalist bourgeoisie gradually giving way, in all advanced countries, to democratic institutions. Under the influence of these and under the impetus of a labour movement that is going from strength to strength, a social counter action against the exploitative tendencies of capital has set in, a counter action that, while as yet proceeding very timidly, feeling its way, is nevertheless there and is extending its influence to more and more areas of economic life…That a person can still think, in Germany, of suppressing the trade union marks not how advanced but how backward is his political development…The more the political institutions of modern nations are democratised, however, the fewer the necessities and the opportunities for major political catastrophes…No one has questioned the need to fight for democracy for the working class. The argument is about the theory of collapse and the question of wether, given the present state of economic development in Germany and the degree of maturity of its urban and rural working class, Social Democracy can have any interest in a sudden catastrophe. I answered that question in the negative, and I continue to answer it in the negative because in my opinion a steady constitutes a greater guarantee of lasting success than the possibilities offered by a catastrophe[15]

Karena itu Bernstein menolak gagasan revolusi politik dan kediktatoran proletar, namun meyakini bahwa transisi dari kapitalisme ke arah sosialisme dapat dilalui secara evolusioner (evolutionary socialism), sebab, ‘the very economic process of capitalism led spontaneously towards socialism.”[16] Untuk itu Berstein menyerukan, ‘to appear what is fact now is, a democratic, socialistic party of of reform. The movement means everything for me and what is usually called the final aim of socialism is nothing.’[17] Menurut Berstein, perkembangan sosial, ekonomi dan politik lebih menguntungkan kaum sosialis untuk membangun dan mengkonsolidir kekuatan politiknya dan menggerogoti hegemoni kaum borjuis di segala front melalui tekanan-tekanan demokratis. Tanpa harus melalui pemberontakan atau revolusi sosial. Jalan demokratis ke sosialisme memang dimungkinkan seperti dikatakan Engels, ‘Evaluasi secara damai dari masyarakat lama ke masyarakat baru bisa terjadi di negara-negara yang kekuasaannya telah terpusat di tangan wakil-wakil rakyat, dan sesuai dengan konstitusi segala apa yang dikehendaki dapat dilakukan, pada saat mayoritas rakyat mendukung secara penuh.’[18] Kemudian Kautsky meneruskan bahwa, ‘ada gunanya untuk memanfaatkan pemilihan umum dan memperluas lembaga-lembaga perwakilan, kebebasan sipil, kemerdekaan oposisi politik, dan keanekaragaman ideologi, serta menciptakan imbangan kekuatan yang menguntungkan sebagai prasyarat untuk memenangkan kekuasaan negara.’[19]

Meyakini bahwa sosialisme dapat dan harus dicapai secara demokratis, tidak mungkin dicapai melalui kediktatoran, merupakan titik tolak gerakan sosialis, selain upaya menggunakan perangkat analisa teoritis Marx-Engels secara kritis, sembari juga mengakui bahwa nilai-nilai sosialisme dalam agama, humanisme, ilmu pengetahuan, maupun filsafat.[20] Apakah dengan mengambil jalan demokrasi dan menolak kediktatoran proletar, lalu kaum sosialis menolak pula pemberontakan dan revolusi? Tentu tidak, jalan demokrasi tentu diambil bila kondisinya memang memungkinkan bagi gerakan sosialis membangun kekuatannya, tetapi dalam kondisi tertentu seperti di masa rezim fascist, rezim komunis, rezim feodal dan kolonial yang menutup samasekali ruang demokrasi, maka pemberontakan dan revolusi dimungkinkan. Tetapi cara kaum sosialis memahami pemberontakan maupun revolusi sangatlah berbeda. Pemberontakan atauapun revolusi bagi kaum sosialis adalah sarana untuk membangun demokrasi bukan untuk membangun kediktatoran.

Sutan Sjahrir dengan jernih menekankan keyakinannya terhadap demokrasi sebagai jalan untuk mencapai sosialisme, sekaligus menuntaskan perbedaan gerakan sosialis dengan komunis, termasuk dalam memahami tujuan revolusi, ‘…kaum sosialis yang tidak berpegang kepada teori diktator proletar menurut pengertian kaum komunis itu, mungkin sekali menerima keharusan pemberontakan atau revolusi di dalam keadaan tertentu. Di dalam faham revolusi disini pun masih bisa terdapat perbedaan dengan kaum komunis sebab kaum sosialis yang mengadakan pemberontakan atau revolusi terhadap kaum fascist, kaum feodal atau kaum penjajah, mengemukakan sebagai tujuannya untuk mengganti kekuasaan yang akan diruntuhkannya itu dengan demokrasi dan bukanlah dengan suatu diktator mereka sendiri. Sedangkan kaum komunis didalam keadaan begitu mengemukakan sebagai tujuan mendirikan suatu diktator proletar…pada suasana yang dinamakan diktator proletariat ataupun,…pemerintah demokrasi rakyat, atau diktator-demokrasi itu, yang sebenarnya berkuasa adalah partai komunis.’[21]

Kritik terhadap teori kediktatoran proletar ini merupakan kritik teoritis sekaligus praktis bagi kaum sosialis. Karl Marx pernah menulis surat kepada temannya yang tinggal di New York, Joseph Weydemeyer, pada 5 Maret 1852, tentang gagasan teoritis yang dianggapnya paling inovatif dalam analisanya tentang proses historis masyarakat moderen. Ujar Marx, ‘And now as to myself, no credit is due to me for discovering the existence of classes in modern society or the struggle between them. Long before me bourgeois historians had described the historical development of this class struggle and bourgeois economists the economic anatomy of the classes. What I did that was new was to prove: 1) that the existence of classes is only bound up with particular historical phases in the development of production; 2) that the class struggle necessarily leads to the dictatorship of the proletariat; 3) that this dictatorship itself only constitutes the transition to the abolition of all classes and to a classless society.[22]

Secara teoritis, kritik ini berarti menghapuskan salah satu postulat Karl Marx yang mengatakan bahwa perjuangan kelas niscaya akan menuju kediktatoran proletar. Kaum sosialis menjawab hilangnya postulat tersebut dengan demokrasi. Melalui demokrasi inilah diupayakan penghapusan kelas-kelas dan karakter kelas dalam negara dan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat sosialis. Kaum sosialis, berarti menerima postulat pertama Karl Marx tentang keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat yang terkait dengan corak produksinya (mode of production). Termasuk menerima kritik Karl Marx terhadap sistem kapitalisme, dengan demikian menerima sumbu utama pemikiran Karl Marx tentang teori nilai lebih (surplus value theory)[23] yang mendasari bekerjanya sistem kapitalisme dan pemahamannya tentang teori nilai atas dasar kerja (labour theory of value) [24]. Akan tetapi mempertanyakan secara kritis sejumlah postulat ataupun prediksi yang menurut Marx dapat diturunkan dari teori nilai lebih tersebut. Termasuk menolak kemungkinan praktis mengeksploitasi pertentangan antar kelas misalnya untuk melakukan revolusi sosial dan memapankan kediktatoran proletar.

Kritik Berstein – tampaknya sebagian besar gagasannya diadopsi Sutan Sjahrir dalam Sosialisme dan Marxisme: Suatu Kritik Terhadap Marxisme – dan Sutan Sjahrir terhadap Karl Marx hanya diarahkan pada sejumlah kekeliruan prediksi atau “teori” yang diturunkan dari teori nilai lebih, tetapi mereka sama sekali tidak mengkritik dasar Marxisme yaitu teori nilai lebih. Dalam sikap Berstein berarti mempertahankan, ‘essential core of Marxism,’ atau Sutan Sjahrir yang meyakini bahwa, ‘Marx-Engel…ingin memberikan dasar untuk pengertian ilmiah tentang pembangunan sosial manusia, dasar untuk pemahaman ilmiah yang tidak lain dari pengalaman dan kenyataan…Marxisme merupakan model tentang berpikir kritis.’[25] Untuk partainya, PSI, pada 1952 Sjahrir menegaskan Marxisme sebagai pedoman, bukan sebagai dogma.[26]

Penegasan pada jalan demokrasi dan penentangan terhadap setiap bentuk kediktatoran karena bertentangan dengan prinsip sosialisme dan demokrasi, misalnya dapat kita jumpai juga pada Basic Programme of the Social Democratic Party of Germany, ‘We are fighting for democracy. Democracy must become the universal form of state organization and way of life because it is founded on respect for the dignity of man and his individual responsibility. We resist every dictatorship, every form of totalitarian or authoritarian rule because they violate human dignity, destroy man's freedom and the rule of law. Socialism can be realised only through democracy and democracy can only be fulfilled through socialism. Communists have no right to invoke socialist traditions. In fact, they have falsified socialist ideas. Socialists are struggling for the realisation of freedom and justice while communists exploit the conflicts in society to establish the dictatorship of their party. In the democratic state, every form of power must be subject to public control.’[27]

Lebih jauh lagi, Sutan Sjahrir dengan PSI-nya memakai perangkat analisa teoritis Marx-Engels mencoba memahami perkembangan sosial di Indonesia dan dunia, khususnya perkembangan pesat kapitalisme di Eropa Barat yang berujung pada upaya menempatkan kembali ajaran sosialisme bukan hanya sebagai ajaran politik untuk pembebasan kaum buruh, akan tetapi sebagai ajaran politik untuk menghapuskan ketidakadilan dan penghisapan manusia atas manusia. Perjuangan sosialisme menjadi perjuangan peradaban atau kebudayaan baru. Di titik ini Sjahrir menempatkan sosialisme sebagai pandangan hidup semua golongan masyarakat, tanpa kecuali. Karena melalui ruang demokrasi yang ada, semua orang, siapapun, menurutnya pada akhirnya memahami bahwa sosialisme itu adalah ajaran politik yang menghormati martabat manusia orang per orang, dan memperjuangkan emansipasi dan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.

Sutan Sjahrir menjelaskan pandangan ideologis baru tersebut serta konsekuensi strategisnya dalam pemihakan ideologis dan aktifitas organisasi, karena, ‘meskipun sosialisme di dunia Barat mulanya hanya merupakan gerakan kaum buruh, sekarang golongan-golongan yang lain di dalam masyarakat, yang kehilangan kepercayaannya pada masyarakat kapitalis, yaitu kaum terpelajar, kaum tukang, kaum pengusaha kecil, kaum kebudayaan, kaum pertengahan kecil, kaum tani, lebih hari lebih menaruhkan nasibnya pada perubahan dan perbaikan yang dapat diharapkan dari sosialisme. Sosialisme adalah pula jawaban untuk semua orang yang tidak menyetujui penghisapan manusia atas manusia, serta jawaban untuk semua orang yang menghendaki bahwa pergaulan kemanusiaan didasarkan atas persatuan kerjasama serta keadilan sosial.[28]

Perkembangan Sosialisme dan Kapitalisme Pasca Perang Dingin

Uni Soviet ambruk tanpa daya, diikuti pula oleh runtuhnya negara-negara satelitnya di Eropa Timur. Tentu ini bukan bukti keunggulan kapitalisme, tetapi sejumlah pihak menganggap ini hanya keruntuhan rezim totaliter komunis Stalinisme dan Brezhnevisme yang menyimpang dari Leninisme. Tetapi bagi kaum sosialis ini merupakan bukti bahwa komunisme dengan sistem totaliter kediktatoran proletarnya samasekali bertentangan dengan tujuan dan nilai fundamental sosialisme: keadilan, kebebasan, demokrasi/kerakyatan, kemanusiaan dan solidaritas. Dengan demikian, sumber gagasan komunisme dan diktator proletar kehilangan basis empirisnya, membuktikan keabsahan kritik yang dilakukan Rosa Luxemburg, Eduard Bernstein, dan gerakan sosialis terhadap revolusi Bolsevik dan kediktatoran proletarnya. Deklarasi Paris (1999) dari Sosialist International menegaskan bahwa, ‘In Europe, for example, social democracy has demonstrated its reformatory strength, while the so-called ‘real socialism’ was shown to be a failure.’[29]

Walau pun sebenarnya, jauh sebelum Uni Soviet runtuh, sekitar 1970-an terjadi juga perubahan mendasar pada sejumlah partai komunis di Eropah Barat terutama Partai Komunis Italia (Partito Communista Italiano atau PCI), partai yang didirikan dan pernah dipimpin Antonio Gramsci, dan Partai Komunis Perancis (Parti Communiste Francais), terutama menyangkut teori kedikatoran proletar dan hubungan mereka dengan Uni Soviet. Gejala ini seringkali disebut sebagai Eurocommunism, sebuah upaya mencari jalan baru bagi kaum komunis Eropa dengan komitmen utama pada nilai-nilai demokrasi parlementer. Kedua partai komunis itu, dengan inisiatif Partito Communista Italiano, tulis Donald Sasson dalam One Hundred Years of Socialism:The West European Left in the Twentieth Century, ‘dropped the concept of the dictatorship of the proletariat.’[30]

Selain itu mereka mendukung hak kebebasan berbicara bagi penulis pembangkang Aleksandr I. Solzhenitsyn yang terkenal dengan karyanya The Gulag Archipelago[31]. Mereka juga mengkritisi kebebasan beragama di Soviet, selain mengambil jarak dari kebijakan luarnegeri Soviet dan lebih berpihak pada otonomi nasional.[32] PCI sendiri pada February 1991 membubarkan diri dan membentuk partai baru, Partito Democratica della Sinistra atau PDS (Democratic Party of the Left), membuang simbol palu arit dan memperkenalkan simbol baru pohon eik yang kokoh (sturdy oak), lalu bergabung dengan Socialist International. Pada pemilu 1994, PDS mengambil gagasan ‘neo-revisionism’ seperti prinsip bahwa, ‘in the present historical circumstances there are no alternatives to the market economy’; atau menerima privatisasi karena, ‘can provide the opportunity to restructure the national economy on a more modern foundation.’ Akhirnya, ‘the party which had so frequently proclaimed itself a force antagonistic to capitalism, had made its peace with its enemy.’[33]

Namun, sistem kapitalisme pun menghadapi krisis yang tak kurang parahnya, bila kita melihat pada perkembangan sistem kapitalisme global yang ditandai bukan hanya oleh perdagangan bebas tetapi lebih spesifik lagi oleh perpindahan bebas dari modal (free movement of capital), tanpa ada satupun lembaga internasional yang efektif mengawasi maupun memprediksi perpindahannya agar tidak merugikan negara yang disinggahinya. Lembaga-lembaga Bretton Woods seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank beserta lembaga keuangan regional lainnya gagal menghadapi perpindahan bebas arus modal utamanya berupa pertumbuhan spektakular aliran dana jangka pendek (short term financial flows). Kata Soros, ‘IMF programs have not been successful in the current global financial crisis; its mission and its methods of operation need to be reconsidered. I believe additional institutions may be necessary.’[34]

Perpindahan bebas dari modal (free movement of capital) ini bekerja sangat efektif mirip sistem sirkulasi raksasa, yang menyedot modal uang dari lembaga dan pasar uang di negara kapitalis utama, lalu menyemburkannya ke negara kapitalis pinggiran secara langsung dalam bentuk hutang atau investasi portofolio, maupun tak langsung melalui MNC/TNC. Melalui globalisasi sistem keuangan ini misalnya, kapitalisme global mengakumulasi modal uang (finance capital) dalam skala waktu jangka pendek (very short terms), hampir 90% modal uang yang diinvestasikan hanya diinvestasikan dalam jangka waktu kurang dari satu minggu.[35] Akibatnya, terjadi asimetri dalam pertukaran uang dan jasa, ketidakstabilan dalam pasar uang internasional, selain hubungan yang timpang antara negara kapitalis pusat dan pinggiran. Dalam pandangan George Soros masalah ini semakin parah karena perkembangan masyarakat global tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi global. Lebih jauh lagi Soros menilainya dalam The Crisis of Global Capitalism:

the system is deeply flawed. As long as capitalism remains triumphant, the pursuit of money overrides all other social consideration. Economic and and political arrangement are out of kilter. The development of a global economy has not been match by the development of a global society. The basic unit for political and social life remains the nation-state. The relationship between center and periphery is also profoundly unequal. If and when the global economy falters, political pressures are liable to tear it apart. My critique of the global capitalist system falls under two main headings…the defect of the market mechanism…about instabilities built into international financial markets…The other concerns the deficiencies of the nonmarket sector…the failure of politics both on the national and international level…What I predict is the imminent disintegration of the global capitalist system.[36]

Perang dingin berakhir, kapitalisme mereproduksi diri secara global khususnya melalui globalisasi sistem keuangan sembari menciptakan krisis dalam dirinya. Negara kesejahteraan (welfare state), seringkali dianggap karya masterpiece kaum sosial-demokrat, beserta partai politik yang berhaluan kiri dan sosialis menghadapi krisis ekonomi dan legitimasi pula, yang nantinya memicu kelahiran gerakan revisionis generasi ketiga. Sasson mencatat, ‘West European socialism, evolutionary welfare socialism, pioneered by Bernstein, developed in Britain, Germany and Sweden, based on strong unions, state intervention and a growing public sector was, by the 1980s, unmistakably in crisis. By the 1990s, it even proved difficult to defend the gains thus far achieved: the welfare state, full employment and trade union rights; the first was danger, the second had become a thing of the past, and the third were severely curtailed,’[37] Lebih jauh lagi, gerakan sosialis khususnya di Eropa menghadapi tantangan atas gagasan politik kelas (class politics), satu-satunya jalan, ‘was pragmatic coalition building to maximize electoral support, by offering different things to different groups on an ad hoc basis in the knowledge that each group was ephemerally constructed through discourse.’

Upaya merepresentasikan identitas tunggal dalam politik, khususnya di Eropa, bagi gerakan sosialis maupun komunis tak pernah berhasil. Walaupun sebagian besar pendukung gerakan sosialis mayoritas adalah kelas pekerja industri, mereka tidak hanya mengandalkan identitas politik kelas. Tetapi juga mengakui bahkan menyokong identitas politik nasionalisme maupun keagamaan kelas pekerja. Walaupun demikian, ‘socialist never lost sight of the working class, this did not prevent them from agitating on behalf of others groups. They fought, not always consistently, for peace, for women, for minorities; above all, they fought for universal democratic and social rights.’

Kenyataan ini bahkan disadari jauh sebelum Soviet runtuh oleh para revisionis generasi kedua dalam Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) misalnya, pada 1959, menjadikan dirinya sebagai partai rakyat (people’s party atau Volkpartei) bukan lagi partai kelas pekerja (working class’s party), yang berarti merubah basis massa pemihakan SPD. Partai ini, ‘had expanded into the ranks of intelligentsia and the middle classes. These social group no longer felt excluded from the party, while the working class in the period of rapid economic growth no longer felt marginal to the rest of society.’[38] Revisionis generasi kedua dari Jerman, Inggris, Italia dan lainnya ini harus menghadapi tekanan pertumbuhan ekonomi yang luarbiasa pasca PD II, diikuti perubahan struktural dan politik demokrasi yang memaksa partai sosialis, ‘to appeal to entire electorate.’ Walaupun partai atau gerakan sosialis selalu ‘class-centredness’, mereka juga mengakui kebutuhan akan dukungan dari kelas-kelas lainnya. Pemimpin SPD pada 1869 seperti Wilhelm Liebnecht dan August Bebel, jelas mengakui, ‘wanted to win over the working class without losing the democratic lower middle class groups they had organized.’[39] Karena itu Erfurt Programme dikemas untuk memenuhi kebutuhan semua orang seperti, ‘a free health service, a national insurance system and the right to vote.’ Mungkin menarik pula menyimak slogan Lenin ketika memimpin Revolusi Oktober, slogan tersebut dikemas sebagai kebutuhan umum setiap orang, ‘Peace, Bread, and Land.’[40]

Sejenak kembali ke Sutan Sjahrir, tampaknya Sosialisme dan Marxisme: Suatu Kritik Terhadap Marxisme ditulis saat gelombang pasang gerakan revisionis generasi kedua, karangannya muncul dalam Suara Sosialis (No:6 s/d No:12, Th: 1953 dan No:1, Th:1954). Keyakinannya tentang sosialisme sebagai sistem yang tidak hanya membebaskan kaum pekerja dari penghisapannya, tetapi sebagai sistem yang membebaskan penghisapan manusia atas manusia sehingga diperlukan oleh seluruh golongan masyarakat, tampaknya sejalan dengan dinamika pemikiran dalam gerakan sosialis saat itu. Bahkan Marx, tulis Sjahrir, ‘percaya pada kemungkinan ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan umumnya, dan bukan hanya untuk satu golongan saja.” Pemikirannya tentang penghapusan kapitalisme dan digantikan sosialisme dengan jalan kerakyatan/demokrasi, nampaknya juga sejalan dengan gagasan Sosialist International (1951) yang menegaskan bahwa tujuan sosialisme adalah menghapuskan kapitalisme, secara demokratis.

Para revisionis generasi ketiga (menyebut diri modernizer atau neo-revisionism) meyakini bahwa reformasi doktrin sosialis yang mereka lakukan memakai kriteria sama dengan pendahulunya yaitu: transformasi kapitalisme. Identifikasi mereka, sebagian berkaitan dengan revisionis 1950-an tetapi hidup dan ada bersama (co-exist) dengan generasi baru yang menjadi sosialis melalui pengalaman dalam gerakan mahasiswa, aktifis anti perang, LSM, gerakan ekologi dan feminis.[41] Sasson mencatat, tidak ada kerangka doktrin yang mudah dianalisa dari neo-revisionism ini, tetapi implikasi kebijakannya adalah, ‘that markets should be regulated by legislation and not through the state ownership. It means accepting that the object of socialism is not the abolition of capitalism, but its co-existence with social justice; that regulation of the market will increasingly be a goal achieved by supra-national means; that the concept of national road to socialism should be abandoned.’[42]

Transformasi terhadap kapitalisme dengan mengaturnya melalui kerangka kebijakan, bukan menghapuskan sistem tersebut merupakan kunci pemahaman terhadap neo-revisionist ini. Bagi mereka, ‘capitalism was not a particular transitory phase in the historical development of humanity, but a mode of production which was subject to political (i.e. non-market) regulation. Karena itu tugas kaum sosialis sekarang adalah, ‘to devise a regulatory framework which would enable the advancement of certain values, such as justice and equality, while ensuring that the viiability of capitalism was not seriously impaired.’[43] Jauh dari keinginan untuk menghapuskan kapitalisme, kebijakan British Labour Party misalnya terhadap pasar yang membedakannya dengan Partai Konservatif adalah, ‘the Conservatives is not that they accept the market and we do not, but we recognise the limits of the markets and they do not.’[44]

Kecenderungan untuk menerima mekanisme pasar dan mengembangkan sosialisme dalam hubungan kritis permanen dengan kapitalisme ini dapat pula dilacak pada Declaration of Paris: The Challenges of Globalization, keputusan kongres XXI Sosialist International (8-10 November 1999). Deklarasi Paris antara lain menyebutkan, ‘Democratic socialism has been born and has developed in permanent critical relationship with capitalism. Solidarity, which is defined in the struggle for social justice, equality of the sexes, the fight against discrimination as well as a fairer distribution of benefits all are the raison d’etre for this critical relation.Democracy has always developed in free market societies…The desire to initiate new trends in social democratic thinking emerges from a wish for justice, based on the need for liberty. This belief separated us from and led us to confront the concept of communism, which was incompatible with the freedom of citizens.’[45]Sasson melacak, pada 1951, awal berdirinya Sosialist International dalam Declaration of Aims ditegaskan, ‘the aim of socialists was the abolition of capitalism.’

Tetapi pada Stockholm Declaration of Socialist International (1989) disebutkan tujuan gerakan sosialis adalah, ‘freedom, solidarity dan social justice.’ Sedangkan, ‘the abolition of capitalism was not mentioned.’[46]Demikian pula kalau kita lihat Declaration on Social Democracy in a Changing World, hasil pertemuan Sosialist International di Berlin pada 15-17 September 1992, pasca runtuhnya Uni Soviet dan bersatunya kembali Jerman Timur dan Jerman Barat. Bahkan secara tegas deklarasi tersebut mengakui keunggulan pasar dalam mengalokasi sumberdaya ekonomi, bunyinya, ‘markets are indispensable for an efficient allocation of economic resources, but it is also true that market forces require basic regulation in order for competition to be fair.’[47]

Di titik inilah tampaknya gagasan Norberto Bobbio dalam Left & Right: The Significance of a Political Distinction, menemukan relevansinya. Gerakan sosialis, khususnya di Eropa, sekarang tidak lagi berbicara tentang penghapusan kapitalisme dan menggantikannya dengan sosialisme, tetapi mereka lebih menekankan nilai-nilai fundamental (generic values) sosialisme di dalam kapitalisme. Bobbio menekankan dua kriteria fundamental yaitu, persamaan (equality/egalitarian) dan kebebasan (freedom), lebih lanjut Bobbio menulis, ‘if it is accepted that different attitude to the ideal of equality is the criterion for distinguishing left and right, and that the different attitude to freedom is the relevant criterion for disinguishing the moderate wings from the exterimist wing of both left and the right, then one could summarize the political spectrum of doctrines and movements in the following four part: a) extreme left,…movements which are both egalitarian and authoritarian; b) centre-left,…doctrines and movements which are both egalitarian and libertarian,..could now term ‘liberal socialism’, and cover all the social democratic parties with their various political practices; c)centre-right,…doctrines and movements which are both libertarian and inegalitarian,..all conservative parties,…loyal to democratic method,…they go only as far as equality before law; d) extreme right,…anti-liberal and anti-egalitarian doctrines and movements,..example Fascism and Nazism,’[48] Perbedaan gerakan politik kiri/kanan berdasarkan kriteria nilai-generik persamaan dan kebebasan ini diterima penuh oleh Anthony Giddens, ‘Bobbio is surely correct to say that the left/right distinction won’t dissapear, and to see inequality as at the core of it.’ Tetapi Giddens menambahkan bahwa kaum kiri atau sosialis tidak hanya mengejar persamaan atau keadilan sosial tetapi percaya bahwa pemerintah memainkan peranan kunci untuk mewujudkannya. Karena itu kata Giddens,’rather than speaking of social justice as such, it is more accurate to say that to be on the left is to believe in a politics of emancipation.’[49]

Tampaknya Partai Buruh Inggris merupakan contoh mutakhir dari revisionis generasi ketiga ini, melalui ‘ideolognya’ Anthony Giddens mereka mencanangkan The Third Ways: The Renewal of Social Democracy, karena, ‘I believe social democracy can not only survive, but prosper, on an ideological as well as a practical level.’ Caranya, ‘if social democrats are prepared to revise their-pre-existing views more thoroughly than most have done so far.’ The Third Ways, ‘disini merujuk pada kerangka pemikiran dan pembuatan kebijakan yang mencoba mengadaptasikan demokrasi sosial dalam sebuah dunia yang secara fundamental telah berubah selama dua atau tiga dekade terakhir. Itu adalah jalan ketiga dalam arti ia merupakan suatu upaya untuk melampaui demokrasi sosial gaya lama maupun neoliberalisme.’[50]

Giddens kemudian mencirikan gerakan sosial-demokrasi lama (kiri-lama) sebagai berikut: keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan sosial dan ekonomi, negara mendominasi masyarakat sipil, kolektifisme, manajemen permintaan Keynesian dan korporatisme, pembatasan peran pasar: ekonomi sosial atau ekonomi campuran, egalitarisme kuat, modernisasi linier, internasionalisme, kesadaran ekologis lemah, negara kesejahteraan komprehensif melindungi warganegara dari lahir hingga mati, dan menjadi bagian dunia dwi-kutub (perang dingin kapitalisme versus komunisme). Sembari memperhitungkan lima dilema (globalisasi, individualisme, kiri dan kanan, subjek-pelaku politik dan ekologi) masyarakat kontemporer, maka Giddens merumuskan program The Third Ways atau gerakan sosial-demokrasi baru sebagai berikut: tengah radikal, negara demokratis baru (negara tanpa musuh), masyarakat sipil yang aktif, keluarga demokratis, ekonomi campuran baru, kesamaan sebagai inklusi, kesejahteraan positif, negara berinvestasi sosial, bangsa kosmopolitan, dan demokrasi kosmopolitan.[51]

Jalan Baru Partai Sosialis Indonesia: Empat Pembaharuan

Perkembangan ideologis gerakan sosialis, terutama di Eropa Barat, hingga perkembangan mutakhir kapitalisme global beserta krisisnya, serta perubahan kondisi politik, ekonomi dan sosial di Indonesia mengajak kita kaum sosialis untuk menghadapi tantangan dan peluang baru tersebut. Semuanya mendesakkan upaya pembaharuan yang terencana, sistematis, dan berkelanjutan dikalangan gerakan sosialis di Indonesia, khususnya Partai Sosialis Indonesia. Melihat keperluan dalam jangka panjang, maka pembaharuan harus dikaji secara elaboratif dengan mempertimbangkan semua perubahan dan perkembangan kondisi sosial, ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan dalam skala internasional, regional, nasional dan lokal. Pembaharuan tersebut menyangkut empat masalah: 1) ideologi atau identitas politik (mengkaji, memperbaharui dan merumuskan secara integratif ideologi sosialisme-kerakyatan); 2) program nasional dan lokal (mengkaji, memperbaharui dan merumuskan kembali program secara integratif sesuai dengan gagasan ideologi); 3) organisasi (mengkaji, memperbaharui dan merumuskan kembali wadah organisasi yang secara organik berubah sesuai perubahan kondisi sosial kontemporer); 4) basis massa (mengkaji, memperbaharui dan merumuskan kembali basis massa yang berubah secara organik sesuai perubahan kondisi sosial kontemporer).***

Jakarta, 18 September 2000


[1] Ketua Badan Pekerja (Pjs) Masyarakat Sosialis Indonesia (Socialist Society), Deklarator dan Alumni Pemuda Sosialis Jakarta (PSJ) dan Direktur Eksekutif Research Institute for Democracy and Society (ReDS-Indonesia)

[2] Gramsci, Antonio, Selections from Political Writings 1921-1926, International Publishers, NY, 1978, hal.15.

[3] Karl Marx tentang Theses on Feuerbach dalam Tucker, Robert C., The Marx-Engels Reader, W.W. Norton & Company, New York, hal.145.

[4] Kata ‘sosialisme’ sendiri muncul di Perancis sekitar tahun 1830, begitu juga kata ‘komunisme’. Dua kata ini semula sama artinya, tetapi segera ‘komunisme’ dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal, yang menuntut penghapusan total hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan komunis itu bukan dari kebaikan pemerintah, melainkan semata-mata dari perjuangan kaum terhisap sendiri. Kutipan penjelasan dari Kolakowski I dalam Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselihan Revisionisme, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal.19. Untuk memahami perkembangan pemikiran sosialis dari ‘early french communism’ hingga ‘contemporary socialism’khususnya Antonio Gramsci, dapat diikuti juga, Fried, Albert dan Ronald Sanders (eds.), Socialist Though: A Documentary History, Doubleday & Company, Inc., NY, 1964. Atau buku kecilnya Bertrand, Russel, Roads to Freedom, Unwin Paperbacks, London, 1985.

[5] Penjelasan Azas dan Garis Politik Partai Sosialis Indonesia, Suara Sosialis, No:13 Th.III, 15 Desember 1952, hal.6.

[6] Sjahrir, Sutan, Sosialisme di Eropah Barat, Suara Sosialis, No:13 Th.III, 15 Desember 1951, hal.2. Menarik mencermati kritik Rosa Luxemburg dalam The Russian Revolution (A Critical Appraisal, Autumn 1918) terhadap kediktatoran proletar dan sikap anti demokrasinya Lenin dan Trotsky, ujar Rosa Luxemburg, ‘Lenin and Trotsky have set up soviets as the only true representation of the working masses. But with the suppression of political life through out the country, the life of the soviets too must increasingly flag. Without general elections, unrestricted freedom of the press and of association, and free public debate the life goes out of every public institution or rather it becomes a pseudo-life in which the only active element left is bureaucracy…The fundamental mistake in the theory of Lenin and Trotsky is that,…they see dictatorship and democracy as opposites…Socialist democracy begins at the same time as the dismantling of class rule and the erection of socialism. It begins the moment the socialist party seizes power. It is nothing else but the dictatorship of the proletariat. Oh, yes: dictatorship! But that dictatorship consists in the way democracy is used, not in its abolition,…that dictatorship must be the work of the class and not of a small, leading minority in the name of the class, that is to say it must proceed step by step out of the active participation of the masses, be directly influenced by them, be subject to the control of the entire public, and be rooted in the growing political education of the mass of the people,’ dalam Sussane Miller dan Heinrich Potthoff, A History of German Social Democracy: From 1848 to the Present, St Martin’s Press, New York, 1986, hal.246-247.

[7] Penjelasan, op. cit., hal.5. Lebih jauh tentang Sosialisme Kerakyatan ini dijelaskan pula bahwa, ”Maka oleh karena itu mungkin tampaknya sebutan kerakyatan setelah perkataan sosialisme seolah ulangan pengertian saja. Akan tetapi hal ini dianggap perlu oleh karena perkataan sosialisme kerap kali digunakan orang di dalam makna yang lain. Kaum Hitler menamakan dirinya Sosialisme Nasional. Tiada suatu aliran yang lebih bertentangan dengan sosialisme yang kita maksudkan daripada ajaran serta gerakan Hitler itu. Ia musuh sosialisme kita benar-benar. Akan tetapi kita bukan saja membedakan diri dari “sosialisme ala Hitler” itu, kita juga membedakan diri dari “Sosialisme seperti diajarkan oleh Moskow atau Kominfom.” Tidak saja kominform ini berbeda dengan kita oleh karena lain penghargaannya terhadap pribadi orang seorang yang dipandangnya hanya sebagai suatu bahagian abstrak daripada faham golongan, kelas atau kolektifitas. Atau memandangnya hanya sebagai tenaga bekerja faktor penghasilan semata-mata. Melainkan ia berbeda dengan kita dalam jiwanya, mentalitasnya, Ia tidak saja dalam teori, akan tetapi juga dalam praktek memungkiri adanya persatuan serta persamaan kemanusiaan. Ia mengenal solidaritas kelas dalam teori akan tetapi dalam praktek hanya mengikhtiarkan disiplin partai. Dalam praktek ia memandang dan memperlakukan semua orang yang tidak tunduk pada disiplin serta ajaran partainya sebagai musuh, yang boleh diperlakukannya dengan tidak mengindahkan kesusilaan…Semangat dan jiwa kominformisme ini bertentangan dengan samasekali dengan sosialisme yang berdasar kerakyatan,…”

Sebagai perbandingan, untuk memahami gagasan sosialisme, berikut ini adalah Fundamental Values of Socialism dari Basic Programme of the Social Democratic Party of Germany (Adopted by an Extraordinary Conference of the Social Democratic Party held at Bad Godesberg from 13-15 November 1959) yang berbunyi, “Socialists aim to establish a society in which every individual can develop his personality and as a responsible member of the community, take part in the political, economic and cultural life of mankind. Freedom and justice are interdependent, since the dignity of man rests on his claim to individual responsibility just as much as on his acknowledgement of the right of others to develop their personality and, as equal partners, help shape society. Freedom, justice and solidarity, which are everyone’s obligation towards his neighbours and spring from our common humanity, are the fundamental values of Socialism. Democratic Socialism, which in Europe is rooted in Christian ethics, humanism and classical philosophy, does not proclaim ultimate truth – not because of any lack of understanding for or indifference to philosophical or religious truth, but out of respect for the individual’s choice in these matters of conscience in which neither the state nor any political party should be allowed to interfere. The Social Democratic Party is the party of freedom of though. It is a community of men holding differents beliefs and ideas. Their agreement is based on the moral principles and political aims they have in common. The Social Democratic Party strives for a way of life in accordance with these principles. Socialism is a constant task – to fight for freedom and justice, to preserve them and to live up to them,” dalam Miller dan Potthoff, ibid., hal.275.

[8] Eduard Bernstein melalui karyanya The Premisses of Socialism and the Tasks of Social Democracy (1899) diyakini sebagai teks revisionis fundamental terhadap Marxisme. “His experience of conditions in England convinced him that the idea of a once-and-for-all break-up of capitalism was a doctrinaire illusion, and that socialist should place their hopes in gradual social reforms and socialization as a result of democratic pressure,” dalam Leszek Kolakowski, Main Currents of Marxism: The Golden Age, Oxford University Press, USA, 1978, hal.101. Mengenai transisi ke arah sosialisme ini, Bernstein menerima gagasan tersebut, tetapi, ‘rejected the of a political revolution since they thought the very economic process of capitalism led spontaeously toward socialism,’ lihat Bottomore, Tom, A Dictionary of Marxist Thought, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1983, hal.485-487.

[9] Sjahrir, Sutan, Sosialisme dan Marxisme: Suatu Kritik Terhadap Marxisme, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1967.

[10] Suara Sosialis, op. cit., hal.5.

[11] Ibid, hal.5. Bandingkan dengan tujuan dan basis ideologis dan teoritis Partai Komunis Indonesia (PKI), PKI dalam Program Umum Konstitusinya Partai Komunis Indonesia menegaskan,”…berjuang untuk menciptakan sistem Demokrasi Rakyat di Indonesia, sedangkan tujuannya yang lebih lanjut ialah mewujudkan masyarakat Sosialis sebagai tingkat permulaan daripada masyarakat Komunis di Indonesia. Seluruh pekerjaan PKI didasarkan pada teori-teori Marx, Engels, Lenin, Stalin dan fikiran Mao Tse Tung serta koreksi besar Musso,…Semuanya ini adalah untuk memajukan Indonesia dari suatu negeri setengah-jajahan dan setengah-feodal menjadi negeri merdeka, demokratis, makmur dan maju, untuk mengganti pemerintah tuan-tuan feodal dan komprador dan menciptakan pemerintah rakyat, Pemerintah Demokrasi Rakyat. Pemerintah Demokrasi Rakyat adalah pemerintah yang mendasarkan dirinya atas massa, suatu pemerintah front persatuan nasional yang dibentuk atas dasar persekutuan kaum buruh dan kaum tani di bawah pimpinan kelas buruh. Mengingat terbelakangnya negeri kita, maka Pemerintah Demokrasi Rakyat ini tidak merupakan pemerintah diktator proletariat, melainkan pemerintah diktator rakyat. Ia tidak melaksanakan perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan-perubahan demokratis…Selanjutnya jika revolusi Indonesia yang bersifat nasional dan demokratis sudah mencapai kemenangan sepenuhnya, kewajiban PKI nanti ialah mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mewujudkan sistem Sosialisme sebagai tingkat permulaan daripada sistem Komunisme di Indonesia. ”

[12] Marx, Karl dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, Penguin Books, Edisi 19, 1985.

[13] Marx, Karl, Capital , Volume I, II dan III, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1958. Untuk karya-karya Karl Marx dan Friedrich Engel secara singkat dapat diikuti dalam Ronald C. Tucker, The Marx-Engels Reader, Second Edition, W.W Norton & Company, Inc.,USA, 1978.

[14] Bottomore, op. cit., hal. 48.

[15] Miller, Eduard Bernstein: Letter to the Conference of the Social Democratic Party of Germany, Stuttgart, 1898, op. cit., 243-244. Lihat juga catatan kaki no:3, Kolakowski, op. cit., hal 101-102, juga mencatat bahwa surat ini merupakan jawaban atas kecaman terhadapnya, pada Kongres di Stuttgart pandangannya diserang oleh Kautsky, Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg dan diikuti oleh debat antar gerakan sosial demokratik Eropa yang berujung pada kristalisasi dua kubu pro-revisionis dan anti-revisionis, kemudian, “In spite of succesion of anti-revisionist resolutions and condemnations, and although Berstein was opposed by most of the party theorist, his influence was already clearly increasing within the party and the trade unions…He was the real founder of the social democratic ideology as that term was generally understood between the wars, in opposition to Communism.”

[16] Bottomore, op. cit., hal. 486.

[17] Bottomore, op. cit., hal.49.

[18] Salvador Allende, mengutip ucapan Engels ini dalam bukunya Chile’s Road to Socialism (1973). Lihat Budiman, Arief, Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chili Di Bawah Allende, Jakarta, Sinar Harapan, 1987, hal.18.

[19] Budiman, ibid., hal.19.

[20] Lihat catatan kaki no: 2, terutama tentang, “Democratic Socialism, which in Europe is rooted in Christian ethics, humanism, and classical philosohy.”Motif-motif sosialis di Abad pertengahan berkaitan erat dengan paham-faham religius tertentu, terutama dengan pertimbangan bahwa untuk menyambut kerajaan Allah orang harus bebas dari segala keterikatan…Cita-cita bahwa semua memiliki semuanya bersama sehingga tidak ada yang memiliki secara berlebihan maupun menderita kekurangan menjadi ciri khas umat kristen purba. Dalam Kitab Perjanjian Baru [Kis.4,32ss] dilaporkan bahwa umat Kristen pertama di Yerusalem ‘memiliki segala-galanya bersama.’.. Sampai Abad Pertengahan para teolog Gereja berpendapat bahwa pemilikan bersama adalah cara hidup paling baik. Dapat dikatakan bahwa dari Stoa sampai Abad Pertengahan pemilikan bersama dianggap keadaan alami dan termasuk hukum kodrat, sedangkan milik dan kekayaan pribadi dianggap semacam kemerosotan purba manusia. Lihat Magnis-Suseno, op.cit., hal.15.

[21] Sjahrir, Sutan, Sosialisme di Eropah Barat, Suara Sosialis, No:13 Th: III, Jakarta, 15 Desember 1951, hal.2.

[22] Tucker, op. cit., hal.220. Lebih lanjut Engels menjelaskan dalam Anti-Duhring bahwa yang menjadikan sosialisme ilmu pengetahuan adalah dua penemuan besar Karl Marx yaitu; pandangan sejarah materialis dan penyingkapan rahasia produksi kapitalisme melalui teori nilai-lebih (surplus value theory). Pembahasan kelas dan peran negara secara kontemporer dapat dilihat dalam Wright, Erin Olin, Class, Crisis and the State, Verso, London, 1978. Atau dalam karya klasik State and Revolution (Lenin), lihat Lenin, Selected Works, Volume 2, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1960.

[23] The product appropriated by the capitalist is a use-value, as yarn, for example, or boots. But although boots are, in one sense, the basis of all social progress, and our capitalist is a decided “progressist” yet he does not manufacture boots for their own sake. Use-value is, by no means, the thing “qu’on aime pour lui-meme” in the production of commodities. Use-values are only produced by capitalists, because, and in so far as, they are the material substratum, the depositories of exchange-value. Our capitalists has two objects in view: in the first place, he wants to produce a use value in exchange, that is to say, an article destined to be sold, a commodity; and secondly, be desires to produce a commodity whose value shall be greater than the sum of the values of the commodities used in its production, that is, of the means of production and the labour power, that he purchased with his good money in the open market. His aim is to produce not only use-value, but value; not only value, but at the same time surplus value,” dalam Marx, Karl, Capital, Volume I, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1958, hal.186.

Kemudian, ‘The extraction of surplus value is the specific way exploitation takes places under capitalism, the differentia specifica of the capitalist mode of production, in which the surplus takes the form of profit, and exploitation results from the working class producing a net product which can be sold for more than they receive as wages. Thus profit and wages are the specific form that surplus and necessary labour take when employed by capital. But profit and wages are both money and thus an objectified form of labour only through a set of historically specific mediations in which the concept of surplus value is crucial. Capitalist production is aform of, indeed the most generalized form of, commodity production. Thus products are produced for sale as values, which are measured and realized in the form of price, that is, as quantity of money. The product belong to the capitalist, who obtains surplus value from the difference between the value of the product and the value of the capital involved in the production process. The rate of surplus value = s/v = surplus labour/necessary labour = hours worker spends working for capitalist/hours worker spends working for personal consumption,’ Penjelasan lebih jauh lihat, Bottomore, op. cit., hal.472-475.

[24] “A measure of value based on hours of human labour embodied in commodities,” atau semua barang mempunyai nilai karena mengandung tenaga kerja (labour power) yang masuk kedalamnya, karena setiap barang adalah hasil kerja manusia. Menurut Joseph A. Schumpeter, ‘Everybody knows that this theory of value is unsatisfactory…For economics as a positive science, however, which has to describe or explain actual process, it is much more important to ask how the labor theory of valueworks as a tool of analysis, and the real trouble with it is that it does so very badly,’ Penjelasan lebih jauh tentang argumen ini dapat dilihat dalam Schumpeter, Joseph A., Capitalism, Socialism and Democracy, Harper & Row, USA, 1976, hal.23-24. Sedangkan menurut Prof. Sarbini Sumawinata dalam karangannya tentang Sosialisme Kerakyatan (1996, tidak diterbitkan), teori nilai atas dasar kerja sejak permulaan abad ke-19 tidak diterima keabsahannya, karena sesungguhnya nilai barang adalah masalah yang jauh lebih kompleks daripada hanya sekedar berisikan tenaga kerja,…teori ini dianggap terlalu lemah dan terlalu tidak mencukupi untuk menerangkan, menjelaskan dan mengartikan masalah nilai dari suatu produk. Tetapi selama kurang lebih 100 tahun (1848 –1945) kejadian dan perkembangan sosial-politik di bagian terbesar dunia menunjukkan perjalanan yang mirip bahkan hampir sesuai dengan prediksi teori Marx. Seolah perkembangan sosial-politik riil dalam garis besarnya membenarkan teori tersebut. Misalnya perkembangan kapitalisme yang melahirkan penjajahan dan pemiskinan di negeri jajahan. Namun justru dalam hal yang paling menentukan, prediksi teori tersebut meleset sepenuhnya dan kenyataan dunia riil membantah teori serta menunjukkan kenyataan sebaliknya. Sebagai sistem, kapitalisme tiang penyangganya adalah ekonomi pasar, mekanisme harga, persaingan, pemilikan perorangan dan usaha bebas dari swasta. Sistem ini menunjukkan keunggulan dalam arti lebih efisien daripada sistem apapun yang berdasarkan sentralisme dan otoritarian. Yang kita tolak atau paling tidak harus diwaspadai ialah jiwanya dari kapitalisme itu yang didasarkan atas pencapaian keuntungan semaksimalnya tanpa batas, yang akhirnya menimbulkan konsentrasi kekuatan dan kekuasaan ekonomi sambil menimbulkan eksploitasi dan pemerasan… Konsekuensi yang buruk dari kapitalisme inilah yang kita tolak. Pandangan untuk menerima kapitalisme sambil melikuidir sisi negatifnya versus melikuidir kapitalisme secara gradual dengan tekanan demokratis menuju sosialisme, merupakan debat teoritis dan strategis yang “tumbuh” di kalangan sosialis muda dan tua dalam komunitas PSI akhir-akhir ini. Kritik komprehensif terhadap gagasan ‘sosialisme ilmiah’ dan ‘historisisme’ Karl Marx dapat diikuti dalam Popper, Karl R, The Open Society and Its Enemies, Volume 2 (Hegel & Marx), Routledge, London, 1993 dan Popper, Karl R., Gagalnya Historisisme, LP3ES, Jakarta, 1985.

[25] Mrazek, Rudof, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesiat, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996, hal.745.

[26] Mrazek, ibid., hal.726.

[27] Miller, op. cit., hal. 275.

[28] Perkembangan gagasan serupa yang pada akhirnya merombak pemihakan partai tidak hanya pada kelas pekerja tetapi pada masyarakat keseluruhan, misalnya dapat dilihat pada Basic Programme of the Social Democratic party of Germany (Adopted by an Extraordinary Conference of the Social Democratic Party held at bad Godesberg from 13-15 November 1959) yang berbunyi, “In several countries of Europe the foundations of a new society have been laid under Social Democratic governments. Social security and the democratisation of the economy are being realised to an increasing extent…These successes represent milestones on the march forward of the labour movement which has demanded so many sacrifices. The emancipation of the workers helped to enlarge the freedom of all men. From a party of the working class the Social Democratic Party has become a party of the people…Only the prospect of a society based on the fundamental values of democratic. Socialism can offer the world new hope, a society resting on respect for human dignity, on freedom from want and fear, from war and oppression, which is built in co-operation with all men of good will,” dalam Miller, op. cit., hal.286.

[29] Declaration of Paris: The Challenge of Globalization, XXI Congress of the Socialist International, Paris, 8-10 November 1999.

[30] Sasson, Donald, One Hundred Years of Socialism: The West European Left in The Twentieth Century, The Prress, New York, 1966, hal.538.

[31] Solzhenitsyn, Alesandr I., The Gulag Archipelago, Harper & Row, USA, 1975.

[32] Sasson, ibid,hal.538. Sasson juga mencatat bahwa, ‘Eurocommunism would not survive the increasingly erratic behaviour of the French, and the eccentricities of the then Spanish leader, Santiago Carrilo. But for a time, it provided Western communism, and particularly the PCI, with a platform from which it could speak to the entire European Left,’ hal. 581.

[33] Sasson, ibid., hal.752-754.

[34] Soros, George, The Crisis of Global Capitalism: Open Society Endangered, PublicAffairs, USA, 1998, hal.xvi.

[35] Declaration of Paris, ibid., hal.1.

[36] Soros, ibid., hal.102-103 .

[37] Sasson, op. cit., hal.648.

[38] Sasson, op. cit., hal 715.

[39] Sasson, op.cit., hal.650.

[40] Sasson, op.cit., hal.650.

[41] Sasson, op. cit., hal 648 – 651. Ulrich Beck menilai fenomena ini sebagai, ‘the emergence of sub-politics – politics that has migrated away from parliament towards single-issue groups in the society. This new movements, groups and NGOs thus are able to flex muscles on the world scene and even global corporations have to take notice. Citizens’ initiative groups, he argues, have taken power unilaterally, without waiting for the politicians. They, not the policians, have put ecological issues, and many other new concerns too, on the agenda. Citizens’ groups brought about transition in Eastern Europe in 1989: ‘with no copying machines or telephone,’ they ‘were able to force the ruling groups to retreat and collapse just by assembling in a square…Yet the idea that such groups can take over where government is failing, or can stand in place of political parties, is fantasy…[because] one of the main functions the government is precisely to reconcile the divergent claims of special-interest groups, in practice an in law.’ Lihat Giddens, Anthony, The Third Way: The Renewal of Social Democracy, Polity Press, UK, 1998, hal.49-53.

[42] Sasson, op. cit., hal. 734.

[43] Sasson, op. cit., hal.734.

[44] Sasson, op. cit, hal.737.

[45] Tentang Our Commitment: Global Progress dalam Declaration of Paris, op. cit., hal.6.

[46] Sasson, op. cit., hal.734.

[47] Declaration on Social Democracy in a Changing World, XIX Congress of Socialist International, Berlin, 15-17 September 1992, hal.30.

[48] Bobbio, Norberto, Left and Right: The Significance of a Political Distinction, Polity Press, Cambridge, London, 1996, hal.78.79

[49] Giddens, op.cit., hal.41.

[50] Giddens, op.cit., hal.26.

[51] Giddens, op.cit., hal.7 dan 70.

No comments: